8. Mendiang Raja

1087 Words
Halsten Ragnvaldsson, The King of Zerestria Kingdom. Wafat di usia 42 tahun, enam belas tahun silam mendiang Raja pergi meninggalkan seorang istri dan 10 orang anak. Sembilan Putri dan seorang Pangeran. Namun Pangeran yang masih berumur 2 tahun tidaklah mungkin untuk mewarisi kerajaan dan naik tahta menjadi pemimpin negeri. Sementara anak tertua, Putri pertama―Ethel juga baru berumur 18 tahun dan tengah menjalani pendidikannya di luar negeri. Maka sang Permainsuri tidak punya pilihan, menduduki tahta kerajaan memegang kuasa atas segala urusan negara menggantikan mendiang Raja. Enam tahun kemudian setelah Putri Ethel menyelesaikan pendidikannya dan kembali ke istana kerajaan, ia langsung dinobatkan sebagai Ratu mengambil alih tugas dan posisi Ibunda yang menjabat kepala negara kala itu. Di usia 24 tahun Ratu Ethel naik tahta memimpin negeri. Hal yang selalu menjadi penyesalan tersendiri baginya adalah tidak bisa berada di sisi sang Ayahanda mendampingi di saat-saat terakhir. Ketika itu Ratu Ethel bersama tiga saudari kembarnya tengah menempuh pendidikan di luar negeri, berada jauh dari istana. 16 tahun silam... Suasana istana diselimuti kesedihan dan tangis air mata keluarga kerajaan. Tabib istana telah menyampaikan pada mereka untuk bersiap menerima kemungkinan terburuk bahwa Raja tidak akan bertahan lebih lama lagi. Ajalnya telah tiba setelah cukup lama bertarung nyawa melawan penyakit keras yang diderita. Bahkan Raja sendiri pun sudah tahu waktunya tak akan lama lagi. Karena itu ketika kesadarannya masih tersisa, permintaan terakhir Raja adalah untuk bertemu berkumpul bersama Putri-Putrinya yang tengah berada jauh dari kerajaan ketika itu. Dengan segera Ratu memerintahkan para Putri kembali ke istana. “Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk Putri sampai di sini?” Tanya Ratu pada kepala sekretaris kerajaan. Kegelisaan di wajah Ratu tidak kuasa ditutupi. Saat ini dalam benaknya dipenuhi ketakutan bila permintaan Raja untuk melihat Putri-Putrinya tidak terlaksana. Begitu juga Ratu takut anak-anaknya terluka, dari sisi para Putri akan menyalahkan diri mereka sendiri bila tidak bisa bertemu melihat sang Ayahanda di saat terakhir. Kepala sekretaris menjelaskan dengan sikap dedikasi tingginya melayani Ratu seperti pelayanannya pada Raja. “Bila menggunakan jalur udara, Putri akan sampai esok hari Yang Mulia. Namun yang menjadi permasalahan adalah saat tiba di dalam negeri, para Putri harus menggunakan jalur darat dan membutuhkan waktu cukup lama untuk tiba di istana.” “Apa? Kenapa harus berganti kendaraan? Kenapa mereka tidak langsung saja mendarat di sini?” Nada biacara Ratu terdengar kesal, tidak puas pada penjelasan itu. “Berdasarkan hukum dan peraturan kerajaan hal itu tidak diperbolehkan Yang Mulia...” Pemerintah tidak bisa membiarkan maskapai kepemilikan asing beroperasional atau memasuki wilayah kedaulatan kerajaan Zerestria. “Di saat seperti ini! Kau masih saja bicara tentang peraturan dan hukum denganku? Beraninya!” Ratu terbawa emosi lepas kendali, merasa kesabarannya sudah habis diuji. “Ibunda, tolong tenangkan dirimu...” Putri Irene terpaksa ikut bicara. Sama seperti keempat kakaknya yang berada dalam perjalanan. Putri Irene juga pulang kembali ke Istana setelah mengetahui kondisi kritis Raja. Ia tiba lebih dulu karena berasal dari tempat yang lebih dekat, masih di dalam negeri. Peraturan adalah peraturan, meski berstatus royal family para Putri tidak boleh melanggar hukum dan peraturan yang berlaku sejak lama. Bila ada perlakuan khusus maka apa yang akan dikatakan oleh rakyat. Sekali saja hukum itu menampakkan kelemahan dan celah maka akan bermunculan kasus dan orang-orang lainnya yang berani melanggar hukum itu juga. Ratu merasa lelah, menopang kepala yang terasa berat dengan satu tangan di meja kerja Raja. Putri Irene merasa cemas melihat kondisi Ibunda. “Tetaplah bersamaku dan kita doakan keselamatan dalam perjalanan mereka...” Ucap Putri Irene mencoba menenangkan Ratu. Sementara itu keluarga kerajaan yang tersisa tetap berada di sisi pembaringan Raja. Tidak berniat beranjak meninggalkannya, meski Raja terus terbaring tak sadarkan diri. Pangeran Zeal berada dalam pangkuan pengasuh kepercayaan keluarga kerajaan. Putri Eriol, Aria, Zain dan Arseilla berbaris bergandengan tangan, saling memberikan kekuatan satu sama lain menghadapi cobaan berat ini. Saat itu Pangeran Zeal berusia 2 tahun mulai menangis, mungkin mencari keberadaan orang tuanya. Walau pengasuh pribadinya mencoba menenangkan dan membujuk, tangis Pangeran semakin kencang. Suara tangisan itu kembali memicu air mata kakak-kakaknya yang sesaat mereda. “Oh Oh Yang Mulia Pangeran-ku jangan menangis... Jangan bersedih... Cup-cup...” Putri Zain datang menghampiri pengasuh Pangeran, memberi isyarat agar menyerahkan Pangeran Zeal ke dalam pelukannya. “Zeal, aku tahu kamu juga dapat merasakannya. Jangan menangis sayang... Semua akan baik-baik saja. Ayahanda pasti sangat tahu betapa Pangeran kita mengkhawatirkannya.” Ucap Zain seraya menggendong Pangeran Zeal dalam dekapan, melangkah mendekati pembaringan untuk bergabung bersama Putri lainnya. Pengasuh mengikuti jejak langkah Putri Zain yang ketika itu berusia 10 tahun. Satu hal mengkhawatirkan bila Putri tidak cukup kuat membawa Pangeran, hal lain untuk mencegah Pangeran terlalu dekat kepada Raja. Karena Pangeran masih balita yang rentan jatuh sakit. Pengasuh merasa segan untuk menegur atau mengingatkan Putri akan hal itu tetapi bila ia tidak melakukannya maka ia yang bersalah karena lalai dari tugas menjaga Pangeran. “P-Putri tolong jangan―” “Aku tahu. Tidak mengapa untuk kali ini saja.” Pancaran mata Putri meminta pengertian. Pengasuh merasa serba salah, situasi ini membuatnya berada di posisi sulit. Karena ia lihat Pangeran Zeal kembali tenang dan berhenti menangis dalam buaian Putri Zain. “Apa yang dikatakannya benar Putriku Zain... Pangeran tidak boleh sampai jatuh sakit karena diriku.” Kesadaran Raja kembali, namun kekuatan fisiknya hanya kuasa membuka mata, bicara dan sebatas memutar kepala dengan gerakan lemah. “Ayahanda!” Seru para Putri serentak ketika mendengar suara familiar nan dirindukan itu. Entah berapa hari sudah mereka menunggu kesadaran Raja pulih kembali. Dan penantian itu terbayarkan. Tabib istana yang senantiasa berjaga di dalam kamar langsung bergerak mendekat untuk mengecek kondisi Raja. Memeriksa semua titik vital dan fungsi alat bantu yang terpasang di tubuh Raja. Memastikan tidak ada hal yang dibutuhkan dari perawatan Raja kurang atau pun salah. “Cepat! Beritahu Ibunda dan Kakak bahwa Ayahanda telah sadarkan diri.” Setengah berteriak Putri Aria segera memerintahkan pada penjaga pintu kamar Raja. Agar menyampaikan kabar ini kepada Ratu dan Putri Irene yang berada di ruangan lain menghadiri pertemuan. “Zeal... Percaya pada Kakak, apa yang kukatakan benar. Ayahanda membuka matanya berkat dirimu...” Bisikan lembut Putri Zain pada Pangeran. Air mata para Putri masih terus mengalir namun kini bersanding dengan senyuman dan ekspresi wajah lega. “Semua akan baik-baik saja...” Namun para Putri tidak mengetahui saat itu bahwa meski Raja membuka mata dan sempat sadarkan diri, bukan berarti kondisi kesehatannya menunjukkan kemajuan atau membaik. Saat itu Raja mengerahkan seluruh semangat dan energi kehidupannya yang tersisa untuk mengucapkan salam perpisahaan pada para Putri tercinta, pada Pangeran, pada Ratu dan pada kerajaan juga seluruh rakyat negeri Zerestria. ***chapter 8-Fin
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD