HAPPY READING
***
Ocha bekerja seperti biasanya, tumben Damian tidak menghubunginya pagi ini. Ah, ia lupa bahwa ia sudah memblokir nomor ponsel pria itu sejak semalam. Jujur selama ia berkerja di perusahaan ini, ia sudah sering berurusan dengan rekan-rekan kerja yang super sensitive, umumnya yang paling sensitive itu di divisi engineering/teknik, mereka sangat sensitive ketika di tanya soal downtime berulang. Terutama untuk mesin produksi yang rendah dan preventive maintenance yang tidak sesuai dengan jadwal.
Ocha selalu menjaga hubungan baik dengan divisi ini, bahkan ia sebagai GM perlu menyusun kata-kata yang tepat agar berdampak positif, demi perbaikan berkelanjutan. Rutinitas seperti ini cukup monoton menurutnya, pulang dan pergi menghadapi kemacetan. Berkutat dari satu meeting ke meeting lainnya. Berjam-jam di depan leptop, di sela-sela pekerjaan dan di waktu istirahat mencari hiburan dan berbincang dengan rekan kerja.
Ah, ya sekarang rutinitasnya ditambah satu lagi yaitu ada nya Damian yang mulai masuk di kehidupannya. Setelah meeting, Ocha hanya menunggu jam pulang, ia melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 15.45 menit. Rasanya cepat sekali waktu berputar, tiba-tiba jam segini aja. Ocha menarik nafas, ia merapikan berkasnya dan lalu ia masukan ke dalam laci.
Ia bersiap-siap untuk pulang, Ocha melihat ponselnya bergetar. Ternyata notif dari Feli, sahabatnya.
Feli : “Gue bentar lagi gue nyampe. Lo tunggu di lobby ya.”
Ocha : “Oke.”
Ocha menarik nafas, ia mengambil tasnya di atas filling cabinet, ia bersyukur bahwa hari ini tidak mengenakan high heels dan rok pensilnya lagi. Ocha menarik nafas panjang ia beranjak dari duduknya. Ia melangkahkan kakinya menuju pintu, tidak lupa ia mematikan lampu dan mengunci pintu ruangannya. Ia berjalan menuju koridor, tanpa sengaja ia menatap mas Evan di sana. Mas Evan dia tidak sendiri melainkan bersama beberapa direksi dan sekretarisnya.
Tatapan mereka bertemu, lalu mas Evan tersenyum kepadanya,
“Sore Ocha,” ucap Evan, memandang adiknya yang baru keluar dari ruangannya.
“Sore juga mas,” ucap Ocha kikuk.
“Mau pulang?” Tanya Evan memperhatikan ocha.
Ocha mengangguk, “Iya, mau ke rumah mas nanti.”
“Ah, iya. Mba Asti nanyain kamu juga, udah lama nggak ke rumah, kan.”
Ocha tersenyum, “Iya, mas. Kangen sama ponakan,” ucap Ocha terkekeh.
“Kamu pulang sama siapa? Enggak sekalian sama mas?”
“Enggak mas, males masih pakek baju kerja. Pulang dulu bentar, lagian Feli bentar lagi jemput.”
“Yaudah, kalu gitu. Kamu hati-hati.”
“Iya mas.”
Ocha lalu meneruskan langkahnya menuju lift, ia menoleh ke belakang melihat mas Evan masuk ke ruangan karyawan. Mas Evan emang jarang ke sini, selama ia bekerja di sini, baru kali ini mas Evan bertatap muka dengan karyawannya. Mungkin mas Evan hanya jalan-jalan saja, bukan untuk memeriksa pekerjaan karyawan, dia hanya sekedar menyapa. Jika terus dipantau maka membuat karyawan tidak nyaman untuk bekerja.
Ocha masuk ke dalam lift, ia menunggu dengan sabar lift membawanya ke lantai dasar. Ia mendengar notif masuk dari Feli.
Feli : “Gue udah ada di depan.”
Ocha tersenyum, ternyata sahabatnya itu sudah berada di depan, jadi ia tidak perlu khawatir lagi dengan keberadadaan Damian. Ocha melangkahkan kakinya menuju lobby, ia melihat security sedang berjaga di depan pintu.
Ocha merasa lega akhirnya tidak ada lagi Damian-Damian yang mengejarnya. Ia celingak-celinguk ke samping, memastikan tidak ada mobil Rolls Royce terparkir di sana. Ocha melihat mobil Feli berada di depan tower, wanita dibalik kemudi setir itu melambaikan tangan ke arahnya dari kejauhan. Ocha melambaikan tangan balik, ia tersenyum kepada Feli.
Tanpa Ocha sadari, di sisi lain ada seorang pria yang menatapnya dari kejauhan. Pria itu tersenyum penuh arti dan lalu mengegas motornya menghampiri calon kekasihnya itu dengan cepat, sebelum wanita itu masuk ke dalam mobil Mercedes Benz berwarna hitam milik keponakannya.
Ocha menoleh ke samping, memandang motor berbody besar menghampirinya, Ocha nyaris tidak percaya apa yang ia lihat, ternyata di balik pria yang mengenakan helm dan kaca mata hitam itu adalah Damian.
“Sial!” Ocha lalu berlari cepat ke arah mobil Feli, sebelum pria itu menghampirinya.
Ocha berlari pontang-panting melihat motor berbody besar itu mengejarnya, yang ada di dalam pikirannya saat ini adalah tiba di depan mobil Feli. Ia terus berlari tanpa henti ia tidak ingin tertangkap oleh pria mengenakan motor itu.
Feli melihat Ocha berlari dengan wajah panik, ia juga ikut panik. Feli keluar dari mobil, memandang sahabat di sana.
“Feli, ada om lo, cepat-cepat!” Teriak Ocha.
Feli melihat pria mengenakan motor itu datang lebih cepat dari langkah Ocha. Pria itu menyimpan motornya di depan mobil Feli dan lalu membuka kaca matanya. Tatapan Damian membuat nyali Feli ciut.
“Kamu, jangan ikut campur urusan pribadi om, ya, Fel,” ucap Damian.
“Kalau kamu sampai ikut campur, kamu urusannya sama, om.”
Feli yang mendengar ancaman itu nyaris menganga, ia baru tahu ternyata om Damian sungguh mengerikan. Benar kata Ocha, bahwa Damian sangat menyeramkan.
Ocha melihat Feli dan Damian di sana, ia mengerahkan seluruh tenaganya berbalik arah. Ia berlari sekencang-kencangnya. Untung saja ia mengenakan sepatu flat dan celana kain, hingga ia mudah bergerak dan melangkah. Kecepatan larinya menunjukan kecepatan signifikan, ia perlu taktik dan otak cerdasnya agar tidak tertangkap oleh pria itu.
Damian menarik nafas, ia meletakan helmnya di spion, ia menatap Ocha yang sudah melesat menjauhinya, Damian lalu mengejar ketertinggalan itu, mengejar Ocha dari belakang. Oh Jesus, kenapa calon ke kakasihnya ini suka sekali dengan adegan kabur-kaburan seperti ini. Padahal ia tidak berniat sedikitpun melukainya. Damian terus berlari mengejar Ocha.
Ocha masuk kepemukiman warga, ia tahu bahwa ia tidak bisa melawan Damian dalam urusan kabur-kaburan seperti ini, sudah ia pastikan akan kalah telak. Terpaksa Ocha menggunakan keahliannya dalam melakukan strategi ketika di sekolah dulu. Ocha berhenti di salah satu rumah berpagar tinggi dan ia lalu melompat ke dalam.
Ocha memandang ibu-ibu sedang mengepel lantai teras, sambil menggendong anaknya, anaknya sedang rewel dan menangis, Ocha lalu menghampiri ibu itu.
“Sini, bu. Saya bantuin,” ucap Ocha.
Otomatis ibu itu menoleh kaget, kepada seorang wanita cantik tiba-tiba berada di halaman rumahnya.
Ocha merasa tidak enak, “Sini, bu saya bantuin. Kayaknya ibu kerepotan ngepel lantai,” ucap Ocha kikuk.
Ibu-ibu itu menyelidiki Ocha, menatap penampilan Ocha, ah ya, tidak ada satupun terlihat bahwa wanita itu wanita jahat. Dia seperti karyawan yang ngekost di sebelah rumahnya, mungkin kebetulan mampir ke rumahnya. Biasa anak kost-kostan itu baik-baik dan suka membantu warga,
“Ah, iya neng, anak ibu badannya lagi panas. Makanya rewel terus, makasih ya, ibu ambil obatnya dulu di kamar,” ucapnya ramah.
“Iya, bu, sini saya bantu,” Ocha membuka sepatu flatnya dan mengambil alih pel dari tangan si ibu.
Di antara bunga-bunga di taman di dekat pagar, Ocha bisa memantau Damian. Ia bisa melakukan penyamaran di balik kembang-kembang yang tumbuh subur. Ia terdiam sesaat, melihat kaki yang berhenti tepat depat pagar rumah ini. Ia yakin bahwa kaki yang mengenakan sepatuh kulit itu adalah milik Damian.
Ocha mengepel lantai dengan hati-hati dan tidak bersuara, agar tidak ketahuan. Ia sambil pura-pura sebagai pemilik rumah ini, ia terus mengepel lantai dengan tenang. Ocha melihat kaki itu mondar mandir, tarikan nafasnya terdengar, terlihat jelas bahwa pria itu frustasi tidak dapat mengejarnya. Ocha tersenyum penuh arti.
Damian yang mondar-mandir di pemukiman warga, ia melihat bapak-bapak mengenakan pakaian hansip memperhatikannya.
“Mau cari siapa pak?” Tanya hansip itu mencurigainya.
Damian mengatur nafasnya yang sulit diatur, ia memandang dua bapak-bapak separuh baya menghampirinya, “Saya mau cari pacar saya.”
“Emangnya pacar bapak kenapa?”
“Biasa, kabur.”
“Kabur?” kedua hansip itu saling berpandangan satu sama lain.
“Iya pak, biasa ngambek. Kalau ngambek, sukanya kabur, dan buat saya repot.”
“Kalau cewek emang seperti itu, pak.”
“Iya, pak, ini mau bujuk dia, pak.”
“Pacar bapak seperti apa?” Tanya hansip itu lagi.
“Rambut panjangnya segini, pakai baju hitam dan celana coklat muda. Pokoknya dia cantik,” ucap Damian memberi tahu ciri-ciri sang kekasih terakhir kalinya.
“Wah, enggak ada tuh pak, lewat sini. Lewat sono kali, pak.”
“Tapi saya yakin di sekitar sini pak,” ucap Damian lagi, jika berlari menuju sana, maka ia bisa melihat tubuh Ocha di sana, ia tahu bagaimana kecepatan Ocha berlari.
***
“Makasih ya, neng.”
Sapaan itu membuat Ocha nyaris menjerit. OMG! Nyaring amat ini ibu-ibu ngomong, mana nongol mendadak, desis Ocha dalam hati.
“Maaf, kaget ya, neng,” ucap ibu itu lagi.
“Ah, enggak kok bu,” Ocha menyimpan pengepel itu di dinding, karena ia sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Kalau mau keluar lewat mana ya bu?” Tanya Ocha pelan.
“Lewat pintu pager aja neng.”
“Maksud saya jalan besar, jalan raya, bukan masuk gang sini,” Ocha menjelaskan.
“Oh, jalan raya, nanti belok kanan, terus belok kiri dan ketemu deh, neng, jalan besarnya.”
Ocha mencoba mengingat apa yang ibu itu bicarakan, setelah itu ia mengucapkan terima kasih. Ocha melangkahkan kakinya menuju pagar, ia membuka pintu pagar dan celingak-celinguk berharap Damian tidak berada di sana. Ia melihat Damian berada di ujung sana bersama dua hansip, lalu ia lari sekencang-kencangn menuju gerbang kebebasan.
Damian yang melihat keberadaan Ocha di sana berlari pontang-panting, ia dengan cepat mengejar wanita yang ia sematkan sebagai kekasihnya itu.
“Itu pacar saya pak, ayo pak bantu saya kejar,” ucap Damian, mengajak sang hansip.
Pelarian Ocha nyaris sukses, ia berlari pontang-panting, ia menatap beberapa motor, mobil dan sepeda yang hampir ia tabrak. Sumpah serapah yang dilontakan warga sekitar.
“Maaf, maaf,” ucap Ocha.
“Maaf pak!” ucap Ocha sekali lagi kepada warga sekitar.
Ocha semakin panik, karena keberadaan Damian semakin dekat, ia berlari sekuat tenaga, ia kerahkan seluruh tenaganya. Ia memandang sebuah taxi blue brid yang tidak jauh darinya, jaraknya hanya sekitar 200 meter.
“Stop, pak, stop, pak!” jerit Ocha.
“Minggir pak, minggir!” Ucap Ocha lagi.
Tiba-tiba taxi itu berhenti di tepi jalan, mendengar suara penumpang yang sedang berlari mengejarnya. Ocha dengan cepat membuka hendel pintu, dan duduk di belakang.
“Pak, pak! Cepet, pak! Ayo, pak, jalan!” Jerit Ocha.
Oh Jesus! Terlambat! Siaaal! Teriak Ocha dalam hati.
Damian sudah berada di depan mobil, membuat mobil itu tidak bisa bergerak maju, karena jika bergerak maju otomatis menabrak tubuh pria berbeda besar yang sedang menhadang mobil. Ocha menelan ludah, ia memandang sorot mata tajam Damian di sana. Pria itu mengenakan jaket kulit berwarna hitam dan celana jins berwarna senada. Pria itu melangkah mendekatinya.
“Ayo, pak jalan,” ucap Ocha.
“Langsung tancap gas pak!” Ocha menepuk bahu supir.
“Pak, cepet, cepet!”
Supir menoleh kebelakang, memandang penumpangnya, “Aduh, bapak takut, neng. Nanti takut nabrak, ini bukan mobil bapak masalahnya. Mobil perusahaan!”
“Aduh, bapak gimana, sih. Sini saya aja yang bawa mobilnya,” ucap Ocha geram, karena sang supir ternyata sangat lambat menangani penumpang.
“Jangan neng, bahaya!”
“Ayo, pak jalan,” Ocha geram.
“Enggak apa-apa neng, biar bapak hadapi, palingan preman komplek, biasa cuma minta duit beli nasi bungkus. Dari pada mobil ini dilecet, tambah mahal neng, bisa lima juta benerinnya,” ucap supir itu lagi.
“Pak, dia bukan preman! Dia pembunuh, pak!” Ocha menjerit.
“HAH!” Pak supir langsung pucat pasi.
“Iya, pak! Makanya cepet kita kabur!” Seru Ocha.
Mendengar kata-kata itu membuat pak supir semakin shock, hanya bisa mematung di tempat. Pak supir melihat pria mengenakan jaket kulit hitam itu mengetuk kaca jendela, menyuruh pria itu membuka pintu belakang sebelah kiri, karena ia tahu Ocha menguncinya.
“Jangan buka pak, dia bahaya!” jerit Ocha, ia berusaha mati-matian meyakinkan sang supir.
Sedangkan Damian dengan tidak sabar, mengetuk kaca jendela, meminta sang supir segera membuka kaca. Pak supir tidak ingin mengambil resiko terlalu besar, ia melihat ada hansip yang berada tidak jauh darinya. Ia merasa aman dan lalu segera membuka kaca jendelanya. Sementara Ocha menutup jendela itu rapat-rapat.
Pak supir masih menjaga keselamatan penumpangnya, ia membuka kaca jendela. Memandang seorang pria yang sedang bertolak pinggang.
Pria itu menunduk memandangnya, “Mau apa pak?” Tanyanya pelan.
“Yang di belakang itu pacar saya, pak,” ucap Damian diplomatis.
Otomatis pak supir menoleh menatap Ocha, “Pacar?”
“Iya, itu pacar saya pak, dia ngambek, makanya kabur-kabur gitu lihat saya.”
“Neng, kok bilangnya pacaranya pembunuh sih! Kan bapak jadi shock,” perotes pak supir.
“Saya bukan pacarnya pak, jangan percaya!” ucap Ocha, nyaris memekik.
Pak supir memperhatikan Damian. “Bener masnya bukan pembunuh!”
“Buat apa saya bunnuh pacar sendiri pak. Emangnya ada tampang saya pembunuh.”
Pak supir mengakui bahwa pria itu sangat tampan. Ia menoleh menatap wanita berada di kursi belakang, “Ayo, neng samper dulu pacarnya.”
“Beneran pak, dia bukan pacar saya.”
“Bapak nggak percaya neng.”
“Beneran pak, dia orang jahat!”
“Aduh, neng. Mas nya ganteng loh, nggak mungkin pembunuh apalagi orang jahat.”
“Sekarang mah jangan liat tampang pak. Biasa yang ganteng itu psikopat!” Seru Ocha.
“Enggak mungkin, neng. Ayo neng samper aja, kasihan mas nya.”
Damian menundukan wajahnya, ia merogoh uang di dompetnya dan ia mengambil uang empat lembar 100 ribuan, dan menyelipkannya di tangan pak supir.
“Ini apa, mas?”
“Ini untuk bapak, buka kan pintu, pacar saya,” ucap Damian tanpa basa-basi.
Sang supir tidak percaya bahwa ia mendapat rejeki nomplok, “Beneran nih mas?”
“Iya beneran, itu untuk bapak.”
“Makasih mas. Yaudah neng, samper dulu mas nya. Kasihan ngejer-ngejer neng, kalau ada masalah selesaiin baik-baik.”
“Pak, jangan percaya. Dia itu tukang boong!” Desis Ocha kesal, karena Damian sudah menyogok bapak itu dengan uangnya.
“Ayo neng, keluar,” ucap sang supir membuka pintu mobil.
“Ih bapak, kan saya udah bilang, dia itu bahaya, saya bisa kasih uang bapak lebih dari dia!” Jerit Ocha kesal luar biasa.
“Enggak bahaya kok neng, ayo neng keluar.”
“Bahaya pak, tolong!” rengek Ocha.
Namun ucapan Ocha tidak diperdulikan sang supir, karena ia memandang pria itu sedang baik hati memberinya uang, karena orderan taxi dari tadi pagi sepi. Ia tidak akan menolak rejeki ini.
Damian menyungging senyum ia lalu membuka hendel pintu Ocha yang sudah tidak terkunci itu. Damian memandang sang pujaan hati dengan wajah pucat pasi,
“Halo sayang,” ucap Damian tajam, ia memegang pergelangan tangan Ocha.
Mau tidak mau Ocha keluar dari mobil, ia tidak percaya bahwa banyak warga yang menatapnya. Damian bergerak maju dan ia rangkul bahu Ocha merapat ke tubuhnya.
“Wah, akhirnya ketemu juga ya, pak,” ucap pria mengenakan pakaian hansip.
“Iya pak, ini pacar saya,” ucap Damian penuh kemenangan, ia berikan kecupan pada puncak kepala Ocha dengan lembut, agar warga tahu bahwa ia laki-laki baik dan bertanggung jawab.
“Ayo, neng baikan lagi sama bapaknya. Kelihatan bapaknya baik gitu dan sayang sama eneng.”
“Iya tuh, neng. Udah gitu baik lagi masnya,” timpal pak supir.
“Jangan suka kabur neng, kasihan mas nya, nyariin.”
“Susah loh neng, cari cowok kayak mas, nya.”
Ocha yang mendengar shock, bisa-bisanya mereka menghakimi bahwa dirinya lah yang bersalah.
“Ih, kalian tuh mau aja diboongin sama dia!” timpal Ocha protes.
“Enggak apa-apa pak, biasa cewek ngambek. Saya sayang banget sama pacar saya,” ucap Damian lagi.
Damian merogoh dompetnya lagi dan mengambil uang empat lembar seratus ribuan, ia menyerahkan kepada kedua hansip yang menolongnya tadi.
“Ini untuk bapak berdoua, makasih udah bantu saya,” ucap Damian.
“Ah, bapak jadi enggak enak. Udah tugas kita bantu warga di sini,” ucap pak hansip itu tetap mengambil uang dari tangan Damian.
“Anggap aja rejeki, buat istri bapak.”
“Makasih, pak.”
“Baek-baek ya neng, sama pacarnya. Jangan suka ngambekan.”
“Iya pak, makasih dukungannya,” ucap Damian, membawa Ocha ke depan tower office tempatnya bekerja, karena di sanalah motornya berada.
Bibir Ocha maju satu senti, ia menatap Damian menarik pergelangan tangannya. Pria itu memandangnya, pria itu berikannya kecupan pada puncak kepalanya lagi.
Ocha hanya nelangsa dalam hati, andai pria ini pria yang ia cintai, maka ia akan rela berlama-lama berada di dalam dekapan pria ini.
“Bisa nggak sih kalau kamu itu jangan kabur-kabur lagi,” bisik Damian.
“Aku nggak kan, ngapa-ngapin kamu sayang,” ucap Damian.
“Kan kasihan bapak-bapak di sana, ngerepotin banyak orang.”
“Habisnya, kamu sih!”
“Habisnya kenapa?” Tanya Damian.
“Nyeremin,” dengus Ocha.
Damian mengerutkan dahi, “Seremnya di mana?”
“Pokoknya serem,” timpal Ocha, ia menyeimbangi langkah Damian.
Ocha menatap Feli di dekat mobil Mercy nya, di samping mobil itu terdapat motor berbody besar. Ia melihat Feli yang tengah memandangnya. Ocha yakin Feli juga tak kalah takutnya kepada om nya sendiri.
“Ocha, lo nggak apa-apa kan?” Ucap Feli, menatap adegan menyayat hati sahabatnya, yang berhasil diburu oleh om Damian.
“Ocha nggak apa-apa kok,” Ucap Damian kepada Feli.
“Ocha pulang sama saya."
“Tapi, om.”
“Tapi apa?”
Feli menggigit bibir bawah, ia melirik jemari Ocha yang menyuruhnya pergi, karena cara itu lah mereka akan selamat,
“Yaudah deh kalau gitu, Cha.”
“Gue, cabut deh kalau gitu, Cha. Have fun ya, Cha sama om Damian,” Feli masuk ke dalam mobil.
“Dah, Ocha,” Feli sebenarnya khawatir apa yang dilakukan om Damian kepada sahabatnya.
Damian dan Ocha menatap mobil Feli yang menjauhinya. Semenit kemudian mobil Feli menghilang dari pandangannya. Damian mengambil helm berwarna coklat dan ia memasang ke atas ke kepala Ocha.
“Enggak apa-apakan kita pakek motor?” Ucap Damian.
“Mau ke mana?” Tanya Ocha, sambil melirik motor berbody besar itu, ia tahu betul berapa harga motor berbody besar buatan Amerika itu. Harganya seperti harga satu mobil miliknya.
“Mau cari angin sama kamu”
“Tuh kan, jawabnya suka gitu. Kemarin bilangnya liat embun. Sekarang cari angin, yang spesifik gitu, ambigu nih,” dengus Ocha.
Damian tertawa, “Ikut aja,” Damian memandang helm itu sudah terpasang sempurna di kepala Ocha.
“Kaki kamu sakit nggak, tadi lari-lari,” tanya Damian memperhatikan kaki Ocha, memastikan sang kekasih baik-baik saja.
“Capek,” rengek Ocha.
“Mau minum?”
Ocha mengangguk, “Iya.”
Damian tertawa, ia lalu memeluk tubuh ramping itu, ia tidak tahu kenapa bisa menyukai gadis ini, “Kita beli minum di jalan.”
“Iya.”
“Jangan kabur-kabur lagi, buat capek aja.”
Damian melepaskan pelukannya, ia lalu naik ke body motor, ia menepuk jok motor agar Ocha duduk di belakangnya.
Ocha duduk di belakang Damian, ia mencium aroma khas dari tubuh Damian yang menenangkan. Damian menoleh ke belakang, menatap Ocha.
“Peluk dong, nanti jatoh loh, kalau nggak peluk.”
Ocha melingkarkan tangannya ke sisi pinggang Damian, “Gini.”
“Iya.”
“Siap?”
“Iya, udah siap.”
Damian menstater motornya, ia melihat jemari Ocha memeluk tubuhnya dengan erat. Setelah itu motor meninggalkan area tower office, dan motor membelah jalah menembus angin.
***