PART. 4 ANGELICA

1117 Words
Bradd berjalan ke arah jendela, tatapannya seakan menembus pekatnya malam. Kejadian lebih dari dua puluh tahun lalu kembali datang dalam benaknya. Di hari pernikahan mereka, Angelica menghilang dari rumah, dan tidak ada seorangpun yang tahu ia pergi ke mana. Itu pukulan yang sangat berat bagi Abraham, ayah Angelica, sekaligus ayah angkat Bradd. Orang tua Angelica, mengadopsi Bradd dari panti asuhan, saat usia Bradd dua tahun, karena setelah lima tahun menikah, mereka belum juga memiliki keturunan. Setelah mengadopsi Bradd, Anna, ibu Angelica hamil. Orang tua Angelica yang sudah mendidik, dan membesarkan Bradd, memberi kehidupan, dan pendidikan yang layak baginya. Karena itulah, Bradd tidak menolak saat dijodohkan dengan Angelica, yang sudah ia anggap seperti adiknya, meski sebenarnya, ia memiliki pilihan hatinya sendiri. Tapi Angelica menghilang, dan datang lagi satu tahun kemudian, dengan membawa Jenny yang sudah berumur enam bulan. Angelica datang, hanya untuk menyerahkan Jenny, setelah itu ia pergi lagi, untuk mengejar mimpinya. Dan, tidak pernah ada pernikahan di antara mereka berdua. Dan, sampai sekarang Bradd tidak menikah, demi untuk menjalankan pesan dari kakek Jenny. "Daddy," Jenny mendekat, ia berdiri di belakang Bradd, dilingkarkan kedua tangannya di tubuh Bradd. Bradd menundukan kepala, ditatap lengan Jenny yang melingkari perutnya. "Kakekmu, sudah membakar foto-foto itu Jenny, karena rasa marahnya kepada mommymu. Tak ada satupun yang tersisa, bahkan semua foto Angelica ia bakar tanpa sisa, ia sangat terpukul. Kamu sendiri bisa lihatkan, tidak ada satupun foto mommymu di rumah ini." Jawab Bradd akhirnya. "Kakek membenci mommy, lalu kenapa dia tetap mau menerimaku? Kenapa dia mau membesarkan aku, dan melimpahi aku dengan kasih sayangnya?" Bradd melepaskan pelukan Jenny, ia memutar tubuhnya, mereka berdiri berhadapan. "Karena kakek menyayangi Daddy, dan kamu sudah membawa kembali cahaya yang sempat sirna di rumah ini. Kamu adalah kebahagiaan kami, kamu adalah semangat baru di dalam hidup kami." Bradd mengelus lembut pipi Jenny. Jenny memegang telapak tangan Bradd, lalu ia tekan ke pipinya. "I love you, Daddy," Jenny mendongakan wajahnya, ditatap lekat mata daddynya. Bradd membalas tatapannya. Lalu di dekap Jenny, ia bawa ke dalam pelukannya. "I love you too." "Ehmm," Jenny menguselkan wajahnya ke d**a Bradd. "Jangan kabur lagi ya, Daddy tidak akan memaksamu melakukan apa yang tidak kamu suka. Kamu bebas memilih pasangan hidupmu. Tapi, Daddy berharap, pilihanmu adalah yang bisa menjagamu, juga menjaga semua peninggalan kakekmu." "Aku tidak akan pergi, asal Daddy berjanji tidak akan menikah dengan wanita itu." "Daddy berjanji, tidak akan menikah dengan Angelica" "Daddy" "Hmmm" "Apa boleh aku memilih pasangan yang jauh lebih tua dari usiaku?" Jenny mendongakan wajahnya, Bradd menunduk, wajah mereka terasa sangat dekat, mata Bradd menatap dalam bola mata Jenny. "Apa kamu sudah punya pilihan? Apa dia setua Daddy?" "Hmmn, aku menyukai seseorang, tapi aku ragu apakah dia juga menyukaiku." "Ehmmm, apa dia seorang duda? Atau seorang pria yang belum menikah?" "Entahlah," Jenny mengangkat kedua bahunya. "Entahlah? Jenny, jangan jadi perebut suami orang, hindari hal itu sayang. Meski kamu cinta mati dengan pria itu, kalau dia sudah beristri, sebaiknya lupakan saja, kamu paham?" ucap Bradd tegas. "Ummm, paham Daddy," Jenny mempererat pelukannya, dadanya sengaja ia tekan kuat ke tubuh Bradd. Bradd berusaha membuang pikiran yang singgah di kepalanya. Ia melepaskan pelukan Jenny, saat mendengar suara dari perut Jenny. "Kamu ingin makan?" "Hmmm," Jenny menganggukan kepalanya. "Ingin makan di ruang makan, atau di kamarmu?" "Di ruang makan saja, tapi bersama Daddy ya." Bradd menekan bell untuk memanggil pelayan, pelayan datang, dan Bradd meminta pelayan untuk menyiapkan hidangan di meja makan. "Ayolah." Bradd menunggu Jenny di ambang pintu. Ditatapnya Jenny, karena Jenny masih berdiri di tempatnya. "Ada apa? Apa kamu ingin makan di kamarmu?" Bradd mengerutkan alisnya. "Kakiku masih lemas, karena pengaruh obat bius." Jenny duduk di tepi ranjang. "Jadi, kamu ingin makan di sini saja?" Jenny menggeleng. "Aku ingin makan di ruang makan, Daddy. Bisakah Daddy menggendongku?" Bradd kembali mengerutkan keningnya, karena sejak beranjak dewasa, Jenny tidak pernah lagi minta digendong olehnya. Bradd mendekati ranjang, ia membungkuk di dekat Jenny. "Naiklah ke punggungku" Jenny tersenyum, lalu memeluk leher Bradd dari belakang. Bradd menggendong Jenny di punggungnya. "I love you, Daddy." "Daddy juga mencintaimu, Sayang." Bradd menuruni anak tangga, dengan Jenny di punggungnya. Seseorang yang berdiri di dasar tangga, membuat Bradd menghentikan langkahnya sesaat, lalu ia kembali melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Angelica yang berdiri di dasar tangga, menatap tajam ke arah Bradd dan Jenny. Jenny tidak ingin membalas tatapan mommynya, ia memilih menyembunyikan wajahnya di atas bahu Bradd. "Angelica, ada apa?" Bradd sudah berdiri di hadapan Angelica, dengan Jenny masih di dalam gendongannya. "Apa kamu tidak sadar, kalau kamu sudah terlalu besar untuk digendong seperti ini, Jenny?" Angelica bertanya pada Jenny, tanpa menghiraukan pertanyaan dan tatapan Bradd padanya. "Tubuhnya masih lemas, efek obat bius yang dipakai orangku saat membekapnya, agar mudah bagi mereka untuk membawanya ke sini. Karena itu aku menggendongnya," Bradd yang menjawab pertanyaan Angelica. Bradd meneruskan langkahnya menuju meja makan, Angelica mengikuti di belakangnya. Bradd menurunkan Jenny di kursi makan, Angelica berdiri di dekat mereka. "Jadi, apa alasanmu kabur dari rumah ini, Jenny?" "Angelica, dia lapar, biarkan dia makan dulu. Apa kamu ingin makan bersama kami?" Angelica menghempaskan pantatnya di atas kursi. Bradd juga ikut duduk. Pelayan datang untuk menghidangkan makanan. "Apa kamu sadar sikapmu itu terlalu kekanak-kanakan, Jenny. Kabur dari rumah, hanya untuk menarik perhatian Daddymu!" "Angelica, jika kamu datang hanya untuk memarahi Jenny, sebaiknya kamu pulang saja!" Bradd menatap Angelica dengan rasa marah. Orang suruhannya sudah bersusah payah mencari Jenny, dan saat Jenny ditemukan Angelica justru memarahi putrinya. Bradd takut Jenny akan kabur lagi. "Jangan terus memanjakannya Bradd, dia harus belajar... hei Jenny, Jenny, aku belum selesai bicara!" Angelica berteriak karena Jenny meninggalkan ruangan makan, dan lari menaiki tangga, ia sempat terjatuh, karena kakinya yang masih lemas. Tapi ia bangkit dan naik ke lantai atas, dengan air mata membasahi pipinya. "Lihat apa yang kamu lakukan Angelica! Dia baru pulang, dan kamu sudah memarahinya, dan menuduhnya dengan tuduhan yang terlalu dibuat-buat. Sebaiknya kamu pergi dari sini, aku tidak ingin Jenny kabur lagi karena keberadaanmu di rumah ini!" Bradd masih berusaha menahan amarahnya. "Ini rumahku juga, Bradd!" "Tidak lagi Angelica, rumah ini bukan rumahmu lagi, sejak kamu memutuskan pergi dari rumah ini. Rumah ini, adalah rumah ayah, yang diwariskan pada Jenny. Kamu tidak punya hak atas apapun yang sudah diwariskan ayah pada Jenny!" Angelica mendekati Bradd, wajahnya mendongak untuk menatap wajah Bradd. "Apa ini sebuah permainan yang sudah kau atur Bradd?" tatapan Angelica menyelidik ke mata Bradd. "Apa maksudmu Angelica, permainan apa?" "Jangan berlagak tidak memahami maksudku, Bradd!" Bradd, tersenyum, ia menggelengkan kepalanya. "Kamu yang sedang bermain-main Angelica, bukan aku. Kamu terlalu sering bermain peran, sehingga bagimu, orang lainpun selalu bermain peran dalam kepalsuan." Bradd menatap Angelica dengan tatapan tajam, sejak awal Angelica datang, Bradd sudah merasakan apa tujuan sebenarnya dari kembalinya Angelica. BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD