“La ….” Nala mendengar suara Elmira memanggilnya. Gadis itu sontak menolah lalu menghambur ke dalam pelukan sahabatnya. Tangis yang sudah ditahan sejak tadi akhirnya pecah juga. Ia menangis pilu di pundak Elmira sambil memeluknya dengan erat, seolah hanya tubuh gadis itu yang menjadi pegangannya saat ini.
“Mir, Pa—Papa per … gi ning—ninggalin aku.” Bahkan hanya untuk mengucapkan kalimat pendek itu, Nala harus berusaha keras. “Papa ng—nggak ada sakit, Mir, ta—tapi kenapa Papa nggak bangun-bangun lagi.” Nala berbicara terbata-bata sebelum terisak semakin keras.
Nala mengeratkan pelukannya pada tubuh Elmira, menumpahkan seluruh kesedihan dan air matanya di pundak gadis itu. Mulai saat ini, ia sudah tidak punya siapa-siapa lagi, selain Elmira—sahabat yang sudah menemaninya sejak SMP.
Elmira mengelus bagian belakang kepala Nala. “La, udah, La,” bisik gadis itu di telinga Nala. Ada kesedihan yang terdengar jelas di dalam nada suaranya. “Papa pasti sedih di atas sana kalau lihat kamu begini,” lanjut Elmira menenangkan sahabatnya. Namun, bukannya mereda, tangisan Nala malah semakin kencang.
Meskipun samar, tetapi indra penglihatan Nala masih mampu menangkap sosok Edgar dan Artemia—orang tua Elmira berjalan mendekat ke mereka. Nala sudah menganggap Mia seperti ibunya sendiri. Seketika ia berpindah memeluk wanita setengah baya itu ketika berdiri bersisian dengan putrinya, Elmira.
“Papa udah nggak ada, Tan,” bisik Nala yang kembali terisak, padahal gadis itu sudah sempat sedikit tenang sebelumnya.
Mia mengusap punggung sahabat putrinya, menyalurkan ketenangan pada gadis itu. “Bersedih dan nangis boleh, tapi jangan sampai seperti ini, Nak. Papa kamu pasti akan sedih kalau lihat putrinya begini dari atas sana,” bisik Mia kemudian membantu mengusap air mata di kedua pipi Nala. Ia menatap tepat di manik mata gadis itu dan menemukan kesedihan yang mendalam di sana.
“Nala sendirian sekarang, Tante. Nala nggak punya siapa-siapa lagi,” kata Nala dengan sesegukan.
Kedua mata Artemia dan Elmira terasa panas. Sepasang ibu dan anak itu dapat merasakan betapa hancurnya Nala atas kepergian ayahnya.
“Kamu nggak sendiri, Nak. Ada Tante, Om, Elmira, dan Devgan yang akan menemani kamu,” bisik Mia sebelum menarik Nala kembali masuk ke dalam pelukannya yang hangat.
Setelah acara pemakaman Reno, Edgar dan Mia memboyong Nala ke rumahnya. Sepasang suami istri itu duduk mengapit Nala di antara mereka. Tangan Mia melingkupi punggung tangan Nala, seolah menyalurkan kekuatan pada gadis itu.
“Kami di sini, Nak,” bisik Mia. “Kami selalu di sini sama kamu. Kamu nggak akan sendirian,” tambah wanita setengah baya itu.
“Om tahu, berat rasanya ditinggalkan oleh orang tua, tapi kamu harus ingat, Nala … bahwa semua yang ada di dunia ini tidak kekal. Semua akan kembali ke penciptanya dan kita tidak bisa menepis takdir tersebut,” ujar Edgar sambil mengusap pundak kepala Nala.
Nala yang sedari tadi menunduk akhirnya mendongak sambil mengusap air matanya yang kembali berhamburan keluar. Meski sulit, tetapi gadis itu tetap memaksakan untuk tersenyum pada Edgar dan Mia yang berada di sisinya.
“Kamu boleh menangis kapanpun, tapi setiap kali kamu menangis, ingat untuk berdoa dan mengikhlaskan Papamu. Doakan beliau agar tenang dan ditempatkan di sisi-Nya,” bisik Edgar sebelum menarik Nala masuk ke dalam pelukannya, berharap dapat menenangkan gadis itu, meskipun sedikit.
*
Sudah dua hari berlalu sejak ayahnya dimakamkan. Sejak saat itu juga Nala merasa dirinya sudah tidak berdaya dan tidak lagi memiliki semangat untuk melanjutkan hidup. Kini gadis itu sedang duduk di ujung tempat tidur sang ayah dan menatap pada foto pernikahan kedua orang tuanya yang tergantung di dinding seberang.
Lagi-lagi tanpa bisa dicegah, bulir bening meluncur dengan begitu lancang dari kedua matanya. Gadis itu kembali terisak di tempat, sementara tangannya memeluk salah satu kemeja Reno yang diambil dari lemari, membaui aroma khas dari parfum yang digunakan sang ayah sehari-hari.
Semakin lama, isakan Nala berubah menjadi raungan pilu yang menyakitkan. Siapapun yang mendengar suara itu akan turut merasakan kepedihan yang sedang dirasakan olehnya.
Entah berapa lama Nala larut dalam kesedihannya sampai suara bel rumah terdengar dan menginterupsi aktivitasnya. Gadis itu buru-buru menghapus air matanya kemudian keluar dari kamar untuk menuju ke pintu utama.
Begitu pintu terbuka, indra penglihatan Nala langsung menemukan sosok Elmira yang berdiri di depan pintu sambil membawa beberapa kantong plastik di tangannya.
“Mir …?” gumam Nala.
“Aku boleh masuk?” Elmira bertanya.
Nala mengangguk kemudian menggeser sedikit tubuhnya, memberikan akses masuk ke dalam rumah untuk Elmira. Gadis itu mengikuti langkah Elmira menuju ruang makan.
“Nangis lagi?” tebak Elmira. Namun, belum sempat Nala menjawab, gadis itu sudah lebih dulu melanjutkan ucapannya. “Aku bawain makanan kesukaan kamu loh,” kata Elmira sambil meletakkan kantong plastik yang ada di tangannya ke atas meja makan.
“Makasih, ya, Mir,” bisik Nala dengan suara serak.
“Yuk, kita makan,” ajak Elmira yang sudah membuka salah satu kotak berbahan mika. Aroma makanan langsung menguar ke seluruh penjuru ruangan, tetapi sayangnya belum mampu menggugah selera Nala.
Nala menggeleng, menolak ajakan Elmira kemudian berkata, “Aku lagi nggak nafsu makan, Mir. Kamu aja, ya.”
Elmira balas menggeleng. “Kamu harus makan, walaupun sedikit. Kapan terakhir kamu makan?” tanya gadis itu.
Pundak Nala mengendik. Jujur saja dia sendiri juga sudah tidak ingat kapan terakhir kali makanan masuk ke dalam perutnya.
Tangan Elmira terangkat untuk menepuk pundak Nala beberapa kali. “Aku tahu ini nggak mudah, tapi setidaknya kamu jangan sampai sakit, La,” ujar gadis itu memberi pengertian.
Pada akhirnya, Nala pun setuju untuk makan malam bersama Elmira di ruang tamu. Keduanya duduk saling bersisian dan menghadap ke arah televisi yang menyala. Elmira berharap bahan tontonan di depan sana dapat membuat Nala sedikit melupakan kesedihannya. Namun, sayangnya baru suapan pertama masuk ke dalam perut Nala, tangis gadis itu kembali pecah.
Elmira buru-buru mengambil alih piring yang ada di tangan Nala, takut-takut benda itu jatuh mengotori sofa dan pakaian gadis itu jika ia tidak mengamankannya lebih dulu. Elmira menarik tubuh Nala ke dalam pelukannya, memberi kekuatan pada gadis itu. Namun, bukannya mereda, tangis Nala malah semakin kencang dan berubah menjadi raungan.
“A—aku … aku udah nggak kuat, Mir,” bisik Nala terbata-bata. “Aku nggak mau di sini lagi. Aku mau ikut Mama sama Papa,” tambah gadis itu.
Tangan Elmira terangkat, menepuk-nepuk punggung Nala sambil berbisik, “Nggak boleh ngomong gitu, La.” Gadis itu melanjutkan, “Ingat … ada Tuhanmu, ada aku. Ada Papa, Mama, dan Mas Devgan. Kamu nggak sendiri, Nala.”
“Ak—aku mau ikut aja sama orang tuaku, Mir. Udah nggak a—ada artinya aku hi—hidup di dunia ini.”
Elmira semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Nala, seolah takut jika gadis itu benar-benar pergi meninggalkannya. “Jangan mengeraskan hatimu. Tuhan memberikan ujian berupa kehilangan pada kita pasti ada alasan di baliknya. Ikhlaskan, Nala, biar Papamu tenang di atas sana.”