Terdengar suara tangis seorang gadis remaja di sebuah kamar hotel. Dia terlihat cantik dengan kebaya putih. Hanya saja, riasannya luntur semua karena air mata yang tak berhenti menetes sejak tadi.
"Ayo, Tania. Kita keluar. Acaranya sebentar lagi dimulai." Bram membujuk putrinya.
"Nggak mau," ucapnya menggeleng.
Sudah hampir setengah jam sejak riasan selesai dan dia tidak mau keluar sama sekali. Ovi, bahkan sudah beberapa kali bolak balik membujuk. Setiap kali ada yang bertanya kenapa Tania belum muncul, dia hanya menjawab make-up belum selesai.
"Jangan begitu, Nak. Semua orang sudah menunggu di depan." Bram memeluk bahu putrinya, tapi gadis itu tetap tidak mau.
Air matanya tumpah, membuat make-up yang tadinya sudah sempurna menjadi luntur lagi. Entah sudah berapa kali, bedak dan lisptik ditempel. Untunglah, jasa rias yang mereka sewa adalah orang yang sabar. Tapi sepertinya, akan akan penambahan biaya setelah ini semua selesai.
"Paa ...." rengeknya. Dia menggeleng, menolak keinginan papanya.
"Nak, dengarkan Papa. Ini yang terbaik untuk kamu." Bram masih menunggu putrinya dengan sabar, mencoba membujuk sekali lagi.
"Tapi, aku enggak bisa. Tolong papa ngerti perasaanku." Dia memohon untuk yang terakhir kali. Berharap lelaki di hadapannya ini berubah pikiran, karena dia belum siap.
"Suatu saat kamu akan mengerti. Papa melakukan yang terbaik untuk kamu. Percayalah."
Bram memeluk putrinya. Air matanya pun ikut bercucuran. Hatinya juga berat sewaktu memutuskan hal ini.
"Paaa ..." Gadis itu masih berusaha menolak. Dalam pelukan papanya, dia luruh.
"Ayo, Nak. Dia menunggu di depan." Bram memeluk putrinya dengan penuh kasih saying lalu membantu gadis itu berdiri.
Mereka berjalan beriringan. Sudah banyak tamu yang hadir. Semua orang menunggu mereka. Ada keluarga besar, bapak penghulu, saksi-saksi dan juga ... Nero.
Tania ingat betul. Delapan tahun yang lalu dia menangis karena omnya akan menikah dan begitu cemburu pada tante Saskia yang dianggap akan merebut omnya. Kali ini dia kembali menangis. Bukan karena cemburu pada si calon pengantin wanita, tapi karena dialah yang akan menjadi mempelai wanitanya. Menjadi pengantin Nero.
"Aku mau kuliah. Aku gak mau nikah sama dia." Itulah kata-kata yang Tania ucapkan ketika papanya meminta untuk melakukan hal ini.
Bram menolak permintaan putrinya. Dia bersikeras bahwa gadis itu harus menurut. Tania harus menikah dengan Nero, tidak ada penolakan.
"Kamu boleh melanjutkan kuliah nanti. Tapi sekarang, menikahlah dulu, Nak." Bram berusaha memberikan pengertian.
Sejujurnya Tania sangat sayang pada omnya. Nero seperti pengganti papa yang selalu sibuk bekerja. Lelaki itu selalu menemaninya kemana pun. Sejak kecil sampai sekarang selalu memberikan kasih dan sayang. Tania menyayanginya, tapi itu hanya sebagai omnya, bukan sebagai suami.
Nero memandang takjub ke arah tempat Tania dan Bram muncul. Jantungnya berdebar kencang. Ini bukan pertama kalinya dia akan mengucap janji suci dengan seorang wanita. Dulu, dia pernah mengucap janji itu kepada Saskia. Mengapa kali ini berbeda. Apa karena calon mempelai wanitanya itu Tania? Entahlah.
Gadis itu terlihat begitu cantik dengan kebaya putih dan sanggul. Wajah mungilnya tersamarkan dengan dandanan khas putri jawa yang membuatnya terlihat sangat anggun. Walaupun Nero tidak bisa menampik, bahwa bengkak bekas tangisan di mata gadis itu terlihat sangat jelas.
"Ayo! Disini, Sayang." Ovi menggandeng Tania, memintanya duduk bersebelahan dengan sang calon suami.
Tani menuruti apa yang diarahkan tantenya. Dia sudah tidak bisa membantah. Semua memang harus terjadi.
Nero melirik, mencuri pandang wajah cantik di sebelahnya, lalu menelan ludah. "Tuhan, mudahkanlah semuanya."
Sementara itu, Tania membuang pandangan. Dia begitu benci melihat laki-laki di sampingnya. Apalagi sekilas dilihatnya wajah Nero memerah. Entah apa yang dipikirkan laki-laki itu.
"Kamu siap, ya?" Ovi menggenggam tangan keponakannya.
Tania menggeleng. Ovi mengusap punggung tangannya, menenangkan, juga menguatkan. Kemudian dia memakaikan selendang putih menutupi kepala kedua calon mempelai.
Acara segera dimulai. Kedua tangan lelaki itu saling menggengam erat. Saat Nero menganggukkan kepala, Bram memulainya. Lelaki itu mengucap ijab kabul dengan mantap. Ketika kata sah keluar dari mulut para saksi, Bram memeluknya erat sambil menangis.
Tania kini sah menjadi istrinya. Doa-doa dibacakan untuk kedua pengantin. Bram tak hentinya mengucapkan puji dan syukur di dalam hati. Lega karena tanggung-jawabnya sebagai seorang bapak telah ditunaikan.
"Aku titip Tania. Jaga putriku baik-baik. Aku percaya padamu." Bram mengusap air mata.
Nero mengangguk mantap, kemudian melirik kembali gadis yang duduk di sampingnya. Tanggung jawabnya sekarang bertambah. Setelah dipercaya Bram mengelola perusahaan, kini dia dititipkan putri semata wayangnya. Harus dia lindungi seumur hidup, dengan pertaruhan jiwa raga.
"Ayo ditanda-tangani surat-suratnya, kemudian saling memakaikan cincin." Bapak penghulu mengarahkan mereka berdua. Nero dengan cepat menandatangani semua surat-surat itu.
Ovi membuka kotak cincin, dan menyerahkannya. Nero agak ragu saat meraih jemari istrinya. Dia gemetaran memasangkan cincin pernikahan di jari manis yang mungil itu. Wajahnya menunduk, tak berani menatap gadis di depannya ini.
"Ayo Tania. Pasangkan cincin ke jari suamimu." Ovi memberikan arahan.
Tania menarik tangan Nero dengan enggan. Lagi-lagi Ovi menuntunnya. Dia memberi kode agar Tania mencium tangan suaminya. "Tanda awal baktimu pada suami," bisik wanita itu di telinga keponakannya.
Tania meraih tangan besar sang suami dan menciumnya sekilas. Nero tersenyum melihat itu. Dia memilih diam. Sedari tadi hanya menunduk, bahkan ketika ijab kabul air matanya tak berhenti menetes.
"Sekarang cium istrimu, Nero," kata Ovi.
Mereka berdua tersentak mendengar kata-kata itu. Tania menolak dengan mata yanga mendelik tajam. Nero apalagi, salah tingkah. Ovi hanya tersenyum dan memberi kode.
Nero memandang wajah ayu di depannya ini dengan lekat. Istrinya itu terlihat anggun dengan kebaya putih. Gadis kecilnya sekarang sudah berubah banyak. Sudah menjadi wanita yang cantik. Kelembutannya mengingatkannya pada seseorang yang pernah dia cintai dulu.
Nero menarik napas panjang, lalu mengangkat wajah istrinya. Mengusap pelan kepalanya.
"Maafkan om," bisiknya pelan sebelum bibirnya mengecup hangat kening itu.
Tania berusaha mengelak, tapi Nero menahan kepalanya. Bagaimana pun juga, ada banyak pasang mata yang melihat mereka. Dia tidak mau para tamu melihat ada kejanggalan dari pernikahan mereka. Apalagi beberapa tamu merupakan pejabat daerah yang cukup berpengaruh, juga relasi bisnis Bram.
Semua orang bersorak dan bertepuk tangan. Bram tersenyum menepuk pundak Nero. Rasa haru dan bahagia membuncah di dadanya.
"Ayo, kalian sungkeman. Habis ini istirahat sebentar. Nanti malam, kan, mau lanjut resepsi." Ovi menuntun Tania. Memandang wajah sayu keponakannya. Benaknya melayang kejadian dua bulan yang lalu.
Sejak awal Bram menghubunginya dan memutuskan Tania harus menikah dengan Nero, Ovi langsung terbang meninggalkan keluarganya di negara tetangga.
Awalnya Ovi juga menentang keputusan kakak satu-satunya itu. Dia tahu Tania pasti terpukul atas keputusan papanya. Namun, keinginan Bram sudah mutlak. Sang putri harus menikah dengan lelaki pilihannya.
Ketika tahu alasan yang sebenarnya, Ovi meminta izin kepada Mike suaminya untuk mendampingi Tania sampai hari pernikahan tiba.
Setelah acara sungkeman selesai, dia langsung membawa Tania menuju kamarnya. Sedangkan Nero dan Bram masih berbincang-bincang dengan keluarga dan beberapa relasi mereka.
"Tanteee ..." Tania memeluknya erat.
"Sabar ya, Sayang."Ovi memeluk gadis itu untuk menguatkan.