Hari-H

1003 Words
Hari yang tidak dinantikan Lana akhirnya tiba. Hari pernikahan. Rasanya sungguh, Lana enggan bangun hari itu. Dia hanya ingin terlelap dan melupakan fakta bahwa hari ini adalah hari yang akan benar-benar mengikatnya dengan lelaki bernama Jeffrey Elvano. Sejak pagi, mama dan papanya sudah melakukan banyak hal. Sementara Lana hanya bisa menatap dengan helaan napas panjang. Ingin kabur, tapi tidak bisa. "Kamu sudah mandi?" Pertanyaan yang diajukan Dania membuat Lana hanya menipiskan bibir. "Pakai jaket ini dan kita berangkat ke gedung sekarang," titah wanita paruh baya yang melahirkannya tersebut, menyimpan jaket tebal di pangkuan Lana mengingat cuaca sedang dingin-dinginnya di luar. "Sekarang?" "Besok, Lana!" Ifanov menginterupsi di depan sana. Kini Lana sudah tiba di gedung yang Jeffrey sewa untuk pernikahan mereka. Masuk ke dalam sebuah ruangan yang sudah disiapkan dan lantas duduk setelah seorang perempuan berusia tiga puluhan mengamit tangannya menuju meja rias. "Cantik banget, lho, ini mbaknya. Aduh, gimana kalau sudah didandan, ya?" Lana hanya tersenyum meringis mendengar ucapan lelaki gemulai di depannya. "Lana memang sangat cantik, mirip ayah dan neneknya." Dania tersenyum, menyentuh surai panjang Lana. "Mbak juga sangat cantik. Kakaknya, ya?" Lana menatap pantulan ibunya di depan cermin, lalu menggeleng pelan melihat wanita itu tersipu malu. "Saya mamanya Lana," balas Dania. "Oh my God! Anda sangat cantik dan muda, ya ampun. Pantas anak Anda secantik ini. Aduh, memang udah gennya, ya?" Lana tertawa pelan. Rasa tegangnya berangsur hilang mendengar celotehan orang-orang di sekitar. Hingga tak terasa waktu berlalu begitu cepat sampai dia selesai di make-up. Lelaki gemulai bernama Tedy yang mendandani Lana tak henti-hentinya berdecak kagum menatap Lana. Tak terhitung berapa kali dia memuji betapa cantiknya gadis itu. Lana sampai muak mendengarnya. Sungguh. "Sekarang, kita pakaikan gaun mewah yang akan melengkapi penampilan spektakuler pengantin kita hari ini!" Tedy bertepuk tangan riang. Lantas mengedipkan sebelah matanya pada salah satu asistennya yang lalu membuka lemari di sisinya, dan... "ASTAGA, JEFFREY b******k!" Satu ruangan seketika terdiam mendengar umpatan Lana yang diucapkan keras-keras tersebut. Gadis tersebut meringis ditatap mengerikan, lalu tersenyum canggung. "Maksudnya, gaun ini terlalu cantik dan mewah." Lana meralat ucapannya dengan tidak rela. Tentu saja. "Baiklah. Ayo, pakai gaunnya." Tedy tersenyum, menarik lengan Lana dan menyerahkannya pada asistennya. "Dasar Pak tua jelek, sialan, b******k, b******n. Umpatan apa lagi yang cocok buat dia?" Lana menggerutu pelan sambil masuk ke dalam ruang ganti. Jadi, gaun yang Jeffrey beli adalah gaun pertama yang dicobanya tiga minggu lalu. Gaun yang beratnya sama seperti dosa Jeffrey dan sekinclong wajahnya juga. Lana jadi ngeri membayangkan dia akan memakai gaun itu selama berjam-jam. Apakah nanti dia akan pingsan beberapa jam kemudian? Atau dia akan jatuh di langkah pertama memasuki altar kemudian dilarikan ke rumah sakit sesaat itu juga? Augh. Lana tidak ingin membayangkannya. Tapi, hari ini gaun tersebut tidak begitu sesak. Benar-benar pas, tapi tidak terlalu pas seperti saat itu. Mungkin karena tubuh Lana yang kurusan, atau gaunnya yang dibuat lebih lebar sedikit. Entah. *** Berbeda dengan keluarga Lana yang begitu antusias dengan pernikahan ini, keluarga Jeffrey kebalikannya. Mereka terlihat tenang, dan kaku. Apalagi ayah dan ibunya yang mungkin baru pertama kali lagi bertemu setelah bertahun-tahun lamanya. "Kita berangkat sekarang?" tanya William, ayah Jeffrey. "Ya, ayo." "Saya akan pergi dengan suami dan anak saya nanti. Saya hanya datang untuk melihat persiapan Jeffrey." Jeffrey menghela napasnya dalam-dalam, lalu menoleh ke arah Amanda yang sudah bersiap pergi. "Apa Ibu nggak bisa pergi bersama kami?" tanya Jeffrey. "Ada Ayah kamu." "Tapi orangtua terdiri dari ayah dan ibu, bukan hanya salah satunya." Amanda tersenyum tipis. Senyuman yang entah sudah ke berapa kalinya menghancurkan Jeffrey. "Ibu akan tunggu kamu di Aula." Perempuan paruh baya itu benar-benar melenggang pergi, meninggalkan Jeffrey dan William yang memasang wajah sama; datar, tetapi ada sebuah luka tak kasat mata yang terpancar dari mata mereka. *** Jeffrey dan ayahnya sudah tiba di tempat pernikahan digelar. Disambut oleh banyak orang dengan senyuman lebar. Tapi Jeffrey, senyuman yang ditunjukkannya palsu. Tawa bahagia yang hadir hari ini palsu. Apalagi ketika netranya menemukan sosok itu. Vanilla. Yang berdiri di sudut Aula memperhatikannya lurus-lurus. Kenapa? Ada apa? Kamu bahagia menyaksikan aku hancur hari ini, Van? Ketika dia tiba di altar dan menunggu kedatangan Lana yang masih disembunyikan, tak henti-hentinya netranya memperhatikan Vanilla. Setiap apa yang dia lakukan, setiap apa yang dia katakan, tak luput dari pandangan lelaki itu. Hatinya membuncah akan rasa cinta, rindu, dan sakit yang membuat dadanya sesak. Saat lantunan lagu From This Moment dari Shania Twain mengalun, seketika sudut bibirnya terangkat, dengan kedua mata masih menatap wanita bergaun ungu muda itu dengan sendu. Jeffrey pernah berharap menikah dengannya. Mengulurkan tangan dan membawa naik wanita itu ke atas altar ketika lagu tersebut mengalun. Lalu mereka akan berhadapan, saling tersenyum dan menatap penuh cinta, hingga akhirnya janji suci terucap di depan pendeta dan seluruh tamu undangan. Tapi, semuanya sudah kandas sekarang. Dia telah mengubur dalam-dalam harapannya pada perempuan itu. Mengubur perasaan yang dia punya. Meski sulit. Jeffrey mengerjapkan matanya ketika sosok Lana sudah tiba di hadapan. Bersisian dengan Ifanov yang mengantarkan putri semata wayangnya tersebut. Jeffrey bahkan tidak memperhatikan langkah pengantinnya yang berjalan ke arahnya tadi, saking fokus pada sosok Vanilla. Ketika atensinya sudah tertuju penuh pada Lana yang nampak sangat cantik dengan balutan gaun yang dia pesan, senyuman Jeffrey terbit dengan lebar. Senyum yang wajib dia tunjukkan hari ini hingga dia muak. Senyum dan tatapan yang harus menipu orang-orang. Jeffrey mengulurkan tangan, disambut oleh Lana yang meraih tangannya, kemudian naik ke atas altar dan berdiri saling berhadapan di depan pendeta. Setelahnya, seperti pernikahan yang lain, pendeta memimpin keduanya membacakan janji sehidup semati di hadapan Tuhan yang akan mengikat mereka. Lalu saling mendekat, dan ciuman bibir sebagai penutup dari janji tersebut. Dan semuanya berlalu begitu saja. Mereka resmi menjadi suami istri pada detik itu juga. Mereka resmi menikah, tanpa adanya unsur kasih sayang, apalagi cinta. Tapi tidak pernah ada yang tahu laju perasaan, bukan? Kata orang, cinta datang karena terbiasa. Mungkin, mereka juga akan terbiasa. Dan mungkin, mereka juga akan jatuh cinta pada akhirnya. Mungkin. Ya, masih menjadi kemungkinan yang tidak pasti. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD