BERTEMU

1117 Words
Bimo Walau berat hati, aku meminjamkan satu dari tiga raket yang kubawa padanya. Trauma dan tidak ikhlas dengan raket patahku beberapa minggu yang lalu adalah penyebabnya. Masih jelas diingatanku bagaimana wanita ini mematahkan raket berhargaku. Santai sekali dia juga mengatakan akan menggantinya. Ya, dia menggantinya tetapi dengan uang 100 ribu yang bahkan membeli sarung raketku saja tidak cukup. Namun aku mencoba menenangkan diriku sendiri dengan berpikir "nggak apa-apa lo make raket gue, toh gue yang bakal ngelatih lo, jadi sekalian bisa ngawasin raket itu..." ***** "Nggak gituuu..." ucapku sedikit geram karena wanita ini masih selalu saja menunjukkan posisi dan gerakan yang salah. Aku rasa selesai latihan harus langsung memeriksa tekanan darahku. Rasanya kepalaku hampir pecah karena tekanan darah tinggi tidak terkendali selama mengajarinya. "Salah lagi ya gue? Yang bener gimana? Ajarin donggg..." ucapnya dengan raut tanpa rasa bersalah sama sekali. "Lah daritadi ini gue ngapain kalau bukan ngajarin lo?" jawabku kesal tetapi tetap memperbaiki posisinya. "Oke ajarin lagi deh... kali ini pasti gue inget..." ucapnya lagi dan membuatku tidak bisa menolak karena... karena... ya begitulah. Wajahnya terlihat bersungguh-sungguh. Walau jelas dia tidak memiliki pengalaman sama sekali dalam olahraga ini, tetapi kesungguhan yang terpancar pada wajahnya membuat siapapun pasti mau diminta mengajarinya. Hanya saja memang kemampuan belajarnya yang rendah atau daya tangkapnya yang mendekati nol. Lagi dan lagi dia terus membuat kesalahan. Dia sempat menjelaskan bahwa dia mudah lapar jika belajar dan kalau lapar dia makin susah belajar. Penjelasan yang cuma muter-muter di situ saja kan? Suasana latihanku dengannya pun semakin membuat tidak nyaman. Penyebabnya adalah aku yang terbawa suasana malah secara tidak langsung baru saja menjamah bagian tubuhnya yang berlekuk. Baju pas badan yang dikenakannya memang sudah sejak tadi membuatku hilang fokus. Bagian dadanya tercetak jelas, walau pakaian itu menutupi leher dan lengannya rapat-rapat. Bodohnya aku terbawa suasana dan malah memanfaatkan kesempatan untuk menurunkan posisi tangannya sebagai kesempatan untuk memetakan lekuk dadanya yang menantang. Kesabaranku hampir habis, jika saja anjuran untuk mencukupkan latihan tidak segera terdengar. Akhirnya, waktu latihan pun dicukupkan oleh Bang Yuda dan membuat kami semua kini berada di pinggir lapangan untuk mencari nafas. Akan tetapi, tidak dengan wanita itu. Siapa namanya? Anita. Ya, Bang Yuda memanggil Anita untuk memeriksa pemahaman hasil latihannya. Saat Anita berdiri dan berjalan ke tengah lapangan, otomatis kami semua yang berada di pinggir lapangan melihat celana putihnya yang sudah dipenuhi bercak merah. "Eh Anitaaaaaa... celana looo..." ucap satu-satunya wanita selain Anita di sini. Aku segera mengambil kemeja kuliahku tadi pagi di tas. Secepat kilat aku mengikatkannya pada pinggang wanita itu. Setelah berpamitan dengan Bang Yuda, aku pun membawanya keluar dari arena latihan. ***** "Lo pulang biasanya gimana?" tanyaku sambil masih menarik tangannya. Tidak ada jawaban, aku pun berhenti melangkah dan memutar tubuhku untuk melihatnya. Wajahnya pucat dan kebingungan. "Lo kenapa? Perutnya nyeri? Biasa minum apa kalau lagi datang bulan? Mau cari itu dulu?" pertanyaan beruntun kulontarkan padanya. Wanita itu masih belum menjawab. Dia malah mengarahkan pandangannya pada genggaman tanganku di pergelangan tangannya kini. Sadar aku sejak tadi masih menggenggam tangannya, mendadak membuatku melepaskan genggaman itu. "Sorry... keterusan..." ucapku. "Hiksss... huaaaa..." dia menangis tanpa aba-aba. "Eh kenapa jadi nangis sih?" aku panik menghadapi wanita yang menangis di depanku dekat dengan tempat parkir kampus. Pasti akan banyak orang yang curiga dengan kondisi ini. Orang akan mengira aku yang membuatnya menangis. Atau lebih parahnha, orang bisa mengira aku memaksanya oergi denganku karena posisi kami yang dekat dengan tempat parkir. "Huaaa gue keinget waktu lo nyelametin gue waktu itu... Huaaa kalau nggak ada lo, pasti... pasti... gue udah diapa-apain sama cowok-cowok b******k itu... Huaaaa..." Anita menjelaskan dan membuatku memahami bahwa dia sedang mengalami mood swing efek datang bulan juga. "Astaga gue kira kenapa... udah udah jangan inget-inget pengalaman buruk lagi... lagian muka lo pucet... mending pulang deh sekarang..." aku mencoba menenangkan sambil menepuk pelan puncak kepalanya dari jarak aman. "Gue pulang naik apa dong? Hikss... mana celana gue tembus gini lagi..." kembali wanita ini merengek walau suaranya mulai melemah. "Naik taksi aja... gue anterin ke depan kampus nyari taksi..." tawarku. "Nggak mau ah... kasian supir taksinya nanti joknya kotor gara-gara gue... hiksss emang gue nih bikin masalah melulu..." lagi masih merengek. "Yaudah naik motor gue aja? Mau nggak lo? Gue anterin ke rumah." Aku memberikan tawaran lain. Mendadak dia mengangkat wajahnya dengan raut yang lebih baik, sepertinya aku salah memberikan penawaran. "Mau..." ucapnya sambil mengangguk-angguk kuat. "Eh tapi gue minta ganti rugi ya... uang cuci motor... jok gue kan juga jadi kotor..." aku mengucap asal agar wanita ini batal menerima tawaranku. "Oke... 100 ribu kan?" tanyanya sambil merogoh tas dan mengeluarkan selembar uang berwarna merah. "Ini..." katanya sambil menyerahkan uang itu langsung ke telapak tanganku. De-javu... Anita dan uang 100 ribu... "Kebanyakan..." ucapku masih tidak habis pikir dengan sosok wanita yang ada di hadapanku kini. "Nggak apa-apa... Sekalian untuk anter-jemput yang berikut-berikutnya..." jawabnya dan membuat mulutku ternganga. ***** "Udah sampe..." ucapnya setelah perjalanan selama 15 menit yang menghantarkan motorku berhenti di depan sebuah bangunan bertingkat. "Ini kos-kosan kan? Lo ngekos?" tanyaku keceplosan. Aku sebenarnya tidak ingin terlalu banyak bertanya dan membuat wanita ini mengira aku ada maksud lain padanya. Tetapi mulutku yang terbiasa bertanya-tanya untuk diagnosa pasien sult kukendalikan. "Iya baru satu minggu Kak..." jawabnya. "Emang asal lo dari luar kota?" Lagi mulut ini bertanya di luar kendali. "Nggak... tapi gue mau coba hidup mandiri... mau mampir dulu Kak?" tanyanya lagi. Sebelum keluar jawaban yang tidak terkendali lagi, aku langsung menghidupkan motorku dan berpamitan "Gue balik ya..." Aneh, rasanya wanita itu seperti magnet beda kutub denganku. Selalu saja ada alasan untuk aku ingin mendekat padanya. Padahal aku tidak pernah memikirkan wanita sebelumnya. Tapi sekarang bukan wanita malah Anita yang membuatku kesulitan mengendalikan diri. ***** Keesokan harinya.... "Lo ngambil mata kuliah umum kan semester ini bro?" tanya Jerry salah satu teman sekelasku saat kami tidak sengaja bertemu di parkiran. "Iya... lo juga?" tanyaku kembali. "Iya gue ngulang... Kalau lo emang belum ngambil kan?" kembali dia bertanya. "Iya gue belum ngambil dulu... Oh ayo deh ke kelas. Entar telat kita baru pertemuan pertama..." ajakku. Sambil duduk menunggu perkuliahan yang belum mulai, kami pun mengobrol. "Jerr lo kenapa ngulang? Ujiannya susah atau dosennya pelit nilai?" tanyaku penasaran karena Jerry tergolong salah satu mahasiswa cerdas di kelasku. "Gue keseringan telat, jadi dianggep nggak masuk, ya otiomatis E deh..." jelasnya. "Intinya... jangan sampe lo masuk setelah dia selesai absen... tamat riwayat lo..." kembali Jerry berkata sebelum terpotong oleh kedatangan dosen mata kuliah ini. "Selamat pagi... Kelas saya memiliki beberapa peraturan yang harus diikuti jika ingin lulus..." dosen itu mulai menjelaskan peraturan dan kontrak kuliahnya. "Terakhir, saya tidak ada toleransi keterlambatan..." ucap dosen itu bertepatan dengan pintu ruang kelas yang terbuka. "Maaf Pak... saya terlambat..." ucap dia, si magnet kutub berlawananku. Seperti disengaja, kembali kami bertemu. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD