Sariawan?

1164 Words
1 "Hai!" Aku melambaikan tangan menyapanya. Namun dia hanya diam dan tidak bereaksi sama sekali. Akan tetapi, bukan Kenzo namanya kalau menyerah di percobaan pertama. "Hai, aku Kenzo. Boleh kenalan?" Sekali lagi aku menyapa, tetapi lagi-lagi gadis itu tetap diam. Matanya tetap terarah ke depan dan seolah-olah mengabaikanku yang mulai kesal. "Kamu sariawan?" tanyaku di perjuangan terakhir dan akhirnya berhasil. Dia menoleh sambil memelototiku dengan iris mata berkilat. Aku membalas dengan seulas senyuman memikat. "Hei! Itu yang ngobrol berdua di barisan tengah. Maju ke sini!" teriak kakak senior menggunakan mic. Suaranya yang nge-bass terdengar menggelegar bagai petir yang menyambar di siang hari yang mendung ini. "Lu sih, berisik!" desis sang gadis berambut panjang itu sambil melangkah maju ke depan barisan. Aku mengekor di belakangnya sembari dadah-dadah kepada peserta MOS lainnya. Semua mata melihat ke arah kami. Ada yang bengong, ada yang senyum-senyum. Ada yang sampai ketawa sambil memegang perut. Itu tak lain pasti ketiga sohibku dari masa SMP dulu. Sandy tonggeret, Ijan kutilang dan Willy kuda nil. "Kak, aku gak ikutan ngobrol. Dia nih yang ganggu!" ujar sang gadis dengan suara yang dilembut-lembutkan. Aku nyaris tertawa mendengarnya. "Kakak gak mau tau. Yang kakak lihat kalian itu lagi ngobrol. Titik!" ketus sang kakak senior dengan wajah sinis. Sang gadis sudah mau membantah, mulutnya membuka dan menutup bak ikan megap-megap mencari oksigen. Kembali dia mendelik ke arahku yang membalas dengan menaikkan alis dengan dramatis. "Kalian dihukum," sambung Kakak senior laki-laki yang memiliki kumis tipis lima helai. "Kami dihukum apa, Kak?" tanyaku pura-pura polos. "Kamu bisa nyanyi atau nari atau pantomim gitu?" Aku berpikir sejenak. Berlagak pintar. "Aku nge-rap aja kak. Tapi lagu luar negeri boleh?" "Boleh. Lagu luar dunia juga boleh." "Oke Kak. Siap!" jawabku semangat. "Nah, kalo kamu mau ngapain?" tanya Kakak senior kepada sang gadis. "Aku ... nari aja deh, Kak," jawabnya pelan. "Oke, kembali dulu ke barisan, sepuluh menit lagi waktu kalian tampil." Tanpa banyak bicara, aku dan sang gadis berbalik menuju barisan semula. Para peserta lain hanya bisa melirik sekilas, mungkin takut dihukum bila berani mengobrol. Seperti kami, aku dan gadis berkulit putih yang cantik. "Makanya kalo diajak kenalan itu buruan jawab. Jadi gak bakal dihukum," ucapku santai, sesaat setelah kami sampai di kelompok. Sang gadis mendelik dengan tatapan membunuh. Membentuk gaya menggorok leher dengan tangan. Ihhh. Seremmm! *** Sepuluh menit kemudian kami dipanggil lagi ke depan. Dengan langkah santai aku beranjak maju. Sang gadis mengikuti sambil menunduk. "Sudah siap?" tanya Kakak senior yang bertubuh tinggi besar dan bercambang tipis, sekilas mirip Mike Tyson. Aku mengangguk mengiakan, sementara sang gadis masih tetap mematung di tempat, mungkin lagi mikir. "Oke, silakan dimulai!" imbuh Kakak senior. "Pinjam mic-nya, Kak!" Kakak senior menyerahkan mic. Aku langsung membalikkan tubuh menghadap teman-teman yang sedang duduk bergerombol sesuai kelompok. Check check check. One two three One two three Yooo Kenzo is in the house Come on let's raise your hand people! Are you ready? One two three One two three yeah Yoo yoo Come on come on let's raise your hand! Lagu khas Melayu yang berjudul Cik Cik Periuk kunyanyikan dengan penuh penghayatan. Tak lupa dengan diiringi gerakan menari japin, yang pernah diajarkan oleh Mama saat masih kecil dulu, yang rupanya ditanggapi penuh antusias oleh pemirsa. Suara penonton bergemuruh. Gelak tawa menular di setiap sudut lapangan bola ini. Tepuk tangan sekaligus suitan sambung menyambung terdengar riuh rendah. Aku menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan. Merasa senang pertunjukan tadi berjalan dengan sukses. Kakak senior menghampiri dan menepuk pundak sambil tertawa. "Keren juga gaya lu. Lagu dari mana itu? Bahasa Melayu, ya?" cetusnya di sela-sela tawa. Mungkin senang mendapatkan hiburan gratis. "Itu lagu daerah Sambas, sebuah kabupaten di Kalimantan Barat, Kak," jawabku lugas. "Kok lu bisa hafal?" "Mamaku asli dari Pontianak, Kak. Ada turunan dari Sambas juga. Lagu ini adalah lagu wajib Mama kalo lagi nyapu ngepel di rumah. Jadinya aku hapal deh." Cengiran di wajahku semakin melebar. "Pantes, tapi beneran keren lho. Ntar ikutan ekskul paduan suara aja bareng gue. Kita bikin gaya yang berbeda. Ada unsur rap-nya. Gimana?" "Entar kupikirin deh, Kak. Beresin MOS dulu." "Oke. Kalau berminat lu hubungin gue, ya!" "Siap, Kak!" Kakak senior melepaskan rangkulan, kemudian menoleh ke sang gadis yang wajahnya tampak pucat. "Sekarang giliranmu. Mau nari apa?" tanya Kakak senior bercambang. "Jaipong, Kak!" "Wow! Ehh tapi kalo gak pake lagu gak apa-apa nih?" "Biar Kenzo aja yang nyanyi, Kak. Bisa 'kan?" Sang gadis menantangku rupanya. Dia menatap dengan senyum yang kuyakin itu sinis. Matanya yang memang sipit pun tampak makin segaris. Hayoklah. Kenzo enggak bakal mundur kalau ditantang! Siapa takut! Aku mulai bersenandung lagu bubuy bulan, tentu saja dengan gaya rap yang fantastis. Enggak usah dibayangin readers. Authornya aja bingung ngejelasinnya gimana. Sang gadis mulai menari dengan gerakan jaipong yang lincah. Sekali-sekali dia melompat ke kanan dan ke kiri. Beberapa gerakan silat pun ditampilkannya dengan luwes. Setelah gerakannya berhenti, semua orang bertepuk tangan dengan riang. Demikian juga denganku. Dia menoleh ke arahku sembari mengacungkan jempol. Bibir mungilnya membentuk kata, "Hatur nuhun." (terima kasih) Kubalas dengan anggukan dan menggerakkan bibir dan membentuk kata, "Sami-sami." Seusai menjalani hukuman, kami berjalan bersisian menuju kelompok di bagian kanan halaman universitas yang luas ini. "Capek?" tanyaku basa-basi. "Lumayan," jawabnya seraya menyeka keringat dengan sapu tangan handuk. "Tarian kamu bagus. Apa namanya?" "Jaipong acakadut." "Hah?" "Jaipong acak-acakan," jawabnya seraya tertawa. Tawa yang renyah, seperti kerupuk udang yang baru digoreng. Krenyes ... krenyes. "Jadi, nama kamu siapa?" "Aleea." "Panggilannya eeaa gitu?" Tiba-tiba dia bergerak cepat mencubit lenganku. Tak peduli aku meringis kesakitan. "Panggil Aleea. Jangan disingkat!" hardiknya. "Iya, deh, Aleea imut." Kami saling melirik, sejurus kemudian kami tertawa. Tawa yang mengalirkan rasa hangat sampai ke d**a yang perlahan berubah menjadi desiran halus. Eeeaaaaa! *** MOS telah berakhir. Aku disibukkan dengan perkuliahan sembari memulai pedekate dengan Aleea. Entah kenapa, semenjak perkenalan pada hari itu membuatku sulit untuk melupakannya. Matahari di siang hari ini terasa sangat terik. Beberapa kali kuusap peluh di dahi yang lapang. Sekilas mirip lapangan voli yang licin tanpa rumput yang bergoyang. Sambil memainkan ponsel, pandanganku sesekali melirik ke arah pintu depan kampus Aleea. Tempat masuk dan keluarnya para mahasiswa dan mahasiswi. Detik demi detik berubah menjadi menit. Akhirnya sang pujaan hati terlihat keluar dari pintu tersebut. Diiringi dua orang dayang-dayang, sang putri keraton itu berjalan sambil ketawa ketiwi. "Hai," sapaku dengan suara yang dibuat semerdu mungkin. Dari jarak sepuluh meter dia berhenti dan memandangku dengan sorot mata bingung. "Ken ... Arok?" tanyanya lugu. Ihhh. Apaan sih? "Bukan, tapi Ken ... tungan!" sahutku asal. Dia berjalan mendekat seraya tersenyum. Di belakangnya dayang-dayang masih setia mengekor. "Ngapain ke sini?" tanya sang putri Aleea. "Jemput kamu!" "Gak usah. Aku bawa mobil kok!" JLEB! Haloh! Emergency! Please help! I'm klepek-klepek here! Hatiku tertusuk belati tajam. Susah payah pendekatan, tetapi ternyata dia lebih kaya dariku. Tatapanku mengikuti langkahnya menuju tempat parkiran mobil. Kemudian aku bergegas mengenakan helm, menaiki motor, mengangkat standar dan menyalakan mesin motor matik kesayangan. Aku bertekad tidak mau mundur sebelum berperang sambil mengikuti laju mobil sedan merah milik Aleea. Melewati lembah, sungai, jurang dan danau. Kemudian berakhir di kolam penuh kenangan mantan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD