last Day

2648 Words
"Semua berjalan lancar tanpa hambatan." *** Jam makan siang tiba, Bram dan Veni baru saja selesai meeting. Client mereka tampak puas dengan keduanya. Veni pun tersenyum bangga walaupun semalaman dia sempat grogi padahal dia biasa melakukan ini. Mungkin karena hari terakhirnya bekerja jadi membuatnya gugup semalaman takut tidak memberikan yang terbaik di akhir. "Bu Veni ini sangat bagus ya public speakingnya. Kelihatan sudah sangat berpengalaman. Next kita bisa ketemu lagi buat bahas kerjasama ini. Penyampaian yang disampaikan Bu Veni ini cukup singkat dan jelas serta mudah dimengerti, Bu." Veni menundukkan kepalanya sopan dengan tersenyum. "Terimakasih, Pak Vino atas pujiannya. Saya hanya melakukan yang terbaik saja. Kalau bukan karena Pak Bram juga mungkin saya tidak bisa selancar ini, karena tadi saya juga ada rasa gugup," jujur Veni. Kedua orang penting itu tertawa, "Hahaha ... ini semua karena kerja keras kamu, Ven jadi hasilnya juga memuaskan," ujar Pak Bram. "Kalian berdua emang the best. Engga rugi ya Pak Bram punya sekretaris kayak Bu Veni. Pasti kerjanya lancar terus. Selanjutnya project pasti Bu Veni lebih bagus penyampaiannya." Veni tersenyum dan melihat ke arah Pak Bram. "Hehehe makasih, Pak. Tapi, ini hari terakhir saya akan bekerja makanya sebisa mungkin saya harus memberikan yang terbaik." "Loh kenapa memangnya? Padahal, Bu Veni ini bagus kerjanya saya yakin yakan, Pak Bram?" tanya clientnya. "Ya sangat bagus malah. Saya juga tidak menginginkan dia resign tapi dirinya sendiri yang mengajukan jadi saya hanya bisa mengaccnya." "Iya, Pak. Saya mau fokus ngurus rumah tangga aja makanya resign." "Oalah gitu. Cewe idaman. Saya kira Pak Bram bakal nikah sama sekretarisnya. Saya sama istri saya gitu dulu soalnya." Veni hanya tersenyum canggung sedangkan Bram malah tertawa. Veni membisikkan sesuatu kepada Pak Bram karena dia sudah lemes, ini sudah jam makan siang. Tapi, obrolan ini seakan tidak ada habisnya. "Pak ini kapan selesainnya udah jam makan siang," bisik Veni kepada atasanya. Atasannya pun mengangguk. Bram pun diam sejenak masih ada obrolan-obrolan ringan antara mereka. Setelah beberapa saat akhirnya Bram pun mengakhiri obrolan mereka. "Mungkin meeting kita hari ini kita cukupkan saja ya, Pak. Sudah hampir lewat jam makan siang juga soalnya. Atau bapak mau makan sekalian?" Vino pun menengok jamnya. Dia pun akhirnya meminta untuk menyelesaikan meeting mereka. "Oh ya. Yasudah kita cukupkan saja. Ah, ya maaf juga saya ada janji untuk makan siang bersama istri saya jadi sepertinya saya tidak bisa makan siang bersama. Namun, lain kali jika ada waktu kita bisa berkumpul seperti ini." "Ya, semoga saja." "Baik, Pak Bram begitu saja pertemuan kita kali ini. Semoga proyek yang kita jalanin ini kedepannya berjalan lancar dan tidak ada halangan," ucap Pak Vino sambil berdiri dan berjabat tangan. Bram pun ikut berdiri bersama Veni juga. "Aamiin, Pak." "Yasudah, Mbak Veni saya juga pamit semoga saja ada kesempatan bertemu lagi karena sudah tidak bekerja 'kan? Sukses selalu ya, Mbak Veni." "Baik, Pak Vino terimakasih atas dosanya. Semoga doa baik kembali menyertai bapak." Bram pun menganggukan kepalanya. Setelah itu mereka saling pamit undur diri tersisa Bram dan juga Veni, "Ayo, Ven kita balik ke kantor." Veni pun mengangguk. Mereka membereskan barang-barangnya dan akhirnya pulang ke kantor lagi. *** Veni menutup mulutnya spechelees, dia tidak menyangka anak-anak kantor menyiapkan perpisahannya. Dia ingin menangis rasanya perpisahan ini benar-benar membuatnya tidak dapat berkata-kata lagi. Mereka menempelkan balon-balon, hiasan lainnya di mana di tengahnya pun bertuliskan, "Sukses Selalu Veni." "Sampai jumpa, Veni. Good luck." "Kalian ... kalian nyiapin ini semua?" "Iya, Bu Veni...." "Iya, Veni." Jawab mereka bersama-sama. Veni sudah tidak sanggup lagi menahan air Matanya. "Kalian enggak kerja untuk buat ini? Pak Bram...." Veni melihat ke arah atasannya dia takut kalau rekan-rekannya malah kena masalah makanya dia ingin dia yang meminta maaf tapi Pak Bram sudah mengatakan lebih dulu kalau memang ini dia yang menyiapkan. "Ini saya yang menyuruh mereka semua menyiapkan dan sebagai kelonggaran untuk tidak bekerja hari ini. Saya angap meeting tadi berjalan lancar berkat kamu yang tanggung jawab tetap datang. Selama saya menjabat sebenernya baru kamu yang jadi sekretaris paling lama dan selaku membuat client kita bangga. Jadi, saya menyiapkan ini sebagai tanda terimakasih saya buat kamu juga," jelas Bram lagi. "Terimakasih banyak, Pak. Saya bahkan enggak tahu lagi mau ngomong apa. Saya enggak bisa ngomong apa-apa lagi. Saya jadi berat ninggalin kerjaan di sini adalah awal saya merintis karir di mana jabatan saya bisa naik perlahan-lahan walaupun harus dengan jalan yang tidak mudah. Makasih, Pak. Makasih banyak mungkin makasih saya enggak cukup untuk bapak tapi saya tulus dan minta maaf enggak bisa lagi bekerja bersama Bapak." "Sama-sama. Saya ke ruangan saya dulu nanti kembali lagi. Saya kasih waktu kamu dan yang lain jika ingin ada yang disampaikan sebelum Veni resign." "Terimakasih, Pak Bram." Bram mengangguk dan meninggalkan Veni bersama mereka. Setelah itu dia pun berjalan masuk ke ruangannya. "Aaaaaa ... Veni enggak bisa dipikir-pikir lagi apa buat jangan resign," ucap Dea dan Tia maju bersamaan memeluk Veni. Selama ini memang mereka yang dekat sehingga Veni pun juga merasa berat mereka tinggalkan. "Masa udah dibuatin gini enggak jadi resign malu dong," ucap Veni lagi bercanda. Padahal, dari tadi dia sudah menangis, make upnya pasti luntur. "Enggak papa kok, kita masih nerima kamu lagi kalau kamu enggak jadi resign," ucap Tia lagi. "Hehe ... tapi aku mau fokus ngurus rumah aja, De, Ti. Lagian aku juga lagi hamil enggak bisa kecapekan juga." "Aaa ... ternyata kamu udah hamil juga pantes suami kamu enggak mau kerja." "Hehehe iya," jawab Veni lagi. "Selamat ya, Ven ternyata jomblo lama dengan nolak banyak laki-laki akhirnya dapet yang pas, pengertian, kaya juga lagi. Semoga aja deh rejeki jodohnya nular udah pengen nikah juga ni huhu," ucap Dea. "Hahaha ... Aamiin...." Salah satu orang yang suka julid dengan Veni pun maju, "Ven...." "Iya, Bu?" Dea dan Tia pun menggeser tubuhnya ke kanan Kiri Veni untuk memberikan ruang Veni gantian pamit dengan teman-teman lain. Tapi, dia tidak menyangka kalau seniornya mau mendekat ke Veni dan yang lebih tidak menyangkanya lagi adalah minta maaf kepada Veni lebih dulu. Ternyata perpisahanlah yang baru membuat mereka saling sadar untuk mulai saling minta maaf. "Saya minta maaf ya. Selama kita kerjasama saya selalu omongin kamu, marahin kamu padahal kerja kamu udah bagus. Saya ngomongin dan marahin kamu juga karena saya juga sebenarnya iri dengan kamu. Kamu masih muda bisa sampai di titik sekretaris saya iri tapi akhirnya saya sadar betapa memang kamu yang cerdas. Seharusnya saya bukan mencari kesalahan kamu walaupun masih muda tapi saya belajar kenapa kamu bisa saya enggak. Ternyata kamu memang hebat." "Ah Bu Rima bisa aja. Saya enggak ngerasa gitu kok, Bu saya juga masih belajar banyak dari Ibu juga." Rima pun memeluk Veni dan disambut Veni hangat. Betapa rasanya dia bahagia bercampur-campur. Kenapa harus di hari terakhirnya kerja dia jadi memiliki banyak teman. Tapi, kembali lagi dia tetap bersyukur dengan hal itu. "Yaudah semoga kehamilannya lancar sampai melahirkan ya dan anaknya juga selamat sehat serta Ibunya juga." "Aamiin, makasih Bu Rima." Bu Rima mengangguk. Sekarang satu persatu mereka semua bersalaman dengan Veni mengucapkan salam perpisahan. Perpisahan yang menurut mereka ini palinglah haru. Semoga saja ke depannya selalu ada hal baik di setiap perpisahan. Setelah itu mereka semua makan-makan. Tanpa diketahui juga Mario sudah menyuruh karyawannya untuk memesan makanan untuk mereka. Padahal, sekretaris sebelumnya tidak semegah ini perpisahannya. Tapi, Veni benar-benar membuat orang juga kagum. Mereka semua makan bersama, Veni melihat wajah mereka satu persatu dan tersenyum. Tiga tahun dia di sini baru kali ini merasakan rasanya kehangatan kantor sesungguhnya. Semoga saja ini tetap berlanjut seterusnya hingga mereka mendapatkan kebahagiaannya masing-masing. Setelah mereka saling mengobrol, bercandaa, makan-makan. Tidak terasa juga sore sudah tiba. Sudah waktunya jam pulang. Tumben sekali juga Mario sudah mengirimi pesan kalau dirinya sudah menjemput. Padahal, Veni berharap Mario belum menjemput sehingga dia masih bisa mengobrol lama. Tapi, akhirnya Veni pun mengatakan kalau dirinya pamit. Lagi pula juga sudah jam waktunya pulang. "Temen-temen ini sudah waktunya jam pulang. Kebetulan saya juga sudah dijemput. Maaf banget ya jadi buru-buru biasanya dijemputnya lama tapi gatau kenapa ini udah di depan." "Ah ya enggak kerasa ya tahu-tahu udah jam pulang aja. Padahal, kayaknya baru kita adain ini. Ngobrol juga baru sebentar." "Sebentarnya cewe gibah itu bisa buat kira para cowo keliling eropa, Asia bahkan haji sama umroh dulu," ujar Firman. Mereka para perempuan pun tertawa mendengarnya. "Emang ya para cowo to engga paham sama kesenengan cewe lagian kita enggak gibah kok. Kita cuma sedang talking untuk menyampaikan perasaan kita dan dikembangkan suatu cerita menarik." "Apa-apaan mengembangkan cerita kok entar ngomongin orang dan lain-lain." Mereka pun tertawa mendengarnya. Bisa-bisanya para lelaku itu selalu menjawab ucapan para cewe padahal itu tidak akan ada habisnya kalau Veni akhirnya tidak angkat bicara. "Sudah-sudah. Yaudah ya teman-teman saya pamit saya mau ke ruang Pak Bram juga pamit secara pribadi. Sekali lagi kalau selama saya bekerja ada kesalahan lisan atau apapun saya minta maaf. Saya sama sekali tidak bermaksud atau saya khilaf. Mohon maaf dan juga terimakasih atas kerjasamanya selama saya bekerja." "Iya, Veni lagian kita seneng punya atasan sekretaris yang kayak Bu Veni. Serasa sabar banget. Dijulidin Bu Rima aja masih bisa sabar." "Kamu masih aja berani ya Andri awas kamu." Andri pun hanya tertawa lalu sungkem dengan Bu Rima sedangkan yang lain tertawa. Ah, benar-benar kenapa kedekatan ini baru terasa saat dirinya mau pindah. Kenapa tidak dari kemarin aja mereka kompak. Tapi, mungkin ini cara Allah untuk tetap memperbanyak teman walaupun dia sudah resign. "Yasudah teman-teman saya mau ke ruangan Pak Bram dulu ya." "Iya, Ven." Veni pun bangkit dari duduknya dan berjalan ke ruangan Pak Bram. Sampai di ruangan Pak Bram dia melihat Pak Bram membelakangi pintu. Veni merasa ada kesedihan dengan Pak Bram. "Misi, Pak...." Entah perasaan atau bukan Veni merasa kalau Pak Bram langsung mengusap air Matanya baru kemudian menengok ke arah Veni. "Iya ada apa, Ven?" "Bapak nangis? Atau lagi ada masalah?" tanya Veni lagi. Bram cepat-cepat menggelengkan kepalanya. "Ada apa?" ulang Bram. "Ah ya, ini sudah jam pulang kerja. Saya pamit buat pulang sekaligus saya pamit untuk mulai besok sudah tidak datang kerja lagi ya, Pak. Maaf kalau saya selama kerja membuat susah bapak atau melakukan hal-hal yang bapak enggak suka. Atau melakukan kesalahan dan lain-lain saya minta maaf, Pak." "Iya sama-sama. Saya juga makasih berkat kamu rata-rata proyek kita maju. Kamu satu-satunya sekretaris yang menjalankan semuanya dengan baik. Saya menyanyangkan sekali kamu harus resign tapi kembali lagi ini bukan pekerjaan tetap yang membuat keryawaannya tidak bisa resign." "Hehe maaf banget ya, Pak. Saya resign kayaknya dadakan banget." "Iya kamu resign kayak apa aja cepet-cepet." "Maaf, Pak." Veni menundukkan pandangannya dia benar-benar minta maaf dan merasa bersalah karena seharusnya dia resign itu menyiapkan persiapan bukan malah dadakan. "Tidak apa." "Yaudah gitu aja, Pak. Saya berterimakasiu atas pengalaman yang saya dapat di sini ya, Pak." "Iya sama-sama." "Begitu saja, Pak pamit saya. Sekarang saya izin pulang karena sudah dijemput, Pak." Bram pun menganggukan kepalanya. Saat Veni berbalik hendak ke luar ruangan Bram memanggilnya lagi, "Ven...." "Iya, Pak." "Saya minta maaf ya atas tempo hari karena mengatakan perasaan ke kamu. Takutnya kamu risih atau canggung walaupun benar itu yang saya rasakan hanya saja saya kalah cepat dengan suami kamu. Tapi, dia saya tetap semoga kamu bahagia selalu bersama keluarga baru kamu." "Aamiin, makasih, Pak. Terimakasih juga sudah memiliki perasaan ke saya dan juga saya minta maaf karena tidak bisa membalas perasaan itu." "Tidak apa. Yasudah suami kamu sudah nunggu di depan 'kan? Kasihan nanti dia nunggu lama." "Baik, terimakasih, Pak. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Veni kali ini benar-benar pulang. Melihat kepergian Veni menyisakkan penyesalan di hati Bram. Seandainya waktu itu dia tidak mengulurkan waktu melamar Veni pasti dia sudah satu ruangan di sini bersama suaminya. Dia bisa bekerja bersama sekretarisnya ketemu dengan sekretarisnya yaitu Veni. Banyak sekali dia ingin menyatakan rasa penyesalannya tapi sudah terlambat dia tidak bisa memiliki Veni lagi. Ingin ikhlas karena wanitanya sudah bersama laki-laki lain tapi rasa sesak masih tersisa. Bram menggelengkan kepalanya. Semoga saja seiring dirinya mencari Pengganti dia bisa menemukan sekretaris lagi yang cocok karena mencari sekretaris yang cocok dengan Bram itu sulit. *** Mario sudah menunggu di depan mobilnya. Veni tersenyum melihat mereka. Tapi, saat dirinya ingin memeluk Mario dia melihat Arum ikut lagi menjemput dirinya. Dia menghembuskan napasnya. Nanti pastu dia akan duduk di belakang lagi setelah ini. "Muka kamu kok sembab gitu, Ven kamu habis nangis? Ada yang bikin kamu nangis?" tanya Mario. Mata Veni itu tidak bisa dibohongi jika habis menangis jadi Mario bisa lihat itu. Karena terakhir kali Veni menangis ya saat di mana ijab kabul dipernikahannya. "Kamu kok udah jemput cepet banget? Biasanya jam segini belum jemput," ucap Veni mengalihkan pertanyaannya. "Aku nanya apa tadi?" "Wkwkwkw ... iya-iya aku habis nangis." "Kenapa?" tanya Mario lagi. "Gapapa terharu aja." "Kamu enggak dibolehin resign?" tanya Mario lagi. Veni menggelengkan kepalanya. "Terus kenapa?" tanya Mario lagi. "Aduh, Kak buruan dong. Kan bisa ngobrolnya di rumah aja. Kenapa harus di sini sih. Udah ayo pulang," ucap Arum. Mario terlihat jengah dengan gadis. Itu. Veni pun menyuruh Mario untuk pulang. Mario langsung membukakan pintu belakangnya. Dan Veni pun harus mengalah lagi duduk di belakang karena Arum sudah duduk di depan. Dia ingin kesal tapi apa ada dia tetap harus mengalah agar tidak terjadi masalah. "Ven, maaf ya kamu harus duduk di belakang," ucap Mario lagi sambil menutup mobilnya. "Iya, enggak papa kok. Yaudah ayo kita pulang." Mario pun mengangguk lalu berjalan ke bangku kemudi lalu mereka pulang. Di dalam mobil lagi-lagi Arum membuat Veni harus menahan kesal. Bagaimana bisa gadis itu mengoceh saja sepanjang perjalanan seakan memojokkan dirinya karena telat interview padahal 'kan jelas itu kesalahannya sendiri suruh siapa menunggu kenapa tidak berangkat dari pagi saja. Lalu, kenapa bukannya pulang gadis itu malah ikut Mario selalu. "Tahu enggak sih tadi aku jadi telat interview terus kena oceh, kenapa hari pertama harus telat. Kenapa udah tahu jadwalnya interview malah telat. Yaudah aku jawab aja karna harus nganter kakak ipar ke kantornya dulu. Jaraknya jauh banget sama sini. Terus ya Kak Mario yang paling bikin kesel tu dia malah nyalahin aku katanya aku enggak niat kerja lah inilah itulah. Padahal, kalau enggak niat ngapain juga aku ngelamar." "Yakan emang salah kamu, Rum udah dibilang enggak keburu kalau jadwal kamu jam segitu aku harus anter Veni. Aku suruh kamu berangkat pake taksi online enggak mau." "Akukan udah bilang enggak berani lagian dari dulu juga sesibuknya Kakak 'kan juga anterinnya aku dulu. Bukan yang lain juga." "Ya aku anter Veni karna udah kewajibanku orang dia Istriku." "Tapi 'kan dia udah dianter sama Kakak tiap hari aturan sekali aja Kakak anter aku interview emang salah. Toh, enggak setiap hari juga." "Ya enggak bisa gitu lagian juga dia tanggung jawab aku." "Aku tahu, tapi kan ngalah sedikit gitu kan bisa, Kak. Orang aku juga enggak sering koj. Lagian, kenapa Kak Veni enggak berhenti kerja aja sih udah nikah 'kan? Semua yang Kak Veni mau juga cukup 'kan sana Kak Mario. Pasti iyalah orang aku aja yang sepupunya apa-apa diturutin masa istrinya enggak." "Udahlah, Rum kamu enggak usah ngoceh aja deh. Kamu berisik mending tidur. Yang penting karena Kakak juga akhirnya kamu diterima 'kan? Yaudah diem enggak usah ngedumel aja," ucap Mario lagi. "Karena Mario?" tanya Veni dalam hati. Jadi, Mario membantu Arum masuk ke kantor tersebut. Padahal, dulu dia kerja saja bersusah payah untuk masuk tapi gadis itu dengan mudahnya masuk karena Mario. Veni jadi kesal sendiri. Kekuatan orang dalam pasti selalu jadi pemenangnya. Hingga segelintir orang yang sudah bersusah payah kadang harus tersingkir karena orang dalam entah orang itu memiliki kenalan atau sogokan dari orang yang memiliki harta lebih. Bukan Veni iri, tapi Veni pernah merasakan berjuang hingga dia sudah sedikit lagi masuk ditahap akhir tapi harus tersingkir karena orang dalam yang menyogok lebih, sampai situlah sejak dia pernah menjadi HRD dia benar-benar menyeleksi karyawan yang berkompeten karena kadang yang masuk lewat orang dalam atau sogokan mereka cenderung merasa sombong dan menganggap tidak perlu usaha lebih asal ada orang dalam. Itulah yang pernah Veni dengar dari salah satu karyawannya dulu. Tapi, dia tidak bisa memecatnya karna karyawannya itu adalah sepupu bosnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD