13
Hari pun berganti. Masa usia sembilan belas tahun pun terlewati dengan ciuman dan pelukan hangat dari Papa, Mama dan Khanza. Sedangkan Kai hanya menyalamiku tanpa mengucapkan apa pun, lalu melenggang menuju meja makan dan duduk dengan santai, menyantap nasi kuning dengan lauk komplet yang sengaja disiapkan Mama sedari subuh.
"Mau dirayakan nggak, Bang?" tanya Papa seraya mengulaskan senyuman yang kurasa agak menggoda.
"Iya, Pa. Nanti malam kita makan-makan di restoran yang baru buka itu. Abang juga mau ngajak teman-teman kampus. Kalau teman-teman band, nanti siang Abang mau traktir mereka makan pizza, pada minta ke situ," sahutku.
"Aleea diajak kan?" timpal Mama.
Sekian detik aku terdiam, kemudian mengangkat bahu tanda bingung. Semenjak pengakuanku tempo hari, Aleea belum memberikan jawaban apakah menolak atau menerima ajakanku untuk menjadikannya pacar.
Hingga satu bulan berlalu, nasibku masih digantung bak cucian terlupakan di tiang jemuran. Dari basah, terus kering, sampai basah dan kering lagi pun tetap diabaikan. Sangat tidak nyaman berada di posisi seperti ini, dan aku sudah bertekad untuk melupakan Aleea bila sampai hari ini dia tidak jua memberikan kepastian.
Seusai menikmati sarapan, aku berangkat ke kampus dengan membawa satu kantung plastik besar berisi beberapa gabus sintetis yang berisi nasi kuning lengkap, yang akan dijual, ehh, maksudnya dibagikan ke teman-teman terdekat.
Willy si kuda nil tampak sangat antusias menerima gabus sintetis itu. Dia langsung duduk di undakan tangga dan membuka kemasan, lalu menghabiskan makanan dalam waktu singkat. Aku sampai melongo melihat kecepatannya mengunyah. Benar-benar mirip kuda nil.
Ijan dan Sandy kompak menyimpan gabus sintetis itu untuk bekal makan siang. Hal yang sama juga dilakukan oleh Tie, Humaira dan beberapa teman yang kebagian. Sementara yang tidak kebagian, akhirnya harus puas menyantap potongan kue-kue yang dalam sekejap langsung lenyap.
Dua mata kuliah hari ini sama-sama membuatku bahagia. Sebab yang satu dosennya cuma menyuruh kami membaca literatur, sedangkan yang satu lagi tidak masuk dan hanya memberikan tugas ringan melalui asisten dosen yang menjadi kesukaan para mahasiswi.
Andika Wiryawan, nama asisten dosen yang harus kuakui tampan itu memang ramah. Dengan sabar dia meladeni berbagai pertanyaan yang kuyakin cuma pura-pura ditanyakan teman-teman. Selain ramah, suaranya yang bagus pun cukup memukau.
Ditunjang dengan tubuh semampai, kulit kecokelatan yang bersih dan badannya selalu wangi, wajar kalau banyak mahasiswi mengidolakannya, termasuk Tie dan Humaira.
Kedua temanku itu sama-sama menopangkan dagu di atas meja dan memandangi sang asisten dosen dengan tatapan memuja. Hal itulah yang membuat Sandy dan Ijan blingsatan.
"Susah saingan ama orang pintar dan cakep gitu," ujarku, sesaat setelah kami mendudukkan diri di kursi kantin favorit.
"Udah deh, Ken. Jangan disebut-sebut mulu!" sungut Ijan.
"Tau nih si Kentungan, udah tau kita lagi kesel, malah ngegodain," timpal Sandy sembari mengaduk-aduk nasi kuning.
"Ganti gebetan ajalah, yang sesuai kondisi wajah dan kantong," imbuhku yang makin membuat mereka emosi dan kompak memukuli pundakku dengan kekuatan penuh.
Willy tidak ikut serta dalam pembicaraan kami karena tengah sibuk mengunyah nasi dan semur jengkol di piringnya. Kadang aku heran, dia bisa makan begitu banyak dan semuanya habis tanpa bersisa sedikit pun.
"Nanti malam kita ketemu di restoran aja, jam tujuh," ujarku. "Kalau ngumpul di rumah jadinya mutar-mutar," sambungku sambil berdiri dan meraih tali ransel lalu mencangklongkannya di pundak kanan.
"Kamu sekarang mau ke mana?" tanya Ijan.
"Ke suatu tempat."
"Kami nggak diajak?" sela Willy yang baru selesai menghabiskan isi piring.
"Giliran teman-teman band yang ditraktir sekarang, kalian kan nanti malam."
Aku melenggang menyusuri koridor depan kantin sambil membalas sapaan teman-teman beda kelas yang belakangan jadi bersikap ramah padaku, terutama setelah aku berlaku lebih hangat pada mereka.
Dulu, aku sering bersikap seolah-olah hanya hidup sendiri, dan ternyata itu dianggap sebagai sikap sombong oleh beberapa orang. Alhasil, setelah sadar aku pun mengubah sikap menjadi lebih ramah. Satu hal yang kupelajari dari teman-teman band.
Menurut ketiga abangku itu, sebagai seorang musisi aku tidak boleh pongah. Sebab di atas langit itu ada langit yang lebih tinggi. Aku tidak boleh terlalu berbangga diri, karena sejatinya akan ada yang suaranya lebih bagus dariku. Serta permainan gitarnya lebih mumpuni.
Selain itu menurut Mbak Yeni, aku bisa menganggap bahwa tengah latihan menghadapi penggemar, bila suatu saat nanti aku menjadi penyanyi terkenal. Hal itulah yang tengah kulakukan saat ini. Tidak ada salahnya memulai sesuatu hal yang baik bukan?
"Ken," panggil seseorang yang aku tahu pasti siapa. Akan tetapi, aku tetap meneruskan langkah menuju motor, tengah enggan bertemu dengannya.
"Heh! Dipanggil malah pura-pura b***k!" serunya, tetapi tetap kuabaikan dan segera memasang helm.
"Kenzo!" pekiknya sambil memegangi lengan kananku. "Sombong amat sih!" hardiknya sambil membeliakkan mata.
"Aku ada urusan penting, nanti aja kita ngobrol." Aku melepaskan pegangannya dan memasukkan kunci ke lubang serta langsung menyalakan mesinnya.
Akan tetapi, tanpa diduga ternyata Aleea menyambar kunci motor dan menyembunyikannya di tas. Aku berusaha mengambil kembali benda itu dengan mengacak-acak tasnya.
Selanjutnya, adegan saling tepis dan tangkap tangan menjadi kegiatan kami. Hingga akhirnya aku berhasil mendapatkan kunci dan memasukkannya ke saku jaket jin hitam yang dikenakan.
"Apa maumu, Lea? Aku benar-benar udah ditunggu!" seruku, tanpa sadar telah meninggikan suara dan seketika membuatnya terperangah.
"Aku ... cuma mau ngucapin selamat ulang tahun," jawabnya sambil menunduk.
Seketika hati luluh dan jiwaku meleleh. Ucapannya barusan ternyata sanggup membuatku melupakan kekesalan hati karena menunggunya sebulan lebih.
"Makasih," sahutku. "Sekarang, aku boleh pergi?" tanyaku dengan suara yang dilembut-lembutkan.
"Kamu mau ke mana?"
"Ketemu teman-teman band. Mereka minta traktir pizza."
"Aku ikut, boleh?"
Aku tertegun sejenak, menimbang-nimbang dalam hati sebelum akhirnya mengangguk menyetujui permintaannya. Sudut bibirnya terangkat membingkai sebuah senyuman, kemudian gadis itu jalan menuju mobil dan membuka bagasi. Tak lama kemudian dia kembali sambil memeluk helm merah muda dan langsung naik ke jok motor.
"Mobilmu gimana?" tanyaku.
"Biarin aja, nggak bakal hilang ini," sahutnya.
Aku kembali memasukkan kunci dan menyalakan mesin motor. Menarik gas dan melajukan kendaraan dengan pelan menuju pos penjaga keamanan. Aleea menitipkan kendaraan pada petugas, lalu menepuk paha kananku sebagai tanda agar bisa kembali melanjutkan perjalanan.
Jantungku berdetak lebih kencang saat Aleea melingkarkan tangan di pinggang dan merapatkan tubuhnya ke punggung. Susah payah aku berusaha untuk tetap konsentrasi, meskipun sebenarnya ingin berhenti dan membalikkan tubuh serta balas memeluknya.
Kami tidak berbincang sedikit pun, seakan-akan tengah melatih kontak batin untuk mengerti apa yang tengah dipikirkan pada otak masing-masing.