Bab 1 - Pertemuan kedua dan Pernikahan

1204 Words
Mama terus menatapku dengan senyuman lebar. Wajahnya terlihat begitu berseri dengan mata berbinar. Tak pernah aku melihat beliau seperti ini sebelumnya. Mama bahagia, impiannya menikahkanku dan putra sahabatnya sejak SMA. Padahal, rencana awalnya beliau membawaku hanya untuk menjenguk Tante Ambar, namun begitu melihat sahabat belia berada dalam kondisi kritis. Pemikiran untuk menikahkanku dengan putra sahabatnya itu tercetus begitu saja. Aku terdiam, menghela napasku dalam, berusaha menyembunyikan perasaan di balik senyum tipis yang kupaksakan. Rasa takut itu kembali menyelinap. Membayangkan aku akan menikah dengan pria yang baru pertama kali kutemui membuatku ragu. Terlebih, menikah muda tak pernah ada dalam kamus hidupku sebelumnya. Aku masih ingin menjalani masa mudaku. Menyelesaikan pendidikan S1 yang sedang aku jalani, melanjutkan pendidikan S2 di Ivy League University dengan predikat c*m Laude, bekerja di perusahaan dengan posisi strategis, baru setelah itu aku akan berpikir untuk menikah dan memiliki anak. Rencana masa depan itu sudah aku rancang dengan begitu matang, sebelum akhirnya berantakan saat mendengar permintaan mama untuk menikah dengan Alfian. Ya ... Alfian. Nama pria tampan dengan iris mata abu-abu yang mama jodohkan denganku. Pria dengan tatapan dingin yang menusuk sehingga membuatku bergedik ngeri saat membayangkan pria itu akan menjadi suami dan ayah dari anak-anakku kelak. Ingin rasanya aku menangis, berlari keluar dari tempat ini dan menolak perjodohan ini, namun saat merasakan hangat dan lembutnya usapan mama pada punggung tanganku dengan tatapan penuh binar membuatku mengurungkan niat. Aku tak mampu menolak dan kembali menjadi anak yang penurut. Rasanya aku menyesal untuk selalu menjadi anak yang baik dan menuruti perintah mama, tapi aku juga tak ingin menjadi pria pembangkang yang bisa melawan permintaan tak masuk akal ini. Namun, aku tak berdaya hanya bisa melangkah ragu menuju ruang perawatan Tante Ambar. Papa menatapku dalam, seolah memintaku untuk memikirkan hal ini kembali. Aku hanya bisa tersenyum simpul dan memberi tahu Papa bahwa ini adalah keputusan terbaikku, Mungkin. Papa melihatku dalam, seolah dari tatapannya, beliau memintaku untuk memikirkan kembali dan menolak permintaan mama. Ya... pernikahan ini memang bukan paksaan, aku masih bisa menolaknya. Tapi begitu melihat Tante Ambar terbaring lemah dan menginginkanku untuk menikah dengan anaknya membuatku teringat mama. Bagaimana jika mama yang berada di posisi Tante Ambar ? Bisakah aku menolak permintaan Beliau yang bisa saja menjadi permintaan terakhir beliau. Aku menghentikan langkah, menatap pantulan bayangan dari kaca hitam di depan ruang perawatan. Kebaya putih sederhana dengan rambut yang digelung modern sukses membuat tampilanku tampak berbeda. Bukan lagi Rani, yang hanya mengurai rambut dan hanya menggunakan compact powder serta Lip Tint untuk keseharianku ke kampus. "Kok melamun sih, sayang?" sapaan Mama yang sudah berada di dekatku membuatku menatap beliau. "Ayo masuk, biar bisa kita bisa menyelesaikan akad kalian lebih cepat, setelah ini Tante Ambar harus operasi katup jantung. " Aku mengangguk lemah, meminta mama untuk masuk terlebih dahulu. Aku perlu menata hati dan perasaanku, mempersiapkan diriku sejenak karena setelah keluar dari ruangan itu, aku akan berstatus istri orang. Helaan napasku terdengar dalam, berulang kali aku mengatur napasku sebelum akhirnya aku melangkah pelan memasuki ruangan itu. Langkahku terhenti saat merasakan semua orang di dalam ruangan itu menatapku. kuberanikan diri untuk menatap siapa saja yang ada di ruangan itu. Bapak-bapak tua dengan peci berwarna merah sedang duduk di sofa ruangan. Om Bimo, adik papa dan seseorang seumuran beliau, yang akan menjadi kedua saksi menatapku dengan senyum, sembari meneruskan pembicaraan singkat dengan papa dan Om Alex, ayah pria itu. Mama menatapku penuh binar kebahagiaan, begitu pula dengan Tante Ambar membuatku harus meyakini bahwa keputusan ini tepat untukku. Udara di sekitarku perlahan menipis membuat dadaku sesak saat pria bermata abu itu kembali menatapnya dingin. Wajah kakunya masih saja terlihat tampan ditambah lagi ia memakai peci berwarna hitam, membuat rambut ikalnya terlihat lebih rapi. Aku mencoba menarik napas dalam, guna mengisi penuh udara paru-paruku yang tiba-tiba kosong. Tatapan dingin dan datar yang ia perlihatkan membuatku kembali bimbang. Benarkah keputusanku untuk menerima perjodohan ini? Aku perlu menata perasaanku. Mempersiapkan diri karena setelah aku keluar dari ruangan ini, maka statusku yang lajang akan berubah menjadi istri orang. Perasaanku benar-benar tak karuan, beberapa kali aku menarik napasku dalam. Meyakinkan diri bahwa hal ini adalah yang paling terbaik untukku dan Mama tak mungkin akan mengecewakan anaknya dengan memberinya jodoh sembarangan. Papa mendekatiku, mengenggam tanganku dengan begitu erat. “Kalau kamu nggak yakin, kita bisa menunda atau bahkan membatalkan pernikahan ini,” ucapan yang Papa ucapkan hampir saja membuatku menangis. Namun aku coba tahan perasaanku dan tersenyum. “Rani nggak pernah bisa menolak permintaan mama, Pah. Terlebih melihat Tante Ambar seperti itu. Ini mungkin saja permintaan terakhir beliau mengingat kondisi beliau seperti itu.” Papa menarik napasnya dalam, mengangguk lalu menepuk punggung tanganku pelan. “Ayo,” ujar papa membuatku kembali mendekati tante Ambar. "Ayo masuk, sayang. Biar bisa kita mulai akadnya," pinta Tante Ambar lemah membuatku berjalan ke sisi beliau di mana pria bermata abu-abu itu berdiri kaku di sampingku. Udara di sekitarku perlahan mulai menipis sehingga rasa sesak begitu terasa begitu mata abu itu menatapku dengan dingin. Pria itu memang bukan seperti dalam pikirannya. Tak ada perut penuh gelambir yang harus dijodohkan karena tidak laku. Tapi tetap saja, Wajahnya yang kaku dan nampak tak berperasaan membuatku sedikit ketakutan. pria itu tak ayal seperti seorang pria dingin yang hidup dalam dunianya sendiri tanpa pernah memperdulikan orang lain. tatapannya seolah selalu membuat orang ketakutan. seperti yang dia berikan sekarang, tatapan dingin yang menusuk hati dan memberikan ketakutan yang teramat sangat. Aku memejamkan mata sejenak. Menarik napas dalam sebelum kemudian menundukan kepala pasrah. tak ada yang bisa mengubah semua ini, di satu sisi aku mempertaruhkan hidupku dengan menikah dengan pria itu. di satu sisi, aku merasa seperti menjadi orang yang paling berdosa jika menolak pernikahan ini hanya karena egoku yang begitu menggebu. aku memang masih belum menjadi putri yang baik, tapi setidaknya aku tak akan pernah mengecewakan kedua orang tuaku. "Bisa dimulai akadnya sekarang, pak," ucap tante Ambar pada pria tua yang duduk di sofa tadi membuatnya berdiri. Aku menutup mata, menetralkan perasaanku saat merasakan mama memasang kerudung putih yang menyatukan kepalaku dan kepala pria itu. Dadaku bergetar tak lama setelah aku kembali membuka mata dan melihat pria itu menjabat tangan Papa. "Saya terima nikah dan kawinnya Maharani Varisha binti Rajat Permana dengan mas kawin cincin emas seberat 7 gram, dibayar tunai." Teriakan kata 'Sah' yang membalas kalimat akad yang diucapkan Pria itu lantang membuat air mata yang sedari tadi aku tahan akhirnya keluar. Perasaanku campur aduk. Rasa takut akan hidup bersama dengan pria yang tak ku kenal merasuki hatiku. Aku tersentak saat mama memintaku untuk mencium tangan suamiku. Kata 'suami' membuat dadaku semakin bergemuruh. Perlahan, aku menatap ke wajahnya. Dia tersentak saat aku mengambil tangannya lalu mengecup tangan itu untuk pertama kalinya. Gemuruh di dadaku perlahan berhenti saat merasakan rasa hangat dari tangannya menyentuh keningku. Aku sudah menjadi istri sahnya. Akad nikah sederhana di ruang perawatan mamanya dan dengan Om dari pihakku dan pihaknya sendiri sebagai saksi. Pernikahan sederhana yang akhirnya merubah status di antara kami bukan lagi lajang melainkan sepasang suami istri. Kuberanikan diri menatap mata abu-abunya yang memandangiku. Aku menghela napas saat ia menjauhkan pandangannya. Aku mencoba untuk menerima pria itu sembari berharap pria bermata abu-abu yang baru dua kali kutemui ini adalah pasangan yang tepat untukku. Pria dingin yang akan berubah jadi hangat dengan seiringnya waktu dan akan membahagiakanku seumur hidup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD