Misi

1337 Words
"Pagi, Om." Tania tersenyum manis menyambut Nero yang sedang berjalan menuju dapur. Dia tampil berbeda kali ini, memakai dress selutut dan mengurai rambutnya. Pastinya cantik dan harum menggoda. Nero menatap meja makan dengan penuh takjub. Berbagai macam makanan tersedia. Pas sekali dengan perutnya yang memang sudah kelaparan. "Kamu yang masak?" Lelaki itu menunjuk satu per satu menu yang tersaji. "Bukan. Ini masakan Bibik," jawab Tania malu-malu. Memang dia tidak bisa memasak. Sejak ada Ijah urusan dapur menjadi lebih ringan. "Oh. Bik Ijah ke mana?" tanya Nero mencari sosok wanita paruh baya yang sedari tadi tak nampak. "Ke pasar. Belanja. Bahan makanan habis," jawab Tania santai. "Ayo, makan. Om pasti lapar, kan? Aku temenin." Tania duduk di sebelah Nero, lalu mengambilkan piring dan menyendok nasi goreng beserta lauknya. Melihat sikap istrinya yang manis, Nero menjadi curiga. Sebulan ini hubungan mereka mulai membaik. Komunikasi cukup lancar, tetapi Tania belum pernah bersikap seperti sekarang. Apa ini karena ucapan papanya waktu itu? Apa yang direncanakan bocah ini? Nero mulai berfirasat sesuatu. Melihat suaminya yang terdiam, Tania mulai bertanya. Gadis itu segera mengendalikan sikap dan berlaku anggun untuk memikat. "Om gak suka, ya? Enak loh." Senyum manis Tania membuat Nero terpana. Hingga membuat Jantung lelaki itu berdebar kencang. "Suka kok. Enak ini!" Nero mengambil nasi goreng dan menyuapnya banyak-banyak. Masakan Bik Ijah memang dahsyat. Berpuluh tahun di dapur, ilmunya sudah mumpuni. "Tambah, Om. Minumnya?" Tania mengambilkan segelas orange juice. Sewaktu meletakkan gelas di dekat Nero, dia sengaja menyentuhkan lengan sang suami dan mengusapnya pelan. Nero menjadi gelagapan dan menelan ludah berkali-kali. Matanya menatap lekat sosok cantik yang begitu menggoda iman. "Boleh." Nero mengangguk kaku dan menjadi salah tingkah. "Hari ini, Om pulang jam berapa?" tanya Tania mesra. Tangannya masih mengelus lengan sang suami dengan manja. Tangan Nero gemetaran saat mengambil air minum. Dia bahkan sempat tersedak karena gugup. "Agak malam kayaknya. Ada meeting." Nero semakin gelagapan. Apalagi tubuh Tania mulai merapat dan mereka bersentuhan. Mimpi apa dia semalam, pagi-pagi dapat rezeki nomplok. Dapat sarapan enak dan dielus sama istri. "Nanti ketemu Papa, gak?" Benar dugaan Nero. Ini pasti ada hubungannya dengan Bram. "Iyalah. Kan sekantor." "Om, bilangin lagi, ya. Siapa tau Papa berubah pikiran. Aku boleh kuliah tahun ini." Ternyata tersimpan misi dan bujuk rayu di balik ucapan gadis itu. Nero mengumpat dalam hati. Anak dan papanya sama aja. Kalau Bram ngotot, dia yang disuruh membujuk. Kalau Tania yang merajuk, dia juga yang harus turun tangan. "Nanti om bilang lagi. Semoga papa kamu mau." Nero meyendok kembali nasi ke piringnya. Kalau situasinya begini, makannya jadi lahap. "Om baik, deh." Tania semakin merapatkan pelukan. Tangannya melingkari pinggang Nero. Bibirnya berbisik, sehingga hampir menyentuh telinga lelaki itu. Tuhan! Mau dong kayak begini setiap hari. Nero merapal doa dalam hati. Sementara itu, mulutnya tak berhenti mengunyah. "Om. Hari ini aku mau jalan sama Clara. Boleh, ya?" Tania meminta izin. Setiap akan kekuar rumah, dia pasti akan memberitahu suaminya, supaya tidak ditelepon terus. "Mau ke mana?" "Nge-mall. Sama nyobain ada restoran baru deket kampus yang aku bilang itu," jelas Tania. Dengan santainya dia menyandarkan kepala di bahu kokoh suaminya. Nero semakin salah tingkah karena diperlakukan seperti itu. "Oh. Jangan malem-malem pulangnya," pesan Nero. "Sampai sore aja, kok. Clara itu mau cari kado buat pacarnya. Mau ulang tahun," jelas Tania. "Clara punya pacar?" Nero menghentikan makan. Raut wajahnya tampak serius saat mendengarkan ucapan istrinya. "Iya, dong. Temen-temen aku punya semua. Cuma aku yang belum." Sepertinya Tania mulai lupa lagi kalau dia sudah bersuami. "Kamu pengen pacaran?" "Pengen. Tapi emang boleh?" Nero menggeleng dan tersenyum pahit. Mungkin ini sudah takdir yang dijalaninya, harus menikahi seorang anak kecil yang belum beranjak dewasa. "Kalau dibolehin pacaran, emang kamu mau ngapain?" Nero menatap wajah indah yang sedang bersandar bahunya ini. Tania ingin mencurahkan isi hati dan dia siap mendengarkan. Bagi sebagian orang, berbagi cerita bisa sedikit melegakan perasaan. "Kalau udah jadian, kan bisa jalan bareng. Curhat. Nge-date, kayak yang lain gitu." Tania tertunduk malu ketika mengucapkan itu, lalu tersipu saat membayangkan memiliki seorang kekasih hati idamannya. Dia mengimpikan indahnya melewati hari, bersama seseorang yang dia cintai. Nero menggeleng lagi. Tak habis pikir dengan pikiran istrinya. "Emang ada yang naksir kamu? Manja begini." Nero mencubit hidung bangir di sampingnya karena gemas. Dia ingin melakukan yang lain, tetapi tak punya nyali. "Ada, dong. Kita udah mulai deket kok. Terus papa malah maksa aku nikah--" Tania menutup mulut karena kelepasan bicara lagi. Dia tak mau rencana yang sudah disusun rapi menjadi gagal akibat ulah sendiri. "Siapa?" Nero benar-benar penasaran. Entah kenapa hatinya jadi panas. Ada rasa cemburu saat mendengar istrinya membicarakan lelaki lain. Beraninya mendekati istri orang. Lelaki itu sungguh tak terima. Tidak rela Tanianya direbut orang lain. "Ah enggak kok, Om. Aku cuma bercanda." Tania kembali menuang air dan menyodorkan kepada suaminya. "Ini, tambah minumnya." Senyum terukir di bibir Tania. Dalam hatinya terucap, semoga Nero tidak marah. "Pacaran aja sama om. Kan suami kamu sendiri," usulnya. Nero berpikir kenapa istrinya harus menjalin hubungan dengan lelaki lain. Kenapa tidak mencoba dengan dia saja. Mana tahu pernikahan mereka bisa berhasil seperti pasangan yang lain. Seperti dia dan Saskia dulu, saling mencintai. "Tapi kan, aku gak suka sama Om." "Kenapa?" Nero mengernyitkan dahi. "Om udah tua," jawab Tania polos. Nero menarik napas dalam. Kesabarannya benar-benar diuji kali ini. Lelaki itu menghabiskan makanannya dengan cepat, kemudian segera berangkat ke kantor dan meninggalkan istrinya begitu saja. Tania yang tidak mengerti suasana hati suaminya, memilih untuk bersiap-siap pergi. Di benaknya sudah terbayang nanti keseruan bersama sahabatnya. Dia akan mencoba semua menu yang ada di restoran itu. Juga nonton film terbaru dan belanja sedikit untuk menghibur hatinya. *** "Jadi, papa kamu bilang kayak gitu?" Clara menekuk tangan di dagu. Menyimak dengan serius semua yang dikatakan Tania. Gadis itu ikut bingung, setelah sahabatnya menceritakan semua. "Iya. Makanya aku bingung. Kalau pun boleh kuliah, ya tahun depan." Tania mengaduk minuman, agar gulanya tercampur merata. Gadis itu menyesapnya perlahan, sembari mencocol kentang goreng dengan saus sambal. Dia sudah menceritakan semua. Clara lebih berpengalaman soal ini, karena dia sudah punya pacar. "Kudu ngasih cucu, ya? Berarti harus berduaan dulu, dong," kata Clara dengan gayanya yang sangat dewasa. "Ya itu. Gak mungkin aku sama Om Nero berduaan. Hiiiii ...." Tania menggeleng, tak sanggup membayangkan jika itu terjadi antara dirinya dan Nero. "Eh, tapi kalau kata Ana nih, ya. Kita tuh ngelakuin itu sekali aja udah bisa hamil, kok." Clara asyik berbicara sekaligus menyuap makanan. "Masa?" Tania mulai serius menanggapi ucapan sahabatnya ini. "Iya. Jadi kamu tuh cuma sekali aja sama Om Nero, terus bisa hamil. Tapi harus di masa subur kamu." Clara menghabiskan makanannya dalam sekejap. "Terus?" Tania berhenti makan, merasa penasaran dengan penjelasan yang akan disampaikan oleh sahabatnya. "Tapi gini, ya. Kita kan masih virgin ni, jadi kalau pertama kali ngelakuin itu katanya--." Clara membisikkan sesuatu yang membuat Tania bergidik dan ketakutan. Tiba-tiba saja dia menjadi takut. "Masa?" "Iya. Eh, tapi kan Om Nero kan suami kamu. Sah aja kalau ngelakuin sama dia. Gak bakalan dosa. Lagian dia kan udah pernah nikah, bilang aja--" bisik Clara lagi. Gadis itu bergitu serius menjelaskan. "Apa?" tanya Tania ketakutan. Maklum saja, dua gadis ini anak pingitan. Jadi untuk tahu hal seperti itu, mereka harus mencuri kesempatan. Orang tua begitu ketat menjaga pergaulannnya karena tidak mau terjadi hal-hal yang buruk kepada mereka. "Waktu aku tanya Ana, dia bilang--" Clara berbisik lagi lalu mengangkat tangan dengan gaya yang semakin sok tahu. "Emang Ana pernah sama pacarnya?" "Katanya sih udah. Tapi aku gak tanya lagi. Malu." Clara memanggil waitress untuk menambah makanan dan minuman. Perbincangan mereka kali ini benar-benar serius sampai memakan waktu yang lama. "Kamu juga?" Clara menggeleng. "Ya enggaklah. Bisa diusir papa kalau sampai begitu. Oh, no! Dosa. Lebih baik sama suami sendiri. Romantis." Tania mengangguk tanda mengerti. "Berarti kalau aku sama om Nero, jadi romantis gitu?" "Iya, dong. Kalian kan udah sah. Kalau aku sih, udah dari pertama. Itu romantis banget, banyak bunga-bunga." Clara tersipu malu membayangkannya. Tania mulai berpikir. Jika benar apa yang dikatakan Clara, rasanya tidak terlalu sulit untuk dilakukan. "Cuma sekali ya. Terus aku hamil. Melahirkan habis itu bisa kuliah habis itu. Simple." Eh?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD