Tuan Takur

1198 Words
3 Satu jam kemudian aku sudah tiba di kampus yang tampak lengang. Mataku melirik ke pergelangan tangan kanan, mendengkus saat menyadari bahwa aku sudah terlambat tiga puluh menit. Akhirnya aku memutuskan untuk nongkrong saja di kantin sembari menunggu jam mata kuliah selanjutnya. Kantin ini letaknya di samping kampus. Beberapa kios berderet rapi dengan aneka ragam cat yang menyolok. Tempat favorit para mahasiswa dan mahasiswi ini tampak cukup ramai. Setelah memilih dan memilah, aku memasuki kios yang menyediakan berbagai makanan ringan. Setibanya di depan meja kasir, aku memesan kopi s**u dan seporsi pisang bakar keju cokelat. Berbalik dan jalan ke sudut kanan ruangan yang tampak ramai. Aku duduk di kursi paling pojok dan meletakkan tas ransel di atas meja. Meraih ponsel dari dalam tas dan tenggelam di dunia maya. Tiba-tiba pundakku ditepuk dengan keras. Saat menoleh ke belakang, aku beradu pandang dengan Ijan Kutilang dan Willy Kuda Nil yang cengengesan. "Kok kalian ada di sini?" tanyaku. "Kesiangan, kamu ngapain?" Willy balas bertanya. "Aku gak kesiangan. Cuma telat doang." "Sarua' wae eta mah, Jang!" ujar Ijan dengan gemas. Dia orang turunan Sunda. Abah dan ambunya yang asli Sunda. "Kamu udah pesan?" tanya Willy. Aku sudah hapal trik liciknya. Dia nanti ikut mesan tetapi aku yang bayar. Menyebalkan! "Nggak, lagi kere!" tegasku. Willy cemberut, mungkin kesal karena aku enggak bisa dijebak. Ijan berdiri dan melangkah menuju lemari pendingin. Dia membuka pintu dan mengambil tiga botol kaca berisi air teh kemasan. Tak lupa untuk menutup pintu lemari pendingin sesaat sebelum kembali ke meja. "Nih, aku traktir!" ujarnya sambil meletakkan botol minum ke atas meja. "Thank's, ya. Tumben nih, lagi kesambet?" candaku. "Aku baru dapat bayaran ngojek dari Mpok sebelah rumah," jawabnya. "Oh, yang anaknya cewek SMU itu?" "Yoih. Kan bisa sekalian aku berangkat ke kampus tiap hari. Kecuali hari ini. Dari kemaren itu cewek nggak masuk sekolah. Lagi sakit kata emaknya," jelas Ijan di sela-sela menyesap minuman. "Namanya siapa sih?" tanya Willy dengan antusias. "Anjali. Cakep, yak, namanya?" Ijan terkekeh. "Kayak nama orang India," tukas Willy sambil mengerutkan dahi. "Babenya emang turunan India. Mukanya aja kayak Tuan Takur!" Sejenak kami terdiam. Aku sibuk membayangkan wajah Tuan Takur, tokoh film negeri Bollywood yang selalu digambarkan bengis dan kejam. "Kenalin ke aku dong. Lagi jomlo nih," ujar Willy. "Kamu mah pelit. Tiap pedekate ama cewek pura-pura lupa bawa dompet. Makanya jomlo mulu!" tukasku yang mendapat anggukan persetujuan dari Ijan. Sementara Willy kembali memasang wajah andalan bila lagi pundung, yaitu menekuk wajah hingga berbentuk trapesium. Jam sepuluh lewat tiga puluh menit, kami sudah berada di dalam kelas. Sengaja duduk di deretan belakang untuk menjahili Sandy yang senewen karena cuma dia yang ikut kuliah dari kelas pertama tadi. Sang dosen yang kemayu mulai menjelaskan mata kuliah Matematika. Mata pelajaran yang paling aku benci. Dari dulu enggak pernah bisa. Di antara kami berempat, cuma Willy yang rada pintar di bidang Matematika. Ijan jagoan di bidang sejarah dan geografi. Sandy lumayan pintar di bidang bahasa. Sedangkan aku paling menguasai kesenian dan olahraga. Masing-masing dari kami saling melengkapi alias saling bantu contek-menyontek. Dari hasil kerjasama yang baik itulah kami bisa lulus SMP dan SMU dengan nilai yang lumayan bagus, menurut kami. Jam satu kurang perkuliahan selesai. Aku segera ke luar kelas dan berlari ke gedung sebelah, tempat di mana Aleea hari ini kuliah. Aku sudah hapal jadwal kuliah Aleea. Itu hasil mentraktir salah satu teman sekelasnya yang bernama Intan. Perempuan berparas manis yang merupakan salah satu teman sekelas sejak TK. Tak lama kemudian Aleea keluar dari gerbang kampus Aku menyambutnya dengan senyuman terindah, Andika Pratama aja kalah. Aleea menatapku dan membalas tersenyum. Mendadak aku merasa limbung. Hati berdebar kencang dan lutut seakan-akan lemas. Belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Padahal aku udah sering pacaran. "Hai, tos lami nunggu na?" tanyanya dengan logat Sunda yang sangat fasih, karena ibunya asli dari Bandung. "Hah?" "Jawab, baru aja gitu," ujar Ijan yang ternyata sudah ada di belakangku. "Kamu ngapain ke sini?" tanyaku gusar. "Aku penasaran lihat kamu lari ngepot. Ehh taunya ngapel si Neng geulis," jawabnya seraya tersenyum-senyum m***m ke arah Nin, yang tertunduk malu di sebelah Aleea. "Itu teman-temanmu?" tanya Aleea. Tangannya menunjuk Sandy dan Willy yang cengengesan di belakangku. Okeh, fix. Besok-besok aku ikat aja mereka bertiga di tiang listrik biar enggak ganggu orang lagi pedekate! "Bukan. Mereka tukang cuci gosok di rumah," jawabku asal yang langsung mendapatkan hadiah jitakan di kepala dari Sandy. Ketiga gadis di depanku kompak cekikikan. "Kita jadi jalan kan?" tanyaku harap-harap cemas menang undian. "Lho, emang kemarin aku iyain?" Aleea balik bertanya. "Nggak sih. Tapi feelingku kamu nggak bakal nolak jalan sama aku!" "Dih. Ge-er!" "Iya, kan?" "Iya deh, tapi kita mau jalan ke mana?" "Ke mall, yuk!" "Boleh. Terus mereka ikut? Mobilku nggak muat kalo bertujuh gini." "Mereka ngikutin pake motor." "Tega kamu, ya! Dia nebeng di mobil. Kita disuruh pake motor," celetuk Willy. "Itu kalo mau pada ngikut. Nggak ngikut lebih bagus lagi!" jawabku dengan sedikit kesal. "Udah, jangan berantem. Ayo, gaes, kita nyusul pake motor aja," ajak Ijan sambil merangkul pundak Willy dan Sandy. Kami berjalan bersisian menuju tempat parkir. Aleea mengulurkan kunci mobil kepadaku yang langsung menggeleng. "Aku nggak bisa nyetir. Kecuali kalo kamu mau masuk UGD, sini aku setirin," ucapku sedikit malu. Aleea tertawa dengan renyah dan merdu. Semerdu nyanyian di hatiku. *** Setibanya di mall, para gadis sibuk mampir ke sana dan ke sini. Nyaris berhenti di setiap toko yang ada tulisan SALE. "Kita ke situ, yuk! Aku haus," ajakku ke Aleea. Tanpa menunggu persetujuan, aku menarik lengannya ke sebuah kafe kecil. Lalu menarik kursi di meja paling depan dan mempersilakannya untuk duduk. Kemudian aku ikut duduk berdampingan dengannya. Nin dan Maia ikut duduk semeja dengan kami. Sedangkan ketiga sobatku duduk di meja sebelah. "Berani mesan kudu berani bayar!" ujarku tegas kepada tiga cowok ganjen di meja sebelah. Ijan mengedip. Sandy mengangguk. Willy membuang muka, setelah itu dia sibuk mencari mukanya yang dibuang tadi. Ketiga gadis masih sibuk berdebat mau memesan apa sambil memegang daftar menu. Seorang pelayan datang mendekat dan bertanya, "Mau pesan apa, Mas?" "Di sini yang nggak ada itu apa?" Aku balik bertanya dengan sorot mata lugu. Mbak pelayan menghela napas panjang. Mengembuskan dengan keras ke arah Willy yang kebetulan lagi mangap. "Udah, Mbak. Nggak usah diladenin," ujar Aleea. Wajahnya tampak kesal karena aku menjahili si Mbak. "Saya pesan jus mangga tiga dan jus jeruk yang asem buat mereka berempat," sambungnya lagi. "Ada tambahan, Mbak?" tanya Mbak pelayan. "Nasi goreng seafood satu. Nasi goreng spesial satu. Nasi goreng sosis satu. Dan nasi goreng satu biji buat kuda nil," sahutku. Mbak pelayan mengangguk sambil terus mencatat pesanan. Willy yang akan melempar asbak ke arahku, ditahan Ijan dan Sandy. Sambil menunggu pesanan datang, kami berempat ngobrol panjang kali lebar kali tinggi. Sekali-sekali ketiga nyamuk di meja sebelah ikut menguing. "Kamu beneran udah tunangan?" bisikku ke Aleea. "Iya," jawabnya singkat. "Ganteng mana sama aku?" Mata Aleea menyipit. Memperhatikanku dengan saksama. Kepalanya dimiringkan untuk menatapku dari berbagai sisi, yang hati berdebar diperlakukan dengan begitu rupa. "Gantengan kamu ... dikit." Senyumanku melebar. "Gantengan dia banyak," jelasnya lagi. Senyumanku menghilang. Berganti dengan cibiran dan rahang mengeras. Saat pesanan kami tiba, aku langsung menyantap makanan dengan penuh semangat membara. Kali aja habis makan nanti aku bisa berubah lebih ganteng dari tunangannya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD