Mikane Maghzamo

1201 Words
15 "Keren!" pekik Linda, sesaat setelah aku selesai menyanyikan lagu berirama cepat berbahasa latin berjudul Mary Jane by Ilkas Seychan. "Lagi! Lagi!" teriak para penonton yang terdiri dari berbagai kalangan. Bahkan teman-teman sesama pekerja di kafe juga turut menyemangati dengan bertepuk tangan dan bersorak sorai. Aku tak sanggup menahan diri untuk mengulaskan senyuman lebar, terutama karena saat ini kekasih hati tengah berada di meja depan, bersama dengan mamanya dan dua dayang-dayang, yaitu Nin dan Maia. "C'mon, Honey! One more please!" jerit Aleea yang membuatku meringis, karena pada saat yang sama Kang Ryan tengah turun dari lantai dua dan memandangiku dengan tajam. "Ayo, Ken. Sekali lagi, kita puaskan pengunjung. Sekalian nunjukin kemampuan bernyanyimu yang bagus pada calon mertua," ajak Mas Fa. Aku awalnya ragu-ragu untuk melakukan hal itu, tetapi ketika mendengar petikan gitar Mas Fa yang langsung disambut ketiga anggota kelompok kami dengan alat musik masing-masing, akhirnya aku kembali berdiri di tengah ruangan dan mulai bernyanyi sekaligus bergaya layaknya seorang penyanyi terkenal. Linda yang tadinya menjadi penyanyi latar, kini ikut turun dan menari modern dengan gerakan lincah dan menggoda. Mungkin karena kami telah lama bekerjasama, jadi aku bisa mengimbangi gerakannya yang terkadang meliuk-liuk di punggung dan samping kiri. Aku terkejut ketika banyak orang ikut turun dan bergoyang dengan berbagai gaya. Lagu yang harusnya sudah selesai, akhirnya diulang lagi oleh Mas Fa sebagai pimpinan kelompok, tetapi aku yang sudah kehabisan napas, hanya menyanyikan bagian reff saja, sisanya dilewati dan diambil alih musik. Seusai acara clubbing dadakan, semua orang bertepuk tangan dan aku menunduk beberapa kali untuk memberi penghormatan. Meskipun napas ngos-ngosan dan keringat mengucur, tetapi aku sangat bahagia telah berhasil membuat suasana lebih semarak. "Kayaknya kamu lebih cocok lagu berirama cepat gitu, Ken. Daripada yang slow," ujar Mas Steven, sesaat setelah kami bisa beristirahat dan musik diganti dengan lagu-lagu khas anak muda yang tengah hits dari alat pemutar musik. "Betul itu. Nanti aku bantu bagian dancenya, Ken. Biar lebih atraktif dan penonton bakal suka," timpal Linda sembari mengusap lehernya yang berpeluh dengan tisu. "Digeber tiga set nyanyi plus dance gini habis napasku," keluhku yang dibalas tawa Mbak Yeni. "Itu karena belum terbiasa. Nanti lama-lama juga bisa sepuluh lagu baru ngos-ngosan," sahut Bang Ali. "Yoih, anggap sedang latihan jadi penyanyi top sungguhan dan sedang konser," sela Mas Fa. "Kami bakal dukung kamu habis-habisan. Kan kecipratan rezeki juga kalau kamu sukses," sambungnya yang kubalas dengan anggukan. "Tapi masih jauh, Mas. Aku mau fokus kuliah dulu. Beres kuliah baru fokus karir." Aku menyeka keringat di dahi dan terkejut ketika menyadari bila Linda juga ikut menyeka keringat di pipi dan leherku dengan tisu. "Hati-hati, nanti ada yang cemburu, Lin," ujar Mbak Yeni yang seketika menghentikan gerakan Linda. "Sorry, lupa kalau Kenzo udah punya pacar," tukas Linda seraya tersenyum tipis, tetapi matanya menyiratkan sendu yang membuatku bertanya-tanya dalam hati. Dari sudut mata, tampak Kang Ryan tengah duduk di sebelah kanan Tante Anita Novalia dan mengobrol dengan serius. Sementara Aleea tampak sibuk dengan Nin dan Maia. Hal itu membuatku sedikit tenang, karena sepertinya Aleea sudah melupakan mantan tunangannya tersebut. Beberapa saat berselang, tiba-tiba Tante Anita melambaikan tangan memanggilku, yang segera turun dari kursi dan jalan mendekat dengan jantung yang menggila bak rollercoaster di taman hiburan. "Duduk sini, Ken. Kita ngobrol sebentar," pinta perempuan dewasa yang tampak sedikit mirip dengan sang putri, yang menggeser kursinya mendekati tempat kosong yang segera kududuki. "Mau minum?" tawar Aleea sembari mengulurkan gelasnya. "Nggak usah, aku udah minum tadi," tolakku dengan halus. "Maaf, aku keringatan," lanjutku, sedikit malu karena sejak tadi keringat masih belum berhenti mengucur di punggung. "Nggak apa-apa, Tante cuma ingin menegaskan sesuatu sama kamu, Ryan dan Aleea." Tante Anita sesaat menghentikan ucapan dan memandangi kami bertiga dengan lekat. "Tante harap, ke depannya kalian tetap bisa berteman. Lupakan permusuhan, terutama kamu, Lea," imbuhnya yang dibalas anggukan oleh sang putri. "Kamu juga, Ryan. Hubungan kalian berakhir karena kesalahanmu. Jadi kalau Lea akhirnya berpaling pada Kenzo, itu bukan salah mereka!" tegas Tante Anita yang membuatku bernapas lega. Sementara Kang Ryan hanya mengangguk sekilas. "Buat Kenzo, Yante harap agar kamu dan Aleea tetap fokus kuliah. Pacaran sewajarnya. Hindari tempat sepi karena di situ biasanya ada setan. Tante yakin kamu bisa bertanggung jawab bukan?" tanyanya. "Iya, Tante," jawabku. "InsyaAllah, Ken akan ngikutin semua ucapan Tante barusan," sambungku seraya mengulaskan senyuman yang kuharap sangat manis. "Ryan, berusaha untuk tetap adil pada Kenzo. Jangan karena urusan pribadi tapi dibawa-bawa ke kerjaan. Ingat, Kenzo muncul setelah kalian berpisah. Bukan seperti pacarmu yang harusnya sejak dulu diumumkan ke keluarga." Tante Anita kembali menceramahi Kang Ryan yang hanya bisa mengangguk dan raut wajahnya kusut. Tiba-tiba perempuan dewasa itu terdiam, kemudian mengalihkan pandangan padaku. "Kalau kamu ada waktu, temui papanya Lea. Beliau ingin membicarakan sesuatu," ucapnya yang seketika membuatku deg-degan. Beberapa kali berkunjung ke rumah Aleea, aku memang belum pernah bertemu dengan papanya, karena beliau adalah pengusaha yang sangat sibuk. Dengan Tante Anita pun baru beberapa kali bertemu, itu pun hanya sepintas dan belum pernah mengobrol serius. Baru kali inilah aku bisa berbincang dengan beliau. Kehadiran Mbak Sarah yang baru turun dari lantai dua, sontak membuat raut wajah Aleea berubah. Aku bisa menangkap rasa tidak sukanya pada perempuan yang lebih tua tersebut, dan itu membuatku membatin karena sepertinya Aleea masih merasa cemburu. Aku mendengkus pelan sambil pura-pura mengalihkan pandangan pada Nin dan Maia yang kompak tersenyum. Alisku terangkat ketika menyadari bila Nin tengah mengucapkan sesuatu tanpa bicara. Sekian detik aku berusaha untuk memahami maksud perempuan berambut ikal tersebut, sebelum akhirnya mengangguk mengerti seraya menyunggingkan senyuman lebar. Malam pun beranjak larut. Satu per satu tamu pulang. Demikian pula dengan Aleea dan rombongan. Aku berjengit ketika gadis itu dengan santainya mencium pipi kiri, sebelum menjauh sambil mengedipkan sebelah mata. Aku melambaikan tangan mengantar kepergian mereka dan terkekeh kala melihat Aleea membentuk ciuman jarak jauh sebelum menutup kaca mobil. Duh! Jangan memancing, Lea. Bisa-bisa aku nggak bisa nahan buat mengecup bibirmu yang menggoda itu. "Cieee, yang dicium pacar. Mukanya langsung m***m," ledek Bang Ali, saat aku baru kembali ke panggung dan membantunya beres-beres. "Abang nih," sahutku seraya tersenyum malu-malu. "Aleea dipelet pake apa?" tanya Mas Steven yang langsung dicubit Mbak Yeni yang duduk di sebelahnya. "Pake cinta," jawabku yang membuat pria itu tertawa. "Lihat yang muda-muda gitu jadi pengen ngulang masa-masa awal pacaran, ya," sela Mas Fa. "Yoih, tapi adegan kita jatuh dari motor pas di perlintasan kereta api jangan diulang lagi. Beneran takut aku," timpal Mbak Yeni sambil mengusap dadanya. "Kalau ingat itu aku pasti merinding," sambungnya sembari menggerak-gerakkan tubuh. "Aduh! Jangan diingatin lagi, Sayang!" seru Mas Fa sambil meringis. "Kok bisa gitu, Mas?" tanyaku yang memang belum tahu kisah mereka yang itu. "Karena salah tingkah, Ken. Maklum, baru jadian beberapa hari. Pas lewat perlintasan itu, tiba-tiba Yeni meluk kencang. Nempel dah itu dua bukitnya. Aku kaget dan nggak sengaja narik gas. Meluncurlah motor tanpa kendali," jelas Mas Fa sambil melirik pada sang istri yang menggeleng pelan. "Karena nggak seimbang, jatuh deh. Mana kereta udah dekat, paling cuma seratus meteran. Panik dong, motor didorong ke seberang, tapi Yeni ketinggalan. Terus pas aku balik lagi, dia lagi nangis sambil jongkok. Mirip anak kecil yang permennya jatuh." Selanjutnya adegan cubitan penuh dendam dilancarkan Mbak Yeni pada sang suami yang telat menghindar. Aku dan yang lainnya tertawa hingga pipi kami sakit dan perut keram. Benar-benar sangat menghibur!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD