"Berharap pikirannya plong setelah curhat."
***
Mereka sudah sampai di Mall. Tadinya Veni ingin langsung ke restaurant saja untuk mengobrol tapi dasarnya Lea cewe feminim yang melewati toko skincare dia pasti akan mampir dulu.
"Ayo mampir sini dulu kali aja ada diskon 'kan."
"Le nanti kelamaan kalau kamu belanja dulu."
"Enggak cuma lihat-lihat doang. Lagian lo juga perlu skincare tahu biar Mario makin tergila-gila sama lo."
"Halah. Gue udah nikah enggak perlu gituan dulu aja cuma pake pelembab sama bedak doang."
"Oiya basic udah cantik mah susah sih," goda Lea lagi.
"Ck mana ada cantik."
"Udah ah ayo masuk lihat-lihat doang." Lea lantas menarik Veni untuk masuk ke dalam dia melihat-lihat barang yang dia carii.
***
Mereka sudah beristirahat di restaurant setelah mereka berkeliling setengah jam. Veni gantian marah-marah kepada Lea. Dia tadi bilang sebentar padahal setengah jam baru selesai sedangkan Lea hanya tersenyum tanpa dosanya.
"Tuhkan ini gara-gara kamu tahu enggak. Katanya sebentar tapi setengah jam baru selesai."
"Ya namanya juga cewe kalau udah belanja gimana," jawab Lea sambil terkekeh. Mereka sedang menunggu pesanan mereka datang. Veni yang lelah jadi malas menceritakan masalahnya.
"Keliling sama belanja enggak sebanding pula. Keliling lama cuma dapet dua item," ujar Veni dengan nada datar. Lea lagi-lagi terkekeh dengan ocehan temannya itu.
"Udah-udah kalau kamu ngoceh terus kapan ceritanya. Katanya mau cerita, cerita apa? Lagian jarang juga kok."
"Hoax jarang orang setiap jalan pasti ada yang dibeli. Tujuannya nongki tapi pasti ada aja barang-barang yang dibeli," ucap Veni memutar bola matanya malas.
"Ya sayang kalau enggak ada yang beli. Udah buruan cerita Napa jadi ngoceh entar keburu makan dateng."
"Udah dateng," saut Veni lagi saat di belakang Lea pelayan mengantarkan makan untuk mereka. Lea menengok dan benar saja pelayan itu datang mengantarkan makanan ke meja ke mereka. Lagi-lagi Lea terkekeh. Seperti tidak ada kesempatan untuk dirinya ngomong.
"Hehehe ... yaudah berarti emang suruh makan dulu. Lagian Dede lo juga belum makan kok ya makan aja dulu."
"Hmm...."
"Silahkan ... apakah ada menu yang kurang? Atau salah?" tanya pelayan itu.
"Tidak, Mas makasih ya," jawab Veni dengan ramah.
"Baik kalau tidak ada lagi saya permisi, selamat menikmati...."
"Terimakasih, Mas," ucap Lea gantian. Pelayan itu pun mengangguk dan kemudian berlalu. Mereka menikmati malam dengan hening. Setelah makan baru mereka akan mengobrol.
***
Kini waktunya Veni menuangkan keluh kesahnya selama ini. Hanya dengan Lea yang mungkin bisa membantu masalahnya.
"Jadi gimana? Lo mau cerita apa?" tanya Lea. Beberapa menit yang lalu mereka sudah selesai makan. Veni pun sudah selesai solat magrib tadi.
"Aku bingung mau resign tapi aku suka kerjaan aku," ucap Veni mengawali ceritanya.
"Ya kalau lo suka ya ngapain resign? Jalanin aja."
"Masalahnya mertua aku tu sama suami aku mau aku resign, Le mereka mau aku di rumah aja. Istirahat gitu."
"Suruh jadi IRT gitu?" tanya Lea lagi.
"Ya enggak juga di rumah ada pembantu cuma di suruh jangan capek-capek kerja gitu loh, Le. Takut nanti aku kecapekan terus kenapa-kenapa sama kandungan aku. Toh, Mama mertua ku bilang semua udah terjamin enggak usah takut kekurangan tinggal aku suruh di rumah aja minta apa-apa bilang dia gitu. Lagian duit Mario enggak bakal abis cuma buat ngidupin aku dan aku enggak perlu kerja. Gitu sih."
"Sombong juga ya mertua lo."
"Hush, Lea. Kamu ini malah julid."
"Wkwkw ... ya maap mulut emang suka kebablasan gitu," saut Lea sambil tertawa.
"Aku tahu sih mereka emang dari keluarga kaya aku enggak kerja yaudah enggak papa juga. Tapi, masalahnya akutu suka kerja gitu loh, Le. Kamu tahu juga kan untuk aku dapet jabatan sekretaris enggak gampang masa aku mau resign gitu aja. Sayang tahu."
"Iyasih, apalagi juga lo dari dulu bilang suka kerja. Pengen jadi wanita karir kalau udah nikah juga walaupun tanggung jawab lo kalau sama suami tetep lo lakuin kan? Atau enggak makanya suami sama mertua lo pengen lo resign biar fokus ngurus suami."
"Udah aku jalanin. Masalahnya tu bukan disitu tapi mereka takut aku kecapekan dan aku kenapa-kenapa. Emm lebih tepatnya calon anak aku kenapa-kenapa."
"Oh jadi mereka khawatir kandungan lo ada apa-apa gitu? Sebelumnya enggak?" tanya Lea lagi.
"Heem. Sebenernya gini loh, anaknya Mama mertua gue kan ada dua cowo semua. Udah nikah semua, kakak ipar aku istrinya itu juga sama kerja lebih enak dia malah kerjanya. Nah, dia tu hamil terus keguguran sampe sekarang belum hamil lagi."
"Oalah gue paham-paham." Lea mulai paham dengan cerita Veni. Veni pun melanjutkan ceritanya.
"Emmm ... maksud mertua lo menurut gue baik si, Ven cuma enggak pengen nanti kejadiannya sama kayak istri kakak ipar lo itu. Ya kalau gitu sih menurut gue gapapa enggak usah kerja toh mereka juga keluarga mapan lo enggak bakal kesusahan juga kok, Ven."
"Iya tahu tapi kan sayang tahu aku harus ngorbanin kerjaan aku. Tahu gitu aku mending beli rumah sendiri gitu tinggal di rumah sendiri enggak usah ikut mertua."
"Yaudah beli aja rumah sendiri masa Mario enggak sanggup beliin lo rumah."
"Bukan enggak sanggup, Le. Tapi, Mamanya Mario enggak mau jauh dari anaknya. Anak pertamanya juga punya rumah sendiri soalnya. Kan Papa mertua gue udah enggak ada juga 'kan...."
"Hmm ... gitu ternyata nikah masalahnya rumit ya."
"Dari awal nikah emang gaada pembahasan gimana kerja aku dan lain-lain si sama Mario soalnya kan kamu tahu sendiri Pernikahan kita serba dadakan semua. Jadi, aku lihat dia serius yaudah caranya bener yaudah. Dan untuk ke Pernikahan juga cepet banget pula."
"Iyasih, kalau enggak gini aja, Ven lo bilang sama keluarga suami lo itu lo cuti selama hamil berarti sembilan bulan ya? Nah nanti setelah lahiran lanjut kerja lagi gimana? Lo udah ngasih masukan gitu?"
"Ya masa aku cuti sembilan bulan mana boleh gila. Apalagi aku sekretaris yang ngurus semua keperluan bos langsung. Mana bisa cuti selama itu. Kemarin aja cuti sebulan tadi siang ribut sama senior."
"Ribut kenapa lagi? Cerita keluarga belum selesai udah nambah rumit sekali hidupmu, nak malah setelah nikah." Lea menepuk pundak Veni sambil menggelengkan kepalanya sedangkan Veni menatapnya datar dan melepaskan tangan Lea dari pundaknya.
"Ish aku bingung beneran, Le. Kudu gimana ya? Masa resign kerja tapi sayang. Kalau enggak nurutin ntar Mama mertua nyindir mulu gimana? Ah apa yang harus aku pilih aku bingung."
"Ya gue saran itu aja. Coba dulu si ngomong sama bos lo siapa tahu bisa karena lo juga sekretarisnya 'kan? Biasanya sih nyari sekretaris yang cocok enggak gampang. Lo berapa lama si jadi sekretaris?" tanya Lea.
"Baru tiga tahun."
"Tiga tahun lama sih. Ya coba aja kali aja si bisa."
"Kalau enggak bisa?"
"Ya resign paksa. Ke luar aja enggak usah masuk. Kalau itu pilihan lo ya. Lagian, Ven lo kan tahu kalau surga istri sekarang sama suami. Kalau suami lo nyuruh gitu ya seharusnya lo turutin aja gitu. Bukannya lo dari dulu anti ngelanggar-ngelanggar masa sekarang urusan kerja aja yang di mana kehidupan lo itu udah tercukupi jadi enggak usah mikir lagi gitu lo, Ven."
"Iya paham. Cuma sayang kerjaan." Veni memang sudah bersusah payah untuk masuk kerjaan itu belum lagi sampai di mana jabatannya menjadi sekretaris itu dulu sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya.
"Udah lo omongin aja dulu sama suami lo enaknya gimana? Kalau emang dia maunya lo berhenti kerja yaudah si berhenti aja dari pada lo durhaka sama suami mau?"
"Ish naudzubillah minzalik."
"Nah enggak mau 'kan? Yaudah makanya kalau emang disuruh resign. Resign aja toh demi kebaikan lo juga kok. Dapet suami kayak Mario harusnya bersyukur aja sih, Ven."
"Ya sejauh ini sih bersyukur. Tapi, rada gimana gitu dari pengen tinggal di rumah sendiri eh kasian katanya Mario ninggalin Mamanya soalnya Kakaknya udah rumah sendiri padahal juga deket sesekali ke rumah tapi ahhh dahlah...."
"Wkwkw sabar ujian Pernikahan itu pasti ada aja, Ven. Orang lain juga pasti ngerasain masalah sama Pernikahannya cuma kan masalahnya beda-beda kan."
"Iyasih. Makanya kenapa dulu gue terima juga. Tapi, ya si Marionya juga minta buru-buru segala anter jemput pula kan jadi enggak enak kalau belum ada ikatan berdua mulu." Lea menganggukan kepalanya mengerti.
"Yaudah. Itu udah takdir kok. Jalanin aja."
"Hmmm ... iyasih."
"Semangat. Kalau butuh apa-apa bilang aja gue bakal kasih saran semampu gue. Kalau enggak ngeringanin setidaknya lo punya masalah enggak lo tanggung sendiri." Veni menganggukan kepalanya.
"Btw tadi siang lo bilang ribut sama senior? Itu kenapa lagi?"
"Itu gara-gara dia bilang aku nikah duluan karena hamil di luar nikah. Gila apa ya. Kayak aku enggak punya agama aja."
"Wkwkwk ... orang emang suka gitu. Apalagi dia senior kan merasa paling-paling pasti dan seenaknya kalau ngomong sama junior tapi kalau gue digituin ya gue bakal lawan lah."
"Iya aku bilang aja dia udah tua engga belum juga nikah enggak ada yang mau kali." Lea lantas tertawa.
"Really? Lo bales omongan dia? Yakin? Gila biasanya kalau disindir lo diem aja kok sekarang tiba-tiba lo jawab."
"Aku juga enggak tahu soalnya tadi mood aku juga lagi enggak Bagus juga. Dan akhirnya gaji aku dipotong dua puluh persen pas lagi berantem bos dateng."
"Lah kok gitu? Lo doang yang dipotong emang salah lo apa? Tinggal bilang dong yang mulai kan dia duluan." Lea yang mendengarnya saja kesal bukan apalagi Veni.
"Iya dia duluan yang mulai. Tapi dia mulai besok di scrors gajinya dipotong Lima puluh persen."
"Sukur. Lagian mentang-mentang senior kerjaannya nyinyir."
"Tapi akhirnya dia juga bikin gosip yang bilang bos enggak adil lah ada hubungan sama gue lah. Dan lain-lain. Tapi, bodoamat lah capek ngeladenin orang kayak gitu mah." Veni tidak ambil pusing kalau masalah itu.
Wanita itu ambil pusing masalah dia harus resign padahal dulu saat dia mencari kerja saja susah. Masa jabatannya sudah bagus dia harus resign begitu saja. Tapi, ini sudah permintaan suami dan Mama mertuanya. Kenapa perempuan harus selalu dipusingkan dengan sebuah pilihan. Walaupun, dia tahu memang hidup itu serba penuh pilihan.
"Yaudah sabar aja semua yang terjadi juga bagian dari pendewasaan lo. Allah tahu lo mampu makanya Allah kasih ini."
"Semoga aja deh ada jalan ke luarnya nanti."
"Aamiin."
"Ahhh ga terasa, Ven udah isya. Kita ngobrol gini aja udah lewat sejam setengah ya. Padahal baru Lima menit perasaan. Suruh suami lo jemput gih tadi dia bilang mau jemput kan? Gue tungguin di sini sampai suami lo dateng."
"Em okay. Veni mengambil ponselnya. Saat dia membuka ponsel pasti selalu saja spam chat atau telephone dari Mario selalu terpampang.
"Mario tu kalau chat satu belum dibales jangan chat lagi gitu kek ya. Nunggu aku bales seneng banget spam enggak pusing apa dia." Lea tertawa.
"Lagian kalau enggak dispam kan lo tahu sendiri balesnya lama banget."
"Yakan sabar nanti juga dibales kok."
"Kalau orang pennting?" tanya Lea dengan wajah datarnya.
"Ya udah ah mau telephone Mario." Veni kehabisan kata-kata jadi lebih baik dia segera menelepon Mario untuk jemput dari pada nanti dia pulang malam dan mertuanya itu ngoceh lagi. Padahal, mertuanya tidak ngoceh si hanya saja gitulah. Kalian yang tinggal dengan mertua pasti paham keadaannya. Serba ewoh kalau orang jawa bilang.
***
Mereka kini sudah sampai di rumah. Veni melihat ke rumah kosong. Padahal, dia tadi sudah wanti-wanti pasti akan ditanya dari mana karena macet total dan mereka baru sampai di rumah pukul sepuluh malam.
"Mama ke mana tadi? Kok sepi banget?" tanya Veni saat mereka sudah sampai di kamar.
"Di Bandung. Kakaknya Mama sakit."
"Loh, tadi pagi masih di rumah dahal?"
"Iya sore tadi ke Bandung, Mama ngabarin aku si gitu."
"Oalah. Aku kira ke mana. Aku udah wanti-wanti takut kena marah kalau aku pulang malem ternyata Mama enggak ada."
"Yaudah aku aja yang marah gimana?" goda Mario sambil melepaskan jasnya. Dia juga tadi baru pulang kerja.
"Kamu mau marah sama aku? Marah aja? Tapi kalau nyakitin aku mau pulang ke rumah Abi sama Umi." Mario tertawa mendengar ancaman istrinya itu.
"Oh sekarang kamu udah berani ya ngancem-ngancem aku. Oke kalau gitu enggak papa...."
"Bener ya enggak papa aku tinggal di rumah Umi sama Abi."
"Ya aku ikut terus aku bilang sama Umi dan Abi kalau kamu ngambek marah sama aku."
"Dasar ngaduan kamu." Veni masuk ke kamar mandi duluan.
"Veni kalau mandi pake air anget udah malem. Eh enggak usah mandi deh udah malem nanti sakit."
"Lengket aku engga bisa tidur nanti."
"Gagaga ... dilap aja badannya enggak ada mandi-mandi nanti malah sakit aja."
"Ck aku habis kerja seharian masa enggak mandi."
"Suruh siapa pulang malem."
"Iya-iya ah." Veni pun memilih mengalah dari pada dia harus berdebat panjang dengan Mario. Dia masuk ke kamar mandi. Sepertinya dia tidak akan mandi kali ini dan cuci muka saja. Mario terkekeh melihat raut wajah istrinya. Tadi, sebelum dia menjemput Veni sebenernya dia habis bertemu Bhiya. Karena Marvel harus mengantarkan Mamanya yang tidak mau dianter oleh supirnya. Dia jadi bingung dengan perasaannya saat ini. Awalnya dia hanya mempermainkan Veni tapi kenapa ada rasa khawatir kalau Veni kenapa-kenapa tapi hatinya masih ingin merebut Bhiya dari Kakaknya.
***