3.Penyesalan tiada akhir

1132 Words
Aku mencoba berpikir setelah menenangkan diri dengan mengadu pada Robb-ku. Aku terus menggulir nama-nama kontak di handphoneku dengan penuh harapan. Mataku tertuju pada sahabatku bernama Elsa. Aku pun segera menghubunginya. "Gitu, ya, Sa? Baiklah, tidak apa-apa. Aku ngerti, Sa." Aku pun menghembuskan napas kecewa setelah menutup sambungan teleponku dari Elsa. Aku berniat untuk meminta bantuan Elsa, meminjam uangnya untuk sementara waktu sebelum aku nantinya punya gaji setelah bekerja. Aku bertekad akan bekerja setelah mendapatkan pinjaman untuk pengobatan Ibu sementara waktu. Namun, nyatanya Elsa pun kini tengah sedikit kesulitan karena biaya pengobatan Ibu juga tak sedikit. Aku kembali menggulir nama-nama di kontakku. Hanya Mas Azzam satu-satunya orang yang aku yakini bisa membantunya. "Aaakkkkkhhhh ... hiks, kenapa kamu kejam sekali, Mas?" teriakku mengurungkan niat untuk menghubungi Mas Azzam. " Tring!! Satu pesan masuk ke handphoneku dan ternyata itu adalah pesan dari Mas Salman yang mengingatkan aku untuk segera menyerah karena waktu yang diberikan olehnya terus berjalan. "Enggak, Mas. Aku tidak akan menyerah. Aku yakin aku pasti bisa membiayai pengobatan Ibu tanpamu." Aku tidak mungkin meminta bantuan Mas Azzam. Aku tidak ingin selalu membebani hidupnya dengan segala keluh kesahku. Aku bingung aku putus asa, tapi aku yakin jika Robb-ku akan memberikan jalan. Aku kembali menghubungi temanku yang lain. Dengan senyum bahagia aku bangkit karena akhirnya aku berhasil mendapatkan pekerjaan yang katanya akan dengan mudah membuatku mendapatkan uang. "Alhamdulillah ya, Robb," ucapku senang. "Semangat, Ana. Pasti ada jalan, masih ada waktu agar aku bisa pergi dari pria tak punya hati itu. Ya, aku bisa tanpa pria sesat itu," ucapku yakin. **** Tiba di satu Club ternama di Ibukota ... Walau dengan perasaan tidak nyaman karena aku tidak terbiasa dengan tempat seperti itu, aku mengedarkan pandangan di alamat yang aku dapatkan dari sahabatku. Aku terus menoleh ke kanan dan kiri mencari sahabatku yang katanya akan memberiku pekerjaan. Aku ragu pada tempat yang aku datangi saat ini, tapi aku tak punya pilihan karena aku butuh pekerjaan untuk biaya pengobatan Ibu. Aku merasa sedikit risih pada pandangan pria-pria di sana yang bahkan tengah meraba-raba bagian tubuh wanita namun matanya menatap ke arahku. Sekilas aku merinding membayangkan pekerjaan yang akan aku dapatkan di sana. Namun, bayangan Ibu yang terbaring lemah di rumah sakit kembali membuatku menepis sangkaan buruk itu. "Enggak mungkin, Ririn wanita baik-baik. Pasti di sini dia bekerja sebagai pelayan atau ...." "Anaaa." Aku langsung menoleh ke arah suara. Nampaklah gadis yang kusebut sahabatku itu dengan pakaian yang kurang bahan. Bahkan aku merasa malu sendiri saat melihat lekukan juga belahan di dadanya. Aku langsung menatap Ririn dari ujung kepala sampai ujung kakinya. "Woi, Ana! Kenapa malah bengong?" "Rin, kok bajumu terbuka seperti itu sih? Terus, aku kerja di sini?" tanyaku menoleh ke kanan dan kiri melihat pemandangan yang tak biasa aku lihat itu. Ririn tersenyum kecut. "Ini memang pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan uang dengan cepat, An." Aku membelalakkan mata mendengar ungkapan dari Ririn. "Apa maksudmu, Rin?" Ririn merangkul tanganku dengan iba. "Aku tahu ini tidak nyaman. Aku juga dulu seperti kamu, tapi lama kelamaan aku terbiasa. Apalagi aku pun bisa mendapatkan uang yang banyak dengan cara yang mudah. Uang dapat kenikmatan juga dapat," ujarnya dengan mata genitnya. Aku menghempaskan tangan Ririn. "Astagfirullah, Rin. Apa maksudmu pekerjaan yang kamu tawarkan padaku adalah-" "Ck, kamu tidak perlu munafik seperti itu, An. Zaman sekarang uang lebih dari segalanya. Apalagi kamu cantik, pasti akan ada banyak pria yang ingin memberimu tips di luar harga yang Mami Sela berikan." Dadaku kembang kempis mendengar ucapan menjijikkan dari Ririn. Aku bingung pada mereka yang menganggap dosa besar itu sebagai hal biasa. Baik Ririn maupun Mas Salman menurutku mereka sama-sama menjijikkan. Sungguh aku menyesal karena percaya pada Ririn yang mengatakan akan membatuku keluar dari masalahku. "Aku memang butuh uang, Rin. Tapi aku tidak sudi jika harus menjual harga diriku!" Aku membalikkan badan hendak pergi dari tempat yang menurutku menjijikkan itu. "Mau kemana, cantik?" Aku tersentak karena aku di hadang oleh dua pria berbaju hitam dan berbadan kekar. Lalu aku menoleh pada Ririn yang saat ini tengah menyeringai. Aku begitu menyesal, aku kembali tertipu. "Sorry, Ana. Semua yang sudah menginjakkan kaki di klub ini, dia tidak akan bisa keluar." Ririn memberikan kode pada kedua pria itu untuk membawaku. "Lepasin! Ririn, kenapa kamu tega banget sih, Rin. Aku sahabatmu, Rin!" Ririn seolah tak mau mendengar teriakan dan cacian dariku. Aku diseret dan di bawah ke satu kamar yang berada di lantai dua. Aku terus berusaha berontak untuk lari dari mereka. Akan tetapi, tenaga mereka tentu saja lebih kuat dari tenagaku. Apalagi jiwa dan ragaku sudah lelah sejak kemarin, membuatku ingin sekali pasrah. "Ya, Roob. Aku yakin ini semua adalah jalan terbaik untukku." Walau berat aku berusaha untuk tetap mengingat Robb yang memberiku kekuatan. Krieeet ... "Pake ini, An! Sebentar lagi kamu akan di bawa oleh tamu VVIP." Ririn melemparkan baju padaku. "Kamu itu beruntung banget, An. Baru juga datang sudah di boking pelanggan VVIP. Susah loh dapetinnya, aku aja baru satu kali. Cepetan ya An, ganti bajunya! Jangan sampai Mami Sela yang turun tangan, karena dia lebih kejam dariku." Ririn menyipitkan matanya memberi peringatan, lalu menutup kembali pintu itu. Aku masih terdiam tak bergeming. Entah apa yang harus aku lakukan saat ini karena jiwa dan ragaku begitu lelah. Namun, bayangan Ibu yang terbaring lemah kembali terpampang di benakku. Aku meraih baju di lemparkan oleh Ririn tadi. Aku begitu tersentak melihat baju itu karena menurutku tidak bisa dikatakan sebagai baju. Selain kain yang tipis, baju itu juga hanya menutupi bagian sensitifnya saja. "Astagfirullah ...." Aku mengusap wajahku. Pintu kembali terbuka. "Loh, kok masih belum dipakai sih, An? Cepetan pake, pelanggan VVIP sudah menunggumu!" "Enggak, Rin. Aku tidak mau memakai baju itu!" Ririn menatapku kesal. Lalu dengan paksa dia menarik jilbabku. Setelah itu dia memanggil pria berbadan kekar tadi. "Kamu pake sendiri bajunya, atau mereka yang akan memaksamu, Ana?" Pria berbadan kekar itu tersenyum menyeringai penuh ejekkan. Aku tidak mungkin membiarkan mereka membuka bajuku dan akhirnya aku pasrah melepaskan sendiri baju syar'i yang selalu aku pakai. Dengan berat hati aku memakai baju kurang bahan yang di berikan oleh Ririn tadi. Ririn tersenyum puas melihatnya. Lalu membawaku keluar dari kamar itu dengan senang. "Aku tidak mau, Rin! Aku mau pulang!" ucapku trus berusaha menutupi badanku dengan kedua tangan. "Sudahlah, An. Aku ini ingin sekali membantumu." Tiba di lantai dasar, sudah terlihat p****************g Tengah menatap aku dengan Ririn. "Bagaimana Tuan Zio?" Pria itu menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Perfect," ucapnya mengedipkan mata. Aku merinding takut. "Aku tidak mau, Rin." Aku hendak berlari. Namun pria itu dengan cepat mencekal tanganku. "Kamu mau kemana, baby?" "Lepasin! Lepasin! Aku tidak mau, Rin. Lepasin, aku, Rin!" Aku terus memberontak memanggil sahabatku yang saat ini tengah tersenyum puas melihatku dibawa oleh pria bernama Zio itu. "Lepasin dia!" teriak seorang pria dari arah belakangku. Aku pun menoleh pada arah suara dengan bahagia. "Mas Salman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD