Tania berjalan mondar-mandir sejak tadi. Entah apa yang dia bicarakan di telepon.
"Halo Clara. Suara kamu gak jelas. Apaan?" bisiknya, mengecilkan suara karena mendengar langkah Nero yang memasuki rumah.
"Tania, kamu gimana sama om Nero, udah apa belum?" tanya suara di seberang sana.
"Belum. Katanya kalau mau ngelakuin itu harus karena cinta, bukan terpaksa," jawabnya polos.
Benarkan Nero bilang begitu?
"Hah! Emang kamu cinta sama dia?"
"Ya gak lah. Masa aku cinta sama om-om."
"Ih, tapi gak apa-apa juga kali. Om Nero kan ganteng. Pasti enak dipeluk sama dia." Clara meyakinkan.
"Yeee ... kalau itu sih aku udah biasa. Tapi gak ada rasa apa-apa. Beda kalau waktu deket sama Rizal."
Tanpa Tania sadari, ternyata Nero mencuri dengar pembicaraan mereka. Lelaki itu curiga melihat suasana rumah yang sepi sejak tadi. Biasanya sang istri menyambutnya pulang, tetapi kali ini tidak.
Setelah menyimpan tas di kamar dan berganti pakaian, Nero berjalan melewati kamar Tania. Namun, ruangan itu kosong. Ternyata istrinya ada di sini dan sedang berbicara dengan seseorang. Lelaki itu menjadi penasaran, lalu diam-diam mengintip dan mencuri dengar.
"Iya. Kalau deket sama Rizal kan aku deg-deg'an gimana gitu."
Tania tersipu malu. Sementara Clara yang berada di seberang sana hanya bisa tertawa geli. Semua teman-teman di sekolah juga tahu, bahwa dua remaja itu saling menyukai, hanya tidak berjodoh.
Nero yang mencuri dengar pembicaraan itu mengepalkan tangan. Dalam hati bertanya siapa sebenarnya lelaki yang bernama Rizal itu.
"Terus Papa kamu gimana?"
"Ya itu dia. Kan besok Papa pulang. Kita mau jemput di bandara. Nanti aku sama Om mau ngomong lagi."
Tania menjelaskan semua rencana yang sudah disusun rapi.
"Kalau papa kamu masih tetap gak setuju?"
"Yaudah aku ya bakal minta om Nero ngelakuinnya."
"Kalau gitu kamu usaha biar dia mau. Masa kamu gak bisa ngerayu suami sendiri?"
Clara sangat mendukung dan siap memberikan arahan kepada Tania untuk menjerat Nero. Agar lelaki itu segera takluk ke pelukan sahabatnya.
Tidak perlu dijerat juga. Tania hanya perlu bicara baik-baik dengan suaminya. Nero sudah pasti sangat bersedia melakukannya.
"Iya, nih. Kayaknya gak mau. Aku bingung juga mau gimana."
Tania mengetukkan jari di meja. Bingung dengan sikap suaminya. Sementara itu, Nero merapatkan tubuh ke dinding dan lanjut menguping.
"Ya kamu usaha, dong. Begini caranya ..." Suara Clara terdengar samar-samar.
"Oh, gitu, ya. Jadi aku harus ngerayu dia?"
Dengan penuh khidmat Tania mendengarkan arahan sahabatnya.
"Pake baju seksi? Apa? Itu kan--"
Tania langsung menutup mulut. Jangan sampai Nero mendengar. Bahaya, bisa gagal misinya. Matanya melirik ke arah pintu. Tidak ada bayangan siapa pun di sana. Syukurlah lelaki itu tidak tahu kalau dia sedang menelepon Clara. Padahal ....
"Ehem! "
Nero berpura-pura batuk saat melewati ruangan itu. Dia sengaja berjalan ke arah dapur untuk mengambil air.
Tania yang mendengarnya, langsung berpamitan kepada Clara.
"Eh udah dulu, ya. Om Nero udah pulang."
"Oke. Kalau ada apa-apa, kabarin aku."
Sambungan telepon terputus. Setengah berlari Tania keluar, menyusul suaminya ke dapur. Biasanya Nero akan makan malam, selarut apa pun dia pulang ke rumah.
"Om, mau makan?"
Tania sudah siap sedia dengan masakan Bik Ijah yang disimpan di freezer. Tugasnya hanya tinggal menghangatkan di microwave.
"Kamu ngapain di situ gelap-gelapan?"
Nero menunjuk ruang keluarga. Hatinya mulai panas mendengar istrinya membicarakan lelaki lain.
"Itu ... tadi aku nelepon Clara bentar," jawabnya gelagapan.
"Nelepon apa? Kok bisik-bisik. Ngomongin cowok?" Nero mencecar istrinya dengan berbagai macam pertanyaan.
"Gak kok, Om. Biasalah cewek-cewek. Om kepo, deh."
Senyuman manis Tania hadiahkan supaya suaminya tidak marah.
"Besok papa kamu pulang. Jadi ikut jemput?" Nero bertanya.
"Iya! Aku ikut bareng oma saja."
Tania mulai beraksi dengan mendekati Nero.
"Kamu ini kenapa?" tanya Nero jual mahal. Padahal dalam hatinya senang.
Nero sudah hafal. Setiap kali menginginkan sesuatu, istrinya pasti begini. Sering-sering saja ya, Tania. Nero suka banget, loh.
"Om kenapa, sih? Bukannya aku biasa ya kalau meluk. Kok pake' tanya?"
Pelukan Tania semakin erat, sehingga sudah tidak ada celah di antara mereka. Gadis itu bahkan membenakan diri di d**a hangat sang suami. Sebenarnya dia malu, tetapi nekat. Itu terbukti dari wajahnya yang memerah.
"Biasanya kan kamu suka ngambek. Tumben aja, pasti ada maunya."
Nero sepenuhnya sadar dengan perlakuan Tania saat ini. Dia masih menahan diri dan tidak mau langsung menyerang. Istrinya bisa syok nanti.
"Om kok gitu, sih? Nuduh-nuduh aku." Alarm sudah mulai berbunyi, tanda-tanda Tania akan merajuk.
"Bukan gitu maksudnya."
Ucapan Nero mulai melunak. Lelaki itu meraih Tania dan mendekapnya erat.
"Dingin," bisik Tania saat semakin merapatkan diri.
"Mau teh hangat? Om bikinin?"
"Mau dipeluk om aja."
Mata mereka bertautan lama, saling menyelami pikiran masing-masing. Bagaimanapun juga Tania harus selalu ingat akan kata-kata Clara. Dia harus merayu omnya. Sekarang!
"Ini udah dipeluk."
Nero mengusap rambut Tania dengan lembut. Sesekali mencium pelipisnya. Kapan lagi, mumpung ada kesempatan.
Tania sendiri terlihat pasrah dan malah sengaja menggoda.
"Tapi sambil bobok."
Jantung Nero berpacu cepat. Lelaki itu melepaskan pelukan dan mendorong lembut tubuh istrinya.
"Sana! Balik ke kamar kamumu. Kalau dingin pake sweater. AC digedein. Pake' selimut sekalian."
Setelah mengucapkannya, Nero berjalan menuju kamarnya sendiri. Sementara itu, Tania termenung lama di dapur, tak menyangka akan mendapat perlakuan sperti itu.
Nero menolaknya. Tania sakit hati.
***
Nero berulang kali mencuci wajah di kamar mandi. Cuaca malam ini memang lebih dingin dibandingkan biasanya. Sepertinya musim penghujan akan segera tiba.
"Mau dipeluk, Om. Sambil bobok."
Kata-kata Tania tadi kembali terngiang di benak Nero.
"Dipeluk? Sambil bobok? Arrrgghh!"
Dua tahun ini Nero memang kesepian. Dia menyadari hal itu. Namun, jika mereka harus melakukannya dengan alasan seperti itu, tentu saja dia tidak mau. Lelaki itu ingin jika suatu saat mereka bersama, Tania menganggapnya sebagai suami, bukan omnya.
Sayangnya, jika melihat kondisi Bram yang mulai lemah, hatinya mulai goyah. Apalagi seminggu ini Tania terus mendekatinya setiap pulang kerja. Istrinya mulai menyiapkan sarapan setiap pagi. Walaupun dia tahu ada maksud terselubung dibaliknya.
Nero laki-laki normal dan itu membuatnya serba salah. Lelaki itu sudah berjanji pada Bram akan menjaga Tania dengan sebaik-baiknya.
Dalam kegamangan, Nero membenamkan diri ke dalam bath-up. Mau dibawa ke mana pernikahan ini? Apakah akan bertahan selamanya atau hanya sampai istrinya siap mengambil alih perusahaan. Apa pun yang akan terjadi besok, dia akan menerima dengan ikhlas.
***
Tania termenung di kamar. Usaha pertamanya gagal. Namun, dia tidak akan menyerah. Impiannya untuk bisa kuliah sangatlah kuat.
Apalagi Rizal juga sudah pasti masuk fakultas kedokteran tahun ini. Biarlah dia telat setahun asal bisa kuliah bersama. Tania ingin menghabiskan masa mudanya bersama lelaki yang dicintai. Sebenarnya, mereka belum berpacaran. Namun, lelaki itu sudah memberikan sinyal.
Dalam hati Tania bertanya-tanya. Seandainya Rizal tahu kalau dia sudah menikah dan ingin punya anak, apakah lelaki itu tetap akan suka kepadanya?
Tania mengetukkan pulpen di kepala. Diam-diam dia mulai mengerjakan soal-soal tes masuk perguruan tinggi. Gadis itu belajar dengan tekun setiap malam, karena tahu untuk masuk ke fakultas kedokteran tidak lah mudah.
Untuk biaya, papanya dan Nero pasti siap menanggung. Namun, kemampuan dirinya juga harus diasah terus agar lolos.
Siapa tahu suatu hari nanti papanya berubah pikiran. Besok dia akan menjemput ke bandara dan bicara. Kalau perlu, Nero yang maju duluan sebagai tameng.
Mengingat nama Nero, Tania teringat kejadian di dapur tadi. Dia malu tapi harus berusaha demi cita-citanya.
Tania menutup wajahnya dengan buku sembari menahan senyum. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Entah apa lagi yang dia rencanakan. Sepertinya, sebentar lagi Nero akan menyerah.