Makan Malam Bersama

2073 Words
"Perasaan curiga itu tetap bersarang dalam hati walaupun satu sisi dia juga yakin dengan pilihannya." *** Veni disambut hangan oleh Ibunya Mario. Walaupun dia juga masih merasa terganggu dengan perasaan aneh yang ada dalam dirinya. Tapi, Veni berusaha menyingkirkan perasaan itu. Veni sudah terlanjur masuk ke keluarga Mario itu artinya Veni juga harus yakin seratus person dengan pilihannya ini. "Veni kenapa bengong aja? Silahkan duduk," ucap Dian ramah menyuruh Veni duduk di meja makan. "Ah, Veni harus ditarikin dulu bangkunya, Ma baru dia duduk," goda Mario sambil menarikkan bangku untuk Veni. "Eh enggak kok, Tante," jawab Veni cepat. Dia jadi merasa terganggu dengan ucapan Mario barusan. Takutnya, calon mertuanya menganggap dirinya calon menantu yang malas. Eh, calon mertua? Memangnya dia sudah yakin diterima di sini. Aduh, Venita kenapa salah ngomong gini sih. "Ven kamu ngapain mukulin kepala gitu?" tanya Dian bingung. "Eng? Eh, em anu...." Veni jadi kikuk senfirj menjawabnya. Mario yang sadar dengan tingkah Veni yang kaku pun menyuruhnya untuk duduk sedangkan dia berada di sampingnya. "Udah, kamu enggak usah canggung gitu. Lagian Mama aku emang kelihatan galak banget ya sampe kamu kelihatan takut gitu," ucap Mario lagi. "Emang iya, Veni? MukaTante galak banget ya?" tanya Dian lagi sambil duduk di kursinya tepat sekali berasa di hadapan Veni. "Enggak kok, Tan. Cuma...." "Cuma kenapa?" tanya Dian lagi dengan cepat. "Veni emang enggak pernah sebelumnya ke rumah pihak laki-laki jadi emang agak canggung aja." Veni terpaksa berkata jujur sebenernya dia memang tidak nyaman dengan posisinya ini. Dia rasa dia ingin pulang sekarang. "Oh gitu ... Hahaha kamu santai aja. Biasanya banyak juga kok yang Mario ajak ke rumah tapi emang enggak pada pendiem kayak kamu sih. Rata-rata yang dibawa ya pakaiannya enggak kayak kamu gitu." Perkataan Dian seakan sedikit menyinggungnya. Apa dirinya tidak pantas untuk ada di keluarga ini. "Mama ah udah. Lagian itu udah masa lalu aku mau berubah udah mau serius aja sekarang sama cewe. Kasihan mainin cewe mulu." Veni menengok ke arah Mario dengan pandangan serius. Apa benar Mario akan serius dengannya atau dia hanya dijadikan wanita yang sudah-sudah. "Kenapa, Ven?" tanya Mario melirik ke arah sampingnya. Veni pun menggelengkan kepalanya. "Udah ngobrolnya nanti lagi makanannya udah siap semua ini mending kita makan sekarang," ucap Dian menyuruh kita makan. Veni hanya mengangguk. Mario mengambilkan piring untuk Veni dan beberapa lauk. Veni hanya tersenyum dan mengucapkan terimakasih karena sudah diambilkan makanan. "Ah, Mama jadi iri sama keromantisan kalian. Padahal, dulu perasaan Mario enggak pernah Manis banget kayak gini," ucap Dian lagi. "Udahlah, Ma enggak usah bahas yang dulu-dulu toh sekarang aku 'kan udah sama Veni buat ke arah serius. Nanti calon aku jadi cemburu kalau Mama bahas yang dulu-dulu," ucap Mario lagi. "Oiya ya. Yaudah nanti kita ngobrol lagi sekarang kita makan aja." Veni hanya mengangguk dan tersenyum lagian dia mau berbicara apa lagi. Mereka pun makan dalam hening, Mario tersenyum dalam hati. Pasti Mamanya juga merasa kaget saat dia benar-benar menyebalkan Venita sebagai calon istrinya. Karena Mamanya tahu dirinya hanya suka memainkan perasaan wanita. Termasuk, Veni. Walaupun dia akan menikahi Veni tapi tetap saja Pernikahannya hanya untuk balas dendam karena Kakaknya selalu mendapatkan apa yang dia mau tidak seperti dirinya harus mengalah. *** "Oh jadi pertemuan kalian cuma sebentar banget ya?" ucap Mamanya. Kini mereka sedang ada di ruang keluarga membahas hubungan mereka. "Terus, Veni kamu yakin mau menikah dengan anak saya? Soalnya saya lihat-lihat kamu wanita yang baik-baik. Apa enggak masalah kamu nikah dengan anak saya padahal kalian baru kenal?" tanya Dian kepada Veni kali ini. Veni juga bingung sebenarnya. Tapi, lusa kemarin dia sudah terlanjur menjawab kalau dia akan mencoba dekat walaupun belum tentu ke arah sana. Tapi, dari dulu dia sudah mengatakan dalam hati jika memang dia hanya akan bermain ke rumah pihak laki-laki jika itu calon suaminya. "Inshallah saya yakin, Tante. Walaupun, jujur saja saya juga masih merasa bingung harus bagaimana karena kita memang baru kenal." "Kalau kamu bingung kenapa kamu lanjutin?" "Karena Mario memaksa saya untuk menerima bahkan dia lebih dulu meminta izin kepada kedua orang tua saya." Dian semakin mengerutkan keningnya bingung. Ada apa dengan anaknya itu. "Mario kamu yakin bakal nikah dengan Veni? Kamu enggak ada niatan mainin dia 'kan? Dia kelihatannya anak baik-baik, Mar jangan kamu mainin dia." "Mama apaan sih ya aku serius lah. Emang, Mama enggak mau lihat aku nikah atau Mama emang cuma seneng lihat Kak Marvel aja yang nikah?" tanya Mario dengan nada yang menurut Veni seperti tidak suka. "Bukan gitu maksud, Mama tapi—" "Assalamualaikum," ucap seseorang membuat mereka menengok ke belakang. "Waalaikumsalam, Eh Bhiya...." Veni melihat laki-laki dan perempuan yang datang. Dan Veni juga melihat betapa Dian sangat antusias melihat kedatangan mereka. Veni lalu beralih melihat ke Mario. Veni sangat peka terlihat sekali Mario mendengus dan seperti tidak suka dengan kehadiran mereka. "Oh ada tamu ya," ucap Wanita yang Veni dengar tadi bernama Bhiya. "Iya nih ada cewenya Mario dateng. Sini ayo kamu duduk. Gimana kandungan kamu sehat?" tanya Dian dengan ramah dan membawa Bhiya duduk di sofa. "Alhamdulillah, Ma. Oiya aku ke sini mau nganterin bolu s**u kesukaan, Mama tadi kebetulan aku lagi pengen terus aku bilang sama Mas Marvel suruh anterin beliin." Bhiya memberikan bolu s**u itu kepada mertuanya. "Iya, Ma tadi aku baru selesai rapat langsung buruan dateng ke kantornya aku kira ada apa soalnya enggak bilang ada apanya suruh buruan aja jemput ke kantornya," ucap Marvel. Bhiya terkekeh saat suaminya mengadu kepada Mamanya. "Ya enggak papa dong, kamu juga jadi suami emang harus sigap kalau istri kamu hamil kayak Papa kalian dulu sigap kalau Mama minta apa-apa." "Tuh, Mama juga bela aku 'kan," ucap Bhiya. Mario merasa kesal setengah mati. Melihat kedatangan Kakak dan mantan pacarnya malah membuat dirinya dan Veni dilupakan begitu saja. Dari dulu Mario pasti akan selalu merasa tersingkir dengan Kakaknya. "Oh iya ini siapa?" tanya Bhiya lagi. Mario berusaha untuk menetralkan perasaan yang sempat benar-benar kacau melihat mereka datang. "Calon istri gue," ucap Mario menyerobot. Bhiya dan Marvel pun saling pandang dan kemudian melihat ke arah Mario dengan tidak percaya. "Kenapa kalian ngelihatin gue gitu banget." "Cepet banget dapet cewe perasaan baru kemaren—" "Ya emang yang mau nikah lo doang, Kak?" saut Mario lagi sebelum Kakaknya itu melanjutkan ucapannya. "Ya bukan gitu." Marvel pun terpaksa mengalah dan tidak melanjutkan ucapannya. "Halo ... kenalin aku Shabiya kakak ipar Mario," ucap Shabiya ramah sambil mengulurkan tangannya kepada Veni. Mario tersenyum sinis. Dia tidak terima dengan sebutan kakak ipar padahal seharusnya dia adalah suaminya bukan kakak ipar. "Veni," jawab Veni kikuk. "Namanya cantik kayak wajahnya. Oiya kenalin ini suami aku Marvel," ucap Shabiya mengenalkan suaminya itu. "Veni." "Marvel." Setelah mereka berkenalan Mamanya lanjut lagi bertanya kepada Mario. "Mario kamu beneran mau nikah sama Veni?" "Eh, Veni mau deket dulu kok, Tan." "Udahlah sayang kita enggak usah kelamaan deket kamu mau kebanyakan Zina? Aku serius mau nikah sama kamu." Mario langsung saja merangkul bahu Veni tapi Veni langsung bergeser sehingga Mario tidak jadi merangkulnya. "Mario kamu yakin? Kelihatannya Veni belum siap kayak gitu. Kamu masa mau maksa dia," ucap Marvel lagi. "Lo tahu apa sih Kak soal maksa. Lagian gue mau berubah aja biar serius sama satu cewe aja kok." Veni semakin bingung dengan hal ini. Terlihat hubungan Mario dengan Marvel sama sekali tidak baik. "Apa yang diucapkan Mas Marvel bener, Mar. Kalau Veni enggak mau buru-buru masa kamu maksa." Bhiya kini ikut bersuara membela suaminya. "Ven emang kamu mau lama-lama deket? Enggak takut dosa? Terus nanti temen-temen kamu kalau—" "Mar udah," ucap Veni memotong ucapan Mario. Dia hanya tidak ingin ada keributan sedangkan dia baru datang di keluarga ini. "Veni, Tante sebenernya enggak maksa atau bukan berarti Tante enggak suka kalau kamu emang merasa keberatan mending kamu enggak usah nerima tawaran Mario." "Mama apaan sih. Mau ngehasut Veni biar enggak nerima aku gitu?! Oh iya anak kesayangan Mama 'kan cuma Marvel sih ya jadi wajar aja kalau Mama enggak pernah support pilihan aku. Veni ayo pulang," ucap Mario menarik Veni untuk ke luar dari sini. Mario sudah cukup muak dengan mereka semua. "Mario tunggu maksud Mama bukan kayak gitu, nak," ucap Dian lagi. Mario pun tidak peduli. Setelah itu dia tetap membawa Veni ke luar. "Biar aku aja yang ngomong sama Mario, Ma, Bhiy. Kalian di sini aja." Marvel pun menyusul mereka berdua yang pergi. Mario membawa Veni dengan perasaan kesal, "Mar kamu apa-apaan sih. Aku belum pamit sama Mama kamu." "Udah enggak usah." "Mario tapikan." "Udah kamu enggak perlu ambil pusing, Ven. Aku yang malah ngerasa enggak enak karna hal ini." "Mario tunggu," panggil Marvel. Mario pun memutar tubuhnya sambil Veni tetap berada di gandengannya. "Apalagi? Mau marah sama gue lagi? Mau ikut campur dan enggak setuju gue nikah sama Veni?" "Mar lo kan udah dewasa kita bisa bicarain ini baik-baik, Mar. Jangan kayak gini katanya kamu mau nikah tapi kelakuan kamu masih aja kayak anak kecil." Veni hanya diam saja tidak tahu harus berkata apa. "Terus mau lo apa? Mau bikin Veni enggak suka sama gue atau lo mau bikin semua cewe takut sama gue. Atau mau apa sih mau lo sebenernya. Lo enggak suka adek lo bahagia?" tanya Mario lagi. "Yo gue tahu lo masih marah sama gue. Tapi, kita udah sama-sama dewasa masa lo mau nyimpen dendam terus." "Gue enggak dendam sama lo. Lo nya aja yang enggak suka ngelihat gue bahagia sama pilihan gue makanya lo berusaha untuk buat calon gue takut kan termasuk Veni?" "Astaga sama sekali enggak, Yo. Mana ada kakak yang enggak mau lihat adeknya bahagia. Gue juga mau lihat lo bahagia. Cuma gue mau lo beneran ngucapin hal itu. Jangan buat anak orang tersakiti, Mar." Mario hanya memutar bola matanya malas mendengar ucapan Kakaknya. Sampai kapan dia harus menahan ini semua. Dia sungguh tidak nyaman. "Ven kamu boleh ke mobil nanti aku susul. Aku mau nyelesain ini dulu sama Kakakku," ucap Mario lagi. Satu sisi Veni merasa lega karena tidak harus ikut campur dengan urusan mereka apalagi dia juga baru masuk ke keluarga mereka yang entah ada masalah apa di antara mereka. Tapi, satu sisi juga dia penasaran tapi yasudahlah lah dia lebih baik menuruti ucapan Mario. "Iya." Jawaban singkat itu Veni lontarkan dan segera untuk ke luar meninggalkan mereka berdua. Setelah itu, Veni tidak tahu lagi apa yang mereka bicarakan. *** "Mario gue tahu lo masih marah sama gue karena nikah sama Shabiya 'kan? Terus sekarang lo cari pelampiasan lain dengan nikahin orang lain." "Kata siapa gue marah? Gue emang mau nikah sama Veni emang masalah?" "Gue kenal lo lama, Mar. Mana mungkin lo langsung nikahin cewe sedangkan Mama bilang kalian baru kenal." "Inget ya, Vel. Lo hanya tahu berdasarkan apa yang lo tahu aja. Jadi, enggak usah seakan-akan lo tahu semuanya tentang gue. Ngerti lo!" Setelah mengucapkan hal tersebut Mario langsung menyusul Veni ke luar. Marvel hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan adiknya itu. *** Mario berusaha untuk mengubah mimik wajahnya menjadi hangat kepada Veni. Dia tersenyum saat melihat Veni. Tapi, seperti biasa Veni hanya mendapatkan wajahnya. "Maaf ya nunggu lama," ucap Mario lalu masuk ke dalam mobil. "Hm." Veni malas banyak bicara. Walaupun, dia sebenernya ingin bertanya ada masalah apa sebenarnya di antara mereka berdua. Bukankan mereka berdua kakak beradik tapi kenapa terlihat hubungan mereka tidak baik. "Kenapa kamu ngelihatin aku? Aku ganteng ya?" ucap Mario dengan percaya dirinya. Veni langsung membuang mukanya ke arah jendela. "Ven, masalah tadi kamu enggak usah pikirin ya. Mama pasti restuin kita kok. Dan soal Kakak gue. Lo pasti tahu lah Kakak gue cuma enggak mau adeknya mainin cewe lagi. Tapi, beneran deh, Ven gue enggak pernah beneran serius sama cewe sampai segininya. Dan cuma elo yang gue perlakuin kayak gini karena gue beneran sayang sama lo." Veni meneguk air liurnta. Apakah benar Mario sayang sama dirinya. Hatinya masih ragu dengan hal itu. Sedangkan Mario yang notabennya sudah biasa merayu wanita bukan hal sulit untuk dirinya berkata manis. Terlihat pula Veni yang sepertinya termakan oleh ucapan rayuannya. "Sorry, Ven karena lo gue jadiin alat buat bales dendam Bhiya karena milih nikah sama Kakak gue. Tapi, setelah ini gue bakal lepasin lo kalau Bhiya berhasil gur taklukin lagi," batin Mario tersenyum penuh arti. "Udah buruan jalan enggak usah kebanyakan gombal. Kamu pikir saya bakal luluh sama gombalan kamu," ucap Veni ketus. "Hahaha ... enggak gombal, Ven itu tulus dari hati yang paling dalam...." "Buruan jalan atau gue turun dan pulang jalan kaki," ancam Veni. "Iya-iya ini pulang. Hobi banget ngancem heran deh gue," saut Mario tapi tidak dipedulikan oleh Veni. Mario lantas membawa mobilnya untuk mengantarkan Veni pulang ke rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD