Tania berteriak kegirangan saat membuka pintu. Wajah Ovi yang cantik muncul di depan rumah mereka. Di tangannya terdapat banyak oleh-oleh yang dibawa dari Malaysia.
"Tante!" Tania mengambur ke dalam pelukan wanita itu.
"Sayang!" Ovi membalasnya dengan penuh kerinduan. Bibirnya mencium pipi kiri dan kanan Tania dengan gemas.
"Kok tante enggak bilang mau datang? Kan bisa aku jemput," tanya Tania.
"Jangan, Sayang. Nanti kamu capek. Lagi program hamil jangan banyak keluar. Di rumah aja," bisik Ovi sembari mengedipkan mata.
Tania tertegun saat mendengar itu. Siapa yang dimaksud Ovi sedang program hamil. Gadis itu mengabaikannya dan mengajak tantenya masuk.
"Ayo masuk, Tante. Bik Ijah habis masak. Kita makan dulu."
Mereka masuk ke rumah sembari bercerita. Segala macam barang bawaan Ovi diletakkan di ruang tamu.
"Wah, kangan masakan Bibik. Yuk, ah. Tante lapar." Ovi mengusap perutnya.
Tiba di dapur, mereka langsung menarik kursi dan menunggu masakan dihidangkan. Ijah masih sibuk di dapur mengolah sayur. Tak lama menunggu, Ijah datang membawa nampan berisi makanan dan meletakkannya di meja.
"Tante kapan berangkatnya dari sana?"
Tania menarik kursi dan mereka duduk berhadapan. Ijah membuka tutup sajian menu yang sudah ada. Seketika terciumlah aroma masakan yang menggugah selera. Dia yang tadinya sudah makan, jadi berselera kembali.
"Tadi pagi-pagi. Habis kamu curhat sambil nangis itu, Tante minta izin sama Mike main ke sini."
Ovi mulai menyendok nasi dan lauk. Wanita itu menikmati setiap suapan yang masuk ke mulutnya.
"Uncle enggak marah?"
Tania mendelik. Setahunya, om yang bule itu sayang sekali kepada Ovi, sehingga sulit berpisah lama. Sewaktu acara pernikahannya dulu saja, Mike meminta cepat pulang ke Malaysia.
"Tante sebentar aja. Tiga hari."
"Gimana kabar uncle sama Bryan, sehat?"
Tania menambah lauk. Sejak menikah, porsi makannya meningkat. Mungkin karena secara finansial juga lebih terjamin, maka dia bebas berbuat sesukanya.
"Sehat saja, Sayang. Papa kamu gimana?" tanya Ovi.
"Sehat. Cuma papa kok aneh. Habis pulang waktu itu kayaknya makin lemes. Jarang ke kantor. Banyak istirahat di rumah. Apa papa sakit?" tanya Tania heran.
Ovi tersedak mendengarnya. Wanita itu terbatuk sembari mengusap d**a. Tania dengan cepat mengambilkan air minum.
"Papa bilang apa sama kamu?" tanya Ovi setelah meneguk segelas air. Wajahnya memucat. Serba salah, antara ingin bercerita atau menyimpan amanah kakaknya.
"Enggak bilang apa-apa. Cuma bilang Papa udah tua. Papa minta aku belajar sama Om. Terus minta--"
Tania menggantung ucapannya karena terasa berat bagi Tania untuk diucapkan. Dia malu membahas tentang itu.
"Cucu?" tebak Ovi.
Tania mengangguk.
Ovi meletakkan sendok dan garpu di piring. Sepertinya ini harus diluruskan. Dia menduga ada sesuatu yang tidak beres dengan pernikahan keponakannya.
"Besok kita ke rumah Papa," katanya tegas.
"Oke. Aku juga kangen sama Papa."
"Malam ini tante nginap sini aja dulu. Boleh?"
Tania mengangguk.
"Eh, tapi Tante bobok sama aku, ya," jawabnya cepat.
"Loh kok sama kamu. Nero?" tanya Ovi bingung.
Tania menunduk dan mengaduk-aduk nasi yang ada di piring dengan tak bersemangat.
"Kalian pisah kamar?" tanya Ovi lagi.
Tania mengangguk dan menjawab dengan lirih. Tangannya gemetaran, takut jika Ovi marah dan mengadu kepada papanya.
"Kapan mau hamilnya kamu? Kata Mas Bram kalian lagi program," cecar Ovi. Sungguh dia tak menyangka jika masalahnya rumit juga.
"Kapan Papa bilang gitu?"
"Habis kamu telepon waktu itu, Tante langsung hubungi papa. Nanyain gimana keadaannya. Katanya kamu lagi program mau ngasih cucu."
Tania kembali mengaduk nasi, tak berniat melanjutkan makan. Seleranya tiba-tiba saja hilang.
"Makanya Tante bingung. Kok beda-beda versi kamu sama papa. Terus langsung ke sini. Kayaknya ada yang janggal."
Tania menyodorkan sisa lauk ke dekat piring Ovi.
"Tante makan aja dulu habis itu istirahat. Nanti aku ceritain semua."
***
Ovi mengelus lembut rambut Tania yang terisak di pelukannya. Mereka berbaring di ranjang kamar.
"Setiap orang mempunyai takdir yang berbeda, Sayang. Misalnya ini, Tante nikah sama uncle Mike. Harus menetap di Malaysia."
Ovi memulai pembicaraan setelah mendengarkan cerita Tania secara langsung. Gadis itu menumpahkan semua perasaan yang dia pendam selama ini.
"Padahal Tante itu sebenarnya gak mau ninggalin kamu sama papa. Waktu itu kamu masih kecil dan harus kehilangan mama. Tapi itulah takdir dan tante menerima," jelas Ovi panjang lebar.
"Tapi aku belum siap. Kenapa papa malah maksa aku," ucap Tania sembari menghapus air mata.
"Papa kamu pasti punya alasan sendiri. Nanti juga kamu tau."
Ovi mendekap keponakannya dengan erat. Tania sendiri masih sesegukan dengan mata bengkak dan memerah.
"Atau tanya aja sama Papa biar kamu gak penasaran."
"Aku pengen kuliah. Pengen nikmatin semuanya. Terus papa maksa aku nikah. Sekarang malah minta cucu."
"Papa dari dulu selalu nurutin maunya kamu. Kenapa sekali ini aja kamu gak bisa memenuhi permintaan dia?"
"Aku mau ikut Tante aja," sungutnya.
"Kalau dari dulu boleh, kamu dari kecil udah dibawa. Tante enggak rela kamu diasuh Ijah, walaupun dia baik. Cuma Tante pikir kalau kamu ikut, ya kasihan Mas Bram. Udah kehilangan istrinya, masa anaknya mau diambil juga."
"Aku belum siap."
"Belum siap apa?"
"Jadi ibu. Aku enggak tau gimana nanti anakku. Aku enggak ngerti,” jawab Tania.
"Ada Tante, Sayang. Tante bakal dampingi kamu."
"Tapi kan jauh."
"Tante kan bisa pulang tiap bulan. Jakarta-Malaysia itu deket,” kata Ovi. “Lagian Bryan juga udah gede."
"Tapi, Tante--"
"Sayang. Kamu sekarang udah jadi istri Nero. Dia laki-laki baik. Papa kamu sudah nyerahin anaknya kepada orang yang tepat."
"Iya. Aku tau. Om memang baik. Tapi dia kan--"
"Dia suami kamu. Kamu enggak boleh manggil dia om lagi. Kalau masih begitu, selamanya dipikiran kamu dia om, bukan suami." Ovi berkata tegas.
"Aku malu."
"Jangan malu. Nero pasti seneng kamu panggil mesra." Ovi mengedipkan mata.
"Terus aku juga harus layani dia?" ucapnya ragu.
"Iya, wajib. Dosa kalau nolak suami. Lagian, kamu mau Nero main sama cewek lain gara-gara kamu cuekin?"
Tania tersentak, dia baru sadar. Kenapa dia tidak terpikir tentang hal itu? Bagaimana kalau Nero bermain di luar? Apa dia rela suaminya berduaan dengan wanita lain? Gadis itu menggeleng. Dia tidak rela. Dia sayang suaminya.
"Satu lagi. Jauhi Rizal. Kamu cuma suka atau kagum sama dia. Tante yakin perasaanmu bukan cinta."
Nasehat Ovi berlanjut panjang. Dia ingin keponakannya itu menyadari perasaan yang sebenarnya. Selama ini, dialah yang berperan sebagai ibu pengganti karena Andrea telah tiada. Hanya dia yang dekat dengan Tania.
"Aku cintanya sama siapa? Sama Om Nero juga enggak. Aku biasa aja kalau deket dia."
"Tanya hatimu. Rela enggak kalau suami dekat sama cewek lain? Kalau enggak berarti kamu cinta. Cuma selama ini kamu belum sadar."
"Ah, enggak mungkin." Tania mengelak, mencoba menyangkal perasaannya sendiri.
"Buktinya dulu waktu Nero mau nikah sama Saskia kamu ngambek. Nangis di kamar."
Tania tersipu malu.
"Nero itu cinta sejatimu. Sudah ada dan tumbuh sejak kamu masih kecil. Karena itu kamu enggak pernah dekat sama cowok lain." Ovi menunjuk d**a Tania.
"Itu kan papa yang larang."
"Bukan gitu. Yakin, deh. Biar papa larang juga, anak seusia kamu pasti bisa nekat kalau suka sama cowok. Buktinya enggak, kan? Kamu dari dulu nempel terus sama Nero."
"Kok Tante tahu? Emang dulu Tante pernah nekat ya waktu suka sama cowok?"
Tania menjadi penasaran dengan kata-kata Ovi barusan. Dia memang masih polos sekali, tak terlalu mengerti tentang cinta, apalagi kehidupan.
Ovi memeluk erat keponakannya. Dia sayang Tania. Dia ingin anak perempuan, tetapi Tuhan menganugerahkan anak lelaki. Sampai sekarang mereka belum diberikan keturunan lagi.
"Rahasia."
Ovi mengedipkan mata dan berujung pada pukulan Tania ke dadanya. Dia tergelak.
"Malam ini kamu tidur sama Nero. Oke?" bisiknya.
Tania mengangguk, lalu tersipu ... malu.