09
Peristiwa kemarin malam masih terbayang di benak. Sama sekali tidak menyangka bila sosok yang sangat dibanggakan oleh Aleea ternyata telah mengkhianati gadis itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksinya bila tahu tentang perselingkuhan sang tunangan.
Aku mengalami dilema. Perdebatan hati yang membuatku makin gundah gulana bak para penanam modal yang ternyata dibohongi pihak pengelola arisan atau multi level marketing.
Apalagi saat bertemu Aleea kala aku dan ketiga sahabat tengah menikmati bakso di kantin kampus siang ini. Aleea dan kedua dayang-dayang menyapa kami terlebih dahulu sebelum menduduki kursi di meja sebelah kiri.
Bakso yang tengah ditelan seakan-akan menyangkut dan membuatku nyaris tersedak. Ijan bergerak cepat menepuk punggungku hingga bakso itu akhirnya meluncur mulus memasuki lambung tanpa dikunyah halus.
"Kenapa sih? Kayaknya kamu grogi gitu," tanya Ijan dengan suara yang pelan.
"Nggak apa-apa, cuma agak kaget aja," jawabku sambil mengambil botol minuman berisi air teh dan segera menenggaknya hingga tersisa separuh.
"Udah sering juga ketemu Aleea, masih salting aja, Ken," ledek Sandy seraya tersenyum lebar.
Aku menaikkan alis dan ikut mengembangkan senyuman. Sedikit malu bila ternyata kegugupanku tetap terbaca oleh mereka.
"Yuk, kita balik ke kelas," ajakku sambil berdiri.
"Bentar dulu, baksoku belum habis," sahut Willy.
"Makanya jangan rakus, kita-kita cuma makan seporsi, ehh dia ngembat tiga mangkok," timpal Ijan yang langsung diperenguti oleh Willy.
Aku tak menghiraukan pemuda bertubuh tambun tersebut dan melenggang ke luar kantin. Ijan dan Sandy menyusul, tak peduli omelan Willy yang tengah berusaha menghabiskan makanannya.
Di tengah jalan kami bertemu dengan Tie dan Humaira, sahabat Tie yang sama manisnya. Kontan saja Ijan langsung berubah menjadi Patung Pancoran, sementara Sandy memamerkan lesung pipinya yang cuma ada sebelah itu pada Humaira.
Aku yang tahu bila kedua pemuda itu naksir pada kedua gadis tersebut, hanya bisa mengulum senyum melihat tingkah mereka yang aneh. Namun, tawaku tak bisa ditahan lagi kala Ijan terhuyung-huyung saat Tie berpamitan sambil menepuk lengannya.
Dari kejauhan tampak Willy tengah jalan mendekat sambil memanggil-manggil kami. Saat tiba, wajahnya tampak merah padam bak udang galah rebus. Napas ngos-ngosan dan peluh membasahi tubuh bagian atas.
Aku bilang begitu karena bagian ketiak kemeja kuning kunyitnya itu tampak basah. Demikian pula bagian d**a, dan yakin banget kalau bagian punggungnya pun basah.
"Tega!" desisnya sambil mengatur napas.
"Salah sendiri kemaruk. Jadi ditinggal!" balas Ijan dengan sengit.
"Bawa baju ganti nggak?" tanyaku mengalihkan perhatian kedua pemuda yang sepertinya tengah bersiap-siap untuk berbalas pantun.
"Ada di tas," jawab Willy.
"Buruan ganti, entar diomelin mister Kusno!" seru Sandy sembari mendorong pundak Willy dan mengikuti langkah pemuda tambun itu sambil bernyanyi lagu naik-naik ke puncak gunung.
Aku mengernyitkan dahi, merasa aneh dengan lagu pilihan Sandy. Kemudian menyenggol lengan Ijan sambil bertanya. "Bukannya Sandy harusnya nyanyi lagu naik delman?"
"Bukan, tapi lagu balonku," sahut Ijan tak kalah edannya.
"Kayaknya lebih cocok lagu jaran goyang."
"Ehm, lagu bang Toyib juga bisa."
"Atau ... semut hitam."
"Lagu siapa itu?"
"God Bless."
"Seleramu tua banget, Ken!" Ijan terkekeh.
"Grup legendaris Indonesia itu. Kamunya aja yang nggak ngeh!" sahutku tak mau kalah.
"Legenda mana sama Slank?"
"Jelas senioran yang itulah. Ahmad Albar. Ian Antono. Musiknya cadas!"
"Entar mau nyari lagunya ahh."
"Yoih, pelajari drumnya. Bang Ali lagi nyari partner band."
Ijan mengangguk sambil melebarkan senyuman. Lalu kami melanjutkan langkah menuju kelas yang sudah nyaris penuh. Aku bergegas menduduki bangku kesayangan kala melihat sosok Mister Kusno yang memasuki ruangan dengan gaya jalannya yang unik, berlenggok bak peragawan panggung tujuh belasan.
Mister Kusno adalah satu-satunya dosen yang sok killer, tetapi sebenarnya konyol. Dia itu sebenarnya masih tergolong muda, usianya baru tiga puluhan, tetapi karena namanya model zaman dulu, terus dia kalau ngajar itu model teks book, jadilah kesannya mata kuliah bahasa Inggris itu agak mengerikan sekaligus membosankan.
Terutama bila dia mulai kumat ngasih kuis dadakan yang membuatku ketar ketir. Pada tahu kan kalau aku paling "malas" belajar, terlalu sibuk menyanyi dan menebar ranjau bucin buat Aleea.
***
Malam ini, suasana kafe sangat sepi. Hal ini disebabkan hujan yang tak henti-hentinya meluncur, menjadikan orang-orang malas bergerak dan memilih untuk berdiam diri di rumah.
Namun, kami tetap tidak bisa bersantai-santai. Tetap menampilkan lagu-lagu andalan sekalian menyempurnakan penampilan dan teknik musik.
Saat waktu istirahat tiba, Mbak Yeni mendekatiku dan membahas beberapa lagu berbahasa Korea yang harus kami pelajari. Beberapa minggu lagi kafe akan menjadi tempat pertemuan para penggemar salah satu boyband dari negeri ginseng tersebut, dan kami bertanggung jawab untuk menyajikan musik-musik berkualitas demi kesuksesan acara.
"Aduh, bahasanya makin njelimet," keluhku sambil memelototi kertas yang berisi daftar lagu Korea.
"Belajar banyak bahasa, Ken. Biar makin berkembang," sahut Mbak Yeni. "Kamu dan Linda kan masih muda, jalan kalian masih panjang. Kalau dari sekarang sudah menguasai banyak lagu berbagai bahasa, itu akan jadi poin plus," sambungnya.
"Iya, sih. Tapi sumpah, lihat hurufnya bundar-bundar gini aku jadi ingat bolu gulung."
"Iyakah?"
"Coba Mbak perhatiin bener-bener."
Mbak Yeni menuruti saranku dan mengerutkan dahi. Fokus menatap huruf ala Korea itu tanpa menyadari bila aku tengah mengerjainya. Beberapa saat berselang, barulah dia sadar dan mencubitiku dengan gemas.
Candaan kami berhenti tepat di saat Kang Ryan memasuki kafe dan langsung menaiki tangga sambil melambaikan tangan menyapa kami. Aku langsung menoleh pada Linda yang tengah menikmati spaghetti di meja terdekat, kemudian kami sama-sama menggeleng.
"Jangan bilang kalau kamu pernah melihat bos sama Mbak Sarah berduaan," bisik Mbak Yeni yang membuatku seketika menengadah dan menatapnya dengan lekat.
"Mbak juga tau?" tanyaku.
"Hu um, udah lama, tapi cuma bisa nutup mulut."
"Jadi bingung, ya, kita," timpal Mas Fa yang baru kembali dari toilet dan kini berdiri di hadapanku.
"Kita kan masih butuh duit, jadi lebih baik diam," sela Mas Steven sembari menarik kursi dan duduk di sebelah kananku.
"Yoih, cari kerja kantoran sekarang susah, apalagi udah tua. Aku nggak mau ikut campur dan pura-pura nggak tau aja," celetuk Bang Ali yang mendapatkan anggukan persetujuan dari ketiga orang lainnya.
"Tapi, kasian Aleea," imbuhku. "Dia beneran sayang sama bos. Aku nggak bisa ngebayangin gimana hancurnya dia kalau tau," lanjutku.
Mbak Yeni menepuk bahu kiri dan menatapku seraya mengulum senyum. "Kalau dia harus tahu, jangan dari kita, Ken. Aku yakin, Aleea itu perempuan yang kuat hati. Tunggu aja, sebentar lagi juga bakal kebongkar dan mereka akan putus."
"Dan kamu punya kesempatan untuk mendapatkan cinta Aleea," tukas Mas Fa yang membuatku terkesiap.