Bab 10

2476 Words
HAPPY READING *** Damian mengantar Ocha ke rumah saudaranya, ia tahu betul siapa saudara Ocha, dia memiliki beberapa hotel berbintang di Bali dan memiliki restoran di Jakarta. Damian menghentikan mobilnya di depan bangunan rumah berpagar tinggi, pintu pagar setengah terbuka. Ia melihat beberapa mobil memenuhi halaman rumah. Ocha membuka sabuk pengaman, ia menatap Damian, “Thank you ya, udah anterin.” Damian mengangguk dan tersenyum, ia mendekati Ocha dan diberinya kecupan pada bibir itu. Ocha sepertinya harus terbiasa dengan kecupan Damian yang mendadak seperti ini. “Aku yang harusnya makasih sama kamu udah nemenin sampe malam gini.” Damian melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 20.20 menit, “Yaudah masuk sana, kayaknya rumah kamu udah rame.” Ocha mengangguk, “Iya.” “Kamu hati-hati di jalan,” ucap Ocha. Ocha membuka hendel pintu, ia lalu keluar dari mobil, ia memandang Damian membuka power window menatapnya, “Nanti aku hubungi kamu.” Ocha menjauhi mobil Damian menuju pagar, “Iya, dah,” Ocha melambaikan tangannya ke arah Damian. “Jangan nakal.” “Ih, siapa yang nakal. Kamu kali yang nakal.” Damian tertawa mendengar ucapan Ocha. Ocha membuatnya tergila-gila, dia wanita paling beda yang pernah ia temui di dunia ini, entahlah ia mulai memiliki rasa kepada wanita itu. Ia tahu bahwa cinta itu tidak pernah bisa ditebak alurnya. Bertemu dan jatuh cinta juga misteri, dan datang tidak disangka-sangka. *** Ocha melangkah menuju pintu pagar, ia melihat security yang berjaga tersenyum ke arahnya. “Malam non, Ocha,” ucap Security itu ramah. “Malam juga pak. Udah rame, ya?” Tanya Ocha. “Iya non, udah rame. Masuk aja non, udah ditungguin sama pak Evan.” “Makasih, pak.” Ocha meneruskan langkahnya menuju pintu utama, ia membuka hendel pintu. Ocha mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan rumah mas Evan yang bergaya Americaan style yang di d******i warna putih. Dengan palet warna lembut dengan tone warna yang sama, warna-warna lembut dengan material ubin marmer berwarna pastel serta gorden tinggi dan lebar. Sehingga membuat rumah ini sangat mewah. Ocha mendengar suara gelak tawa keluarganya di dalam, ia masuk ke ruang keluarga, ia menatap mama, papa, mas Evan, mba Asti dan orang tua mba Asti di depan TV sambil menyantap spaghetti brulee. Ia pernah makan spaghetti brulle buatan mba Asti sebelumnya, rasanya sangat enak dan lezat. Semua mata tertuju padanya, Ocha berikan senyum terbaiknya, “Hai,” ucap Ocha, Ocha melihat ada beberapa orang yang tidak ia kenal di dekat kolam, ia tidak tahu siapa mereka. “Katanya tadi pulang kantor langsung ke rumah,” ucap mas Evan, menatap sang adik masih mengenakan pakaian yang sama ketika dikantor tadi. “Biasa lah, Feli ajak muter-muter dulu,” Ocha memberi alasan. Ocha kembali tersenyum kepada orang tua mba Asti, “Malam om, malam tante,” ucap Ocha, menyelamai orang tua kedua orang tua Asti. “Baru pulang kantor?” Tanya Asti, memandang adik iparnya. “Dari tadi sih mba, cuma biasalah jalan-jalan dulu sama Feli,” ucap Ocha terkekeh. “Ocha ini yang lulusan megister di Jerman itu, ya,” tanya mama Asti, memandang Ocha. “Iya ma, di Jakarta baru dua bulanan ini. Sekarang kerjanya sama mas Evan, jadi GM di kantor,” ucap Asti lagi menjelaskan kepada orang tuanya. “Wah, hebat. Pasti pinter banget,” ucap papa Asti, memandang Ocha. Ocha duduk di samping mamanya, ia menatap mama meminta kepada mama mencicipi spaghetti brullee buatan Asti. Mama menyuapi Ocha dan tersenyum, ia mengakui bahwa spaghetti itu sangat enak. “Veronica mana mba?” Tanya Ocha, Veronica itu anaknya mba Asti, umurnya masih 3 bulan. “Baru aja tidur, lagi di kamar,” ucap Asti. “BBQ nya sudah selesai,” ucap seorang pria dari belakang. Otomatis Ocha menoleh, ia memandang seorang pria mengenakan kemeja hitam dengan celana jins. Postur tubuhnya tinggi besar, tatapan mereka bertemu beberapa detik. Ocha melihat mama dan papa berdiri, di ikuti mba Asti dan mas Evan, begitu juga dengan orang tua mba Asti. “Leon,” ucap Asti menatap sepupunya. Leon menatap Asti, “Iya.” “Kenalin ini, adiknya Evan, namanya Sorcha, panggilannya Ocha,” ucap Asti memperkenalan Leon kepada Ocha. Leon tahu kedatangannya ke sini memang bertujuan untuk berkenalan dengan wanita bernama Sorcha yang merupakan adiknya dari Evan. Sorcha, wanita itu sesuai dengan expetasinya. Ternyata Sorcha lebih cantik dari pada di foto. Dia memiliki postur tubuh ideal. Dia sangat cantik, pakaian kerjanya sopan, dan kulitnya putih bersih. Katanya Sorcha itu lulusan Freire University Berlin, salah satu universitas terbaik di Berlin, yang menawarkan gelar bachelor, master dan doktorat. FUB menerima mahasiswa Internasional dan menyediakan fasilitas seperti perpustakaan, olahraga dan studi ke luar negri. Sejujur ia menyukai wanita yang cerdas seperti Sorcha dari pada sekedar cantik yang berkeliaran di luar sana. Ia tahu bahwa sekarang bukan jamannya Cinderella lagi. Saat ini jamannya Pepper Potts, ia bukan bermaksud mengatakan bahwa Cinderella tidak cerdas, tapi ia akui bahwa Cinderella lebih masyhur dengan kecantikannya daripada kecerdasannya, sehingga memukai sang pangeran. Sampai-sampai pangeran terkesima mencari Cinderella keesokan harinya, hanya dengan patokan sepatu yang tertinggal, ketemu, menikah lalu hidup bahagia. Sebenarnya masih banyak kisah asli Cinderella sebelum dipermak abis oleh Disney. Pepper Potts adalah istri sekaligus istri dari sang pahlawan superhero Iron Man Tony Strark. Bisa saja Tony memilih ratusan wanita lebih cantik dari Pepper, namanya juga milliader kan? Kenapa harus Pepper Potts? Karena Pepper Potts itu cerdas, bahkan lebih cerdas dari Tony. Buktinya ia lebih menghendel straks industries dari pada sang miliarder itu sendiri. Lalu kenapa kebanyakan pria lebih suka wanita cantik daripada wanita cerdas, karena populasi pria cerdas juga tidak banyak. Leon mengulurkan tangannya, “Saya Leon Sebastian, panggil saja Leon,” ucap Leon mengulurkan tangannya ke arah Ocha. Ocha kembali memandang Leos, ia lalu membalas uluran tangan pria itu, “Saya Sorcha, panggil aja Ocha,” ucap Ocha tenang. Ocha merasakan tangan hangat itu menyentuh permukaan kulitnya. “Senang berkenalan dengan anda,” ucap Leon, ia merasakan kulit halus dan lembut Ocha. “Iya sama-sama,” ucap Ocha, ia melepaskan genggaman Leon. Asti yang melihat itu tersenyum, “Yaudah, mba ke sana dulu ya,” ucap Asti, berbaur dengan keluarganya. Ocha melirik mba Asti pergi meninggalkannya dengan Leon. Ocha melirik Leon yang berada di sampingnya. “Aku dulu pernah lihat kamu, waktu nikahan Evan, cuma kita nggak kenalan,” ucap Leon membuka topik pembicaraan. “Owh ya, kok aku nggak tau?” “Kamu sibuk kayaknya, aku juga waktu itu nggak kepikiran buat kenalan.” “Kamu lulus tahun ini?” Tanya Leon memandang Ocha. Ocha mengangguk, “Iya, tiga bulan yang lalu, disuruh balik sama papa dan mama. Jadi terdampar di Jakarta. Bingung juga sih awalnya, kan aku baru banget di Jakarta. Jadi mas Evan nyuruh kerja aja di kontornya, biar ada kesibukan.” “Kamu ada teman di Jakarta?” Tanya Leon. “Ada sih satu, namanya Feli. Seangkatan dan satu kampus juga. Kamu lulusan mana?” Tanya Ocha penasaran. “Harvard,” ucap Leon. “Wah, keren dong.” “Thank you,” Leon tersenyum, mereka melangkah menuju dekat kolam. “Mau BBQ nggak?” Tanya Leon. “Boleh, kayaknya enak.” Leon dan Ocha melangkahkan kakinya menuju meja prasmanan yang isinya berbagai macam potongan daging yang habis dipanggang. Dipanggang dengan alat pemanggang otomatis. Bumbu hasil racikan Asti memang juara, karena wanita itu Asti pintar memasak. Ocha mengambil piring, ia mengambil bagian tenderloin potongan daging yang empuk dan panjang, ia menatap Leon juga mengambil bagian yang sama. Tidak lupa kentang goreng dan ada sate dengan bumbu kecap yang pedas. Di rumah mas Evan tidak sedang ada acara apa-apa, hanya ingin menghabiskan waktu weekend dengan keluarga. Ocha dan dan Leon memilih duduk di kursi, di dekat gazebo sambil memandang ke arah taman. “Kamu itu apa nya mba Asti?” Tanya Ocha, ia tahu bahwa mba Asti itu terlahir dari keluarga terpandang dan berpendidikan sejak jaman dulu. Ocha sebenarnya sudah tahu bahwa Leon Sebastian ini adalah founder dari aplikasi yang sudah mengurangi angka pengangguran di Indonesia. Aplikasi itu juga sangat bermanfaat, bebas macet karena driver biasa memotong jalan lewat jalur tikus, harganya terjangkau. Solusi cepat antar barang, dan solusi membeli makan online saat malas keluar rumah. “Aku anak dari adiknya mama nya Asti,” ucap Leon memasukan daging ke dalam mulutnya. “Kamu foundernya gojek itu ya?” Tanya Ocha lagi. Leon tertawa, “Kok tau sih?” “Tau lah, mba Asti yang cerita. Kok bisa sih?” Ocha semakin penasaran dengan pria bernama Leon, ia memasukan makanannya ke dalam mulutnya lagi. “Bisalah, belajar dulu dicodingnya.” “Dicoding itu apa?” “Dicoding itu perusahaan starup yang bertujuan mengembangkan ekosistem developer di Indonesia. Kalau kamu buat platform ya, kamu harus riset dulu konsepnya seperti apa. Tujuaanya apa dan kontribusi nggak untuk masyarakat luas. Terus tentukan lagi permasalahannya seperti apa, ide, logo, gambar, presentasi yang matang dan luas.” “Terus.” Leon kembali menatap Ocha, wanita itu ternyata pendengar yang baik, “Sebelum buat platform, harus riset, untuk meyakinkan ide tersebut, sebagai pondasi platform yang kita buat. Dengan riset kita juga membaca penilaian orang terhadap aplikasi sekiranya memberimu informasi lebih.” “Setelah itu baru deh buat story board, kita menuangkan konsep-konsep ke dalam desain, agar mendapat gambaran lebih jelas. Soalnya kita akan bersaing dengan platform-platform baru yang bermunculan, karena jika nggak berkualitas akan dipandang sebelah mata.” “Terus, terus.” “Setelah frame jadi, back end, lalu programming, aplikasi sudah di tangan udah selesai. Ya, kita uji coba, uji orang-orang terdekat dulu. Setelah semua oke, lalu deh rilis. Aku juga nggak nyangka platform yang aku buat bisa sebesar ini dan pemerintah juga mendukung.” “Kamu hebat,” ucap Ocha. “Thank you.” Leon melirik Ocha, “Mau minum nggak?” “Boleh.” “Bentar aku ambilinn,” Leon beranjak dari duduknya, ia mengambil orange jus di meja prasmanan. Ocha memasukan daging ke dalam mulutnya lagi, dagingnya masih juicy. Ia melihat Leon membawa dua gelas bertangkai tinggi melangkah mendekatinya. Leon memberikan kepada Ocha. “Thank you, kamu repot-repot banget ngambilin aku minum.” “Kamu suka music nggak sih?” Tanya Leon membuka topik pembicaraan. “Suka banget, kamu suka nggak?” Leon tertawa, “Suka lah, kamu suka siapa?” “Jujur nih ya, aku sebenernya suka banget sama Niki. Semua lagu-lagu Niki ada di playlist aku. Terakhir Niki ngadain konser Head in The Clouds Festival di America, aku nonton,” ucap Ocha tertawa. “Really.” “Yes.” “Niki itu penyanyi asal Indonesia itu kan?” “Iya bener banget, nama kepanjangannya Nichole Zefanya sering disebut Niki Zefanya. Aku awalnya nggak tau loh kalau Niki itu orang Indonesia, tapi kalau dilihat dari cara dia berpakaian, wajahnya, asalnya dari benua Asia. Taunya kita satu negara, jadi tambah suka. Karakter suaranya khas banget.” “Lagunya yang hits itu Lowkey,” ucap Leon. “Iya itu bener, itu aku suka banget.” “Kalau nggak salah, makna lagu itu menceritakan tentang seorang gadis yang benar-benar ingin bercinta dengan seorang pria, tanpa memperdulikan apapun yang terjadi. Asalkan keduanya bisa menyimpan rahasia tak akan ada yang tahu kalau mereka melakukannya.” “Wah, kamu ternyata fans juga, ya.” “Lagunya asyik, enak aja dengernya.” “Kalau kamu suka dengerin lagu apa?” Tanya Ocha antusias. “Aku suka banget covernya Conor Maynard, sih. Ada juga lagu-lagu lawas yang aku suka seperti westlife, Blue, yah POP gitu. Tapi suka juga denger lagu Indonesia.” “I see.” “Suka ke Bar, nggak?” Tanya Ocha. “Kalau di ajak temen sih, oke. Enggak sering sih, biasa di apartemen aja. Mau ngebar nggak besok?” Ocha mulai berpikir, “Hemmm.” “Aku beneran jarang sih ngebar.” “Aku juga jarang kalau di Jakarta,” ucap Ocha terkekeh. “Besok kamu free nggak?” Tanya Leon menatap Ocha.. “Free sih, kenapa?” “Aku mau ngajak kamu brunch.” “Brunch di mana?” Tanya Ocha, menurutnya Leon itu bukan pria yang buruk, dia tampan, cerdas dan dia pasti sangat kaya. “Di Crock and Screw, di sana suasananya asyik.” “Kamu pernah ke sana?” “Pernah.” “Ajak temen boleh nggak?” Tanya Ocha. “Siapa?” Padahal ia ingin berdua dengan Ocha. Namun Ocha malah mengajak temannya. “Feli, dia sahabat aku, lulusan megister juga di Jerman. Enggak apa-apakan kalau ajak dia.” “Boleh kok.” “Kamu ajak temen kamu juga nggak apa-apa. Kalau rame-rame kan asyik.” “Iya sih, nanti aku ajak sahabat aku.” “Iya.” “Boleh minta nomor ponsel kamu.” “Boleh kok,” Ocha merogoh ponsel di dalam tas, ia memandang notifikasi dari Damian. Ocha melirik Leon, pria itu juga merogoh ponsel di saku celananya. Ia tidak ingin mengambil resiko terlalu besar jika berduaan dengan Leon. Oleh sebab itu bahwa ia harus mengajak Feli, ia tidak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan jika Damian tahu bahwa ia jalan dengan seorang pria bernama Leon. Bisa berabe urusannya, ia tahu Damian seperti apa. Ia tidak ingin berakhir dengan introgasi nantinya. Ocha membagikan nomor ponselnya kepada Leon. “Udah ya,” ucap Ocha. “Thank’s ya.” “Iya.” Leon melirik Ocha, “Kamu punya pacar?” “Belum?” “Why?” “Belum ketemu yang cocok aja. Semoga aja ya ketemu yang cocok. Kalau kamu?” “Masih single, ini masih cari, belum ketemu yang pas.” “Yang pas menurut kamu seperti apa?” Ocha menyesap orange jusnya. “Aku nggak ada spesifik sih dalam memilih wanita atau menjadi kekasih. Cuma aku suka banget sama wanita yang cerdas, ngobrolnya klop, nyambung kalau diajak diskusi. Percuma kan cantik kalau obrol kita nggak asyik.” “Exactly.” “Namun kembali lagi dengan kriteria masing-masing, selera orang beda-beda.” “Iya, bener banget. Umur kamu berapa sih?” Tanya Ocha penasaran. “32 tahun.” “Lumayan mateng, ya.” Leon seketika tertawa, “Ibaratnya udah pas untuk nikah.” “Kenapa nggak nikah aja.” “Niikah sama siapa.” “Sama cewek lah.” “Kamu.” Ocha seketika tertawa, “Ih, ngada-ngada deh. Baru juga kenal. Aku nggak buru-buru mau nikah.” “Kenapa?” “Nikmati dulu lah masa lajang, lagian aku baru lulus juga. Kalau udah nikah susah ke mana-mana.” “Iya sih bener, tapi kalau nikah, aku ingin istri aku tetap harus berkembang, nggak hanya monoton di rumah.” “Kamu, mau nikah cepet?” “Kalau ada calonnya yang pas. Aku nggak mau nunggu lama sih.” “Wah, udah siap banget ya.” Leon lalu tertawa, ia meneguk orange jusnya, “Siap, nunggu apalagi coba. Kamu ke sini pakek apa?” “Tadi diantar temen.” “Pulangnya aku anter ya.” “Jangan, aku nebeng sama mama dan papa.” “Aku aja yang anter.” Ocha menghela nafas, “Yaudah kalau gitu.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD