"Kata kakak, kamu mau jadi desainer ya? Tapi, ayah dan ibu kamu tidak mengizinkan?" tanya Dea seraya menatap Zenith hangat.
Kedua wanita berbeda usia itu kini terlihat duduk bersama di balkon kamar hotel Dea, mereka terlihat sedang mengobrol santai. Sementara para pria dan anak-anak memilih bermain di dalam.
Zenith menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Iya, Kak. Daddy memaksa aku untuk meneruskan usahanya, bisa sih aku jadi desainer kalau mau menikah dengan pengusaha yang setara dengan Daddy."
Mendengar penjelasan gadis di hadapannya membuat Dea sedikitnya paham posisi gadis itu. Ia pernah berada di posisi Zenith, bedanya saat itu dirinya dipaksa menikah dengan Bagas.
"Apa kamu tidak ada keinginan untuk jadi seorang pebisnis saja? Menggantikan daddy mu, setelah semuanya terkontrol kamu juga bisa membagi waktu untuk latihan menjahit. Atau mungkin perusahaanmu bisa membuka anak cabang di bidang fashion," saran Dea.
"Sayangnya aku nggak sepintar itu, Kak. Aku sama sekali ngga punya bakat menjadi pengusaha atau pebisnis seperti daddy."
Dea yang mendengarnya menyunggingkan seulas senyum kecil, ia pun beranjak dari duduknya membuat Zenith menatap bingung.
"Mau ke mana, Kak?" tanya Zenith.
"Tunggu di sini sebentar, ya," ucap Dea seraya berlalu meninggalkan Zenith seorang diri.
Sementara Dea meninggalkan dirinya, lamunan Zenith dibuyarkan oleh seorang gadis kecil yang berjalan mengendap-endap menghampirinya.
Sadar akan kehadiran gadis kecil berusia kurang lebih empat tahun itu membuat Zenith menatapnya gemas.
"Halo, ayo ke sini!" panggil Zenith.
Terlihat gadis kecil dengan rambut yang dikepang dua itu melangkah ragu ke arah Zenith dan menundukkan kepalanya. "Ada apa, Aunty."
"No, Baby. Jangan panggil aunty, panggil aku kakak oke?" ucap Zenith seraya meringis mendengar panggilan yang diberikan gadis kecil itu. "What is your name?"
"Clalissa."
Kening Zenith mengernyit mendengar namanya. Clalissa? Nama yang aneh untuk gadis kecil secantik dia.
"Nama dia Clarissa, cuma dia masih belum tau ngomong r jadi ya gitu deh."
Dea yang baru datang memperjelas ucapan keponakannya yang belum pandai berkata r itu. Di tangannya terlihat ada sebuah tas hitam yang lumayan besar.
"Rissa kenapa tidak main dengan Sirius dan adik kembar?" tanya Dea pada keponakannya.
"Kak Iyus nda mau belmain dengan Lissa, jadi Lissa mau dengan aunty dan kakak cantik saja."
Ucapan Clarissa yang bernada khas anak kecil membuat Zenith menjadi gemas sendiri, ia pun membawa Clarissa pada pangkuannya dan menciumi pipi gembul anak itu.
"Clarissa ini anaknya Kak Dito," ucap Dea yang dijawab anggukkan kepala oleh Zenith.
"Ah, anaknya sangat menggemaskan," batin Zenith.
Pandangan Zenith kemudian teralihkan pada kegiatan yang tengah dilakukan oleh Dea. Wanita itu terlihat mengeluarkan beberapa peralatan yang sangat familiar di mata Zenith. Ada kertas pola, buku pola, meteran, pensil, penggaris dengan berbagai model, dan lain-lain.
"Kamu sudah pernah mencoba menggambar dengan buku pola?" tanya Dea seraya mendongakkan kepalanya menatap Zenith.
"Waktu di Indonesia beberapa kali aku membeli buku pola sih, cuma masih agak kaku kalau menggambar."
"Perhatikan caraku." Tangan Dea terlihat bergerak lincah di atas buku pola itu, dan cekatan menggambar sebuah desain gaun yang sederhana tetapi terlihat mewah bagi Zenith.
Mata Zenith bahkan tak berkedip satu kali pun melihat gerakan tangan idolanya itu di atas kertas, seolah Dea sudah sangat ahli dalam menggambar.
Hingga tak membutuhkan waktu lama bagi wanita itu untuk menyelesaikan gambarannya, membuat Zenith tambah mengidolakan wanita itu saja.
"Su—"
"Dea, Kak Dito ajak kita makan siang bareng. Siap-siap katanya," ucap Bagas yang datang tiba-tiba memotong percakapannya dengan Zenith.
"Oke, kamu gantiin baju Iyus dulu, ya. Nanti aku yang urus si kembar." Pandangan Dea beralih pada Zenith. "Ini buat kamu aja alat-alatnya, kapan kapan kalau aku masih di Los Angeles aku bakal ajarin kamu lagi."
Dengan tangan bergetar Zenith meraih tas berisi alat-alat mendesain dan menjahit itu, ia tak menyangka jika Dea akan begitu baik hati padanya. "ini beneran Kak? Aku seperti merasa bermimpi."
Dea tak bisa menahan senyumannya untuk tak terbit mendengar ucapan Zenith. "Ini beneran, oh iya ini kartu nama aku. Kamu kalau ada apa-apa hubungin aku, ya. Aku udah anggap kamu seperti adik aku sendiri loh." Wanita itu menyerahkannya selembar kartu nama pada Zenith.
Tak lama kemudian, wajah Dito muncul bertepatan dengan Dea yang beranjak dari duduknya. "Cil, ikut kita makan siang dulu, ya? Nanti saya antar pulang habis makan siang."
"Kak, kok manggilnya kayak gitu sih? Apa jangan-jangan panggilan spesial nih?" goda Dea seraya menaik-turunkan alisnya.
Sementara Dito yang mendengarnya hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Bukan itu. Gue gak tau namanya siapa...."
Kedua mata Dea membulat sempurna mendengar ucapan kakaknya barusan, bahkan tangan wanita itu sudah gatal hendak memukul kakaknya saat ini.
"Nama aku Zenith, Om," celetuk Zenith, terdengar ada rasa kesal di ucapan gadis itu.
"Eum, oke Zenith. Kamu mau kan ikut makan siang sama kami?" tanya Dito.
Zenith terlihat berpikir sejenak, hingga ia merasakan bajunya ditarik dari bawah. Gadis itu pun menundukkan kepalanya dan menatap Clarissa. "Ada apa, Baby?"
"Kakak mau ya ikut makan sama Lissa? Bial ada yang bela Lissa kalau diganggu dengan Kak Iyus," mohon Clarissa.
Akhirnya Zenith menganggukkan kepalanya pasrah, ia tak bisa menolak pesona gadis kecil di hadapannya itu. "Iya, aku ikut deh." Gadis itu membungkukkan tubuhnya dan menggendong tubuh Clarissa yang lumayan berisi.
Dito dan Dea menatap bingung kedua wanita berbeda generasi di hadapan mereka, mereka kemudian saling memandang satu sama lain. Seolah mereka tahu apa pikiran keduanya.
Clarissa adalah gadis kecil yang sudah untuk dekat dan berinteraksi dengan orang asing yang bukan dari keluarga mereka, bahkan kadang Clarissa sampai menangis saat digendong dengan orang selain Dea, Bagas atau Dito.
Tangisan salah satu anak kembar Dea pun akhirnya memecahkan lamunan mereka, Dea kemudian berlari kecil menghampiri anak kembarnya yang baru berusia dua tahun itu. Sayangnya Dea masih saja belum mendapatkan anak perempuan, karena anak kedua dan ketiganya adalah kembar identik laki-laki.
Dito pun berjalan menyusul adiknya tadi, sementara Zenith juga berjalan di belakang Dito dengan menggendong Clarissa. Tampak Clarissa merasa sangat nyaman di gendongan Zenith.
"Clarissa sama saya saja, takutnya dia keberatan dan kamu pegal," ucap Dito yang berniat mengambil Clarissa.
Tetapi, putrinya itu malah memeluk leher Zenith lebih kuat seolah tak ingin lepas dari gadis itu. "Nda mau! Lissa mau sama kakak cantik."
"Rissa sayang, kasian Kakak Cantiknya nanti capek loh," bujuk Dito. "Sama ayah saja, ya?"
Clarissa tetap menggelengkan kepalanya pelan, bahkan matanya telah berkaca-kaca siap meluncur bulir air mata.
"Sudah, Om. Clarissa biar sama aku aja, lagi aku juga suka gendong Clarissa kok," ucap Zenith menengahi kedua ayah dan anak itu.
Tanpa sadar ia merasakan hatinya menghangat bisa berada di tengah-tengah keluarga besar ini.
***
Sepanjang perjalanan menuju rumah makan pilihan Dito untuk makan siang, mobil mereka tak henti-hentinya dipenuhi celotehan anak-anak. Kadang Sirius, kadang pulang Clarissa yang terus bertanya pada Zenith.
Sementara si kembar, Refano dan Defano terlihat asik dengan mainan di tangan mereka.
"Zenith, kamu nggak capek kan sama mereka?" tanya Dea khawatir seraya melihat Zenith di jok ketiga bersama anak-anak.
"Nggak, Kak. Malah aku seneng sama Clarissa dan Sirius, mereka bawel banget," ucap Zenith dengan senyum di wajahnya..
"Aunty De, " panggil Clarissa. "Kakak cantiknya jadi bunda Lissa aja boleh nda?"
***