Lana berpakaian rapi dan cantik malam ini. Bergaun kuning muda dengan lengan tali sehingga menampakkan garis leher dan bahunya yang putih mulus. Rambut pirang lurusnya digerai ke belakang. Sementara jepitan lidi berwarna hitam ditata berjejer di bagian kiri.
Perempuan itu nampak diam. Duduk di hadapan seorang lelaki berpakaian formal dengan tatapan yang mengarah lurus padanya. Lana risi, sungguh. Ia tak bisa membayangkan harus menatap wajah itu setiap harinya. Tapi, semua sudah jadi keputusan yang Lana ambil. Ia tidak bisa mundur begitu saja.
Tekad yang kuat, dengan landasan emosi dan ego yang tersakiti. Lana akan bertahan.
"Jadi, kalian akan bertunangan terlebih dahulu?" tanya Ifanov--yang duduk di sebelah kanan Lana--memulai konversasi.
"Ya."
"Tidak."
Serempak Jeffrey dan Lana berucap.
"Kamu yakin nggak mau tunangan dulu?" tanya Ifanov heran kepada putri semata wayangnya. Aneh saja, tiba-tiba kemarin pagi Lana bicara untuk bersedia menikah dengan Jeffrey, kemudian terlihat paling ngebet akan pernikahan ini. Padahal sebelumnya dia menolak mentah-mentah rencana Ifanov. Bukankah sesuatu mungkin terjadi tanpa sepengetahuannya?
"Ya. Bukankah kata Papa sesuatu yang baik tidak boleh ditunda-tunda?" balas Lana. "Tapi sebelumnya, di mana orangtua Anda, Pak Jeffrey? Pernikahan bukan hanya soal saya dengan Anda, tapi juga keluarga kita."
Jeffrey yang baru saja meminum tehnya seketika menyimpan kembali mug tersebut. Ia mengulas senyum tipis, menatap Lana.
"Saya sudah cukup dewasa sehingga orangtua saya menyerahkan ini semua pada saya."
"Ah, dewasa. Baiklah. Atau mungkin pernikahan ini tidak begitu penting?"
Skakmat.
Lana tersenyum kecil menyaksikan Jeffrey terdiam kelu dengan senyuman tipis yang menyimpan sejuta misteri. Sengaja. Lana ingin menyerang Jeffrey dengan cara lain sekarang.
"Tidak ada yang menganggap pernikahan adalah hal yang sepele lana, especially me."
"Oke. Jadi, kapan?" Lana menatap kedua orangtuanya, kemudian Jeffrey.
"Mama terserah kalian aja. Yang penting kalian berdua sama-sama siap."
"Papa juga."
"Bulan depan?" celetuk Lana. Lagi-lagi mengagetkan penghuni meja dengan kalimat yang dilontarkan.
"Nggak kecepetan?" Ifanov terkejut.
"Bagi Lana nggak. Entah kalau buat Pak Jeffrey." Lana memicing sinis.
"Baiklah. Kalau Lana mau bulan depan, saya setuju."
Jeffrey tidak ingin kalah.
Dan tanggal pernikahan pun diputuskan. Tanggal 27 Juli 2018.
Setelah makan dan mendapatkan tanggal untuk gelar acara atas persetujuan semua pihak, pertemuan selesai. Keluarga Lana berdiri, disusul oleh Jeffrey.
Jeffrey dan Lana akan pulang bersama malam ini agar mereka bisa berbicara lebih dekat. Tentu saja tidak ada penolakan dari pihak keluarga Lana, toh itu yang mereka inginkan juga. Agar keduanya bisa lebih mengenal dulu.
Sepanjang perjalanan hanya diisi oleh keheningan. Baik Lana mau pun Jeffrey tak ada yang memulai pembicaraan. Bukannya tak niat, hanya saja salah satu di antara dua orang itu bingung bagaimana memulai pembicaraan mereka tanpa menyinggung pihak lawan bicara.
Lampu merah membuat Jeffrey menghentikan mobilnya. Saat tak ada pergerakan apa pun dari seseorang di samping, ia lantas menoleh ke sisi kiri dan menyadari bahwa Lana tengah terlelap.
Apakah dia lelah?
Entah untuk alasan apa, kedua sudut bibir Jeffrey terangkat menyaksikan wajah polos Lana. Saat terlelap, perempuan itu memang nampak damai. Tak ada kerutan halus di sekitar dahi dengan sorot tajam matanya yang terkesan menantang. Dia benar-benar cantik, manis, dan lugu layaknya bayi.
Jeffrey bergerak untuk menyingkirkan helaian rambut Lana yang terjatuh di sekitaran wajah gadis tersebut. Terdiam selama beberapa saat. Takjub. Tuhan benar-benar menciptakan sosok yang sangat cantik. Sebuah mahakarya agung yang membuat orang-orang yang segender dengan Lana iri.
Tin! Tin!
Jeffrey segera membenahi posisi duduknya dan kembali menjalankan mobil. Khawatir orang-orang di belakang akan menggila jika ia tak cepat-cepat bergerak.
***
"Besok kuliah?"
"Anda sangat sibuk, ya, sampai nggak hafal hari?" balas Lana diiringi dengan kedua bola mata yang memutar malas. "Besok Minggu."
Jeffrey terkekeh kecil. "Ya. Anggap saja begitu," katanya. "Besok siang saya jemput."
"Ke mana?" Lana yang sudah hendak membuka pintu mobil seketika menolehkan kepala.
"Waktu kita mepet sampai hari menuju pernikahan. Mulai besok saya harus mulai bergerak menyiapkan pernikahan. Termasuk mengenalkan kamu pada wanita yang melahirkan saya."
Lana menghela napas panjang. "Ke rumah orangtuamu?"
"Bukan. Rumah ibu saya."
"Sama aja. Apa bedanya?" gerutu Lana. Membuat Jeffrey hanya mengulas senyum tipis mendengar ucapannya.
Memang, bagi orang lain rumah orangtua, rumah ayah, rumah ibu, keluarga, emuanya sama saja. Tapi bagi Jeffrey jelas beda. Ia bahkan tidak tahu apa itu keluarga. Bagaimana kehidupan keluarga.
"Oke. Nanti saya jemput."
Lana tak ingin repot untuk menjawab ucapan Jeffrey. Toh, setuju atau tidak setuju, sudah seharusnya dia setuju. Dirinya sendiri yang menginginkan pernikahan ini cepat-cepat. Jadi jangan salahkan siapa pun kalau prosesnya juga harus dipercepat. Baiklah. Lana hanya harus bersikap layaknya calon istri yang baik. Itu saja, bukan?
Sementara itu, Jeffrey hanya menggeleng kecil menyaksikan kepergian Lana. Ia sadar ada sesuatu yang direncanakan gadis itu. Mulai dari dia tiba-tiba setuju untuk menikah, hingga tanggal yang begitu mepet.
"Kamu mau menjebak saya, atau ada hal lain yang ingin kamu dapatkan? Yang pasti, apa pun itu, terima kasih. Kita lihat nanti."
Ia menipiskan senyum, membentuk lesung pipit di pipinya. Kemudian menyalakan mobil dan pergi dari halaman rumah Lana. Bukan ke rumahnya, melainkan ke suatu tempat yang menjadi pelariannya setiap kali sesuatu mengganggu. Kantor. Bekerja bekerja dan bekerja. Tentu.
Sejak hari di mana ia dan Vanilla mengakhiri hubungan, Jeffrey lupa berapa banyak waktu yang ia habiskan untuk bekerja. Tak peduli akan istirahat dan asupan nutrisi tubuh. Baginya, tetap fokus adalah jalan agar ia tak mengingat betapa keras hidup menempanya. Betapa menyakitkan luka menghancurkannya.
***
Saat ini, langit mulai cerah. Mentari perlahan merangkak naik ke permukaan. Suara kehidupan di pusat kota sudah terdengar sejak beberapa jam lalu sebelum langit menjadi biru. Sedangkan Jeffrey baru saja memejamkan matanya sejak dua jam. Dan kini ia harus sudah terjaga.
Kantor sepi. Jelas saja. Hanya orang tak waras sepertinya yang masih menetap di kantor dan bekerja semalaman.
Jeffrey berjalan lunglai menuju toilet di ruangannya. Mencuci muka lalu menatap bayangannya di cermin westafel. Mengerikan. Bayangannya mengerikan. Bagaikan sesosok monster tampan dengan wajah pucat.
Ponsel di mejanya membunyikan notifikasi. Sedikit linglung karena kepala yang berdenyut nyeri efek dari bergadang semalam, Jeffrey berjalan kembali ke mejanya.
Ayah.
Ayah tidak peduli siapa gadis itu. Yang penting dia berpendidikan dan dari keluarga baik-baik. Ayah percaya kamu memilih gadis terbaik, Jeff.
Jeffrey terkekeh sumbang membaca pesan dari ayahnya. Benar. Ayahnya memang tidak peduli apa pun. Asal Jeffrey bisa mempertahankan posisinya dan juga perusahaan. Selain itu, dia tak peduli. Entah Jeffrey bahagia atau tidak, dia tidak peduli. Entah Jeffrey menderita atau tidak, dia tak ingin tahu. Yang dia ingin tahu hanyalah, Jeffrey berada di posisi tertinggi. Memiliki kekuasaan. Itu saja.
Dan selama ini, Jeffrey menerimanya. Jeffrey memperjuangkannya, agar ia diakui. Agar setidaknya, ada seseorang yang bangga padanya, meski tak ingin tahu semenderita apa ia selama ini.
Jeffrey hanya ingin pengakuan. Dan kasih sayang, sebenarnya.
***