Bab 21. Kedatangan Renata

1444 Words
"Brian." Bianca langsung segera menutupi lehernya dengan kedua tangan, lalu kembali membalikkan tubuhnya menghindari tatapan Brian yang aneh. Alex sendiri begitu santai cenderung puas melihat reaksi Brian. "Bi, sini, kita sarapan dulu. Aku mau berangkat kerja." Bianca pun kembali duduk dengan terus menunduk malu. "Ini karena kamu, Kak." "Kan sudah aku bilang, tidak perlu malu, kamu itu istriku. Kamu bisa minta bantuan Mona untuk menyembunyikan tanda itu jika kamu tidak nyaman. Tidak perlu dengan berpakaian seperti ini, okey." Bianca menoleh pada Mona yang tersenyum mengacungkan jempolnya. "Iya, Kak." Sedang Christina masih mengamati kedua cucunya. Wanita paruh baya itu tidak ingin sampai hubungan dua saudara itu buruk hanya karena seorang wanita. Lagipula, Christina lihat Bianca memang lebih cocok untuk Alex daripada Brian. "Brian, apa kamu ingin ikut sarapan bersama kami? Atau kamu hanya ingin berdiri mematung saja di sana? Jika tidak ingin ikut sarapan, mungkin sebaiknya kamu segera pergi ke kantor," ujar Christina berusaha untuk memberi jarak antara Brian dengan Bianca. "Aku berangkat, Oma." Brian mengeratkan kepalan tangannya dengan tatapan tajam pada Alex. "Silahkan kamu bersenang-senang dulu, Alex. Karena setelah ini, aku pastikan kamu akan menangis darah karena kehilangan segalanya, termasuk Bianca," batin Brian dengan tersenyum yang dipaksakan. "Bi, aku pamit." Bianca mengangguk mengiyakan karena tidak tahu jika Brian sudah mengacau di rumah mereka saat malam indah itu terjadi. "Hati-hati, adik ipar." Alex menoleh pada Brian yang terlihat kesal mendengar panggilan Bianca. Bibir Alex menyeringai begitu puas karena nyatanya Bianca menganggap Brian hanya sebagai adik ipar. Tak lama, Alex pun selesai, lalu pamit pada sang istri. "Bi, aku berangkat. Jangan terlalu banyak berpikir tentang tanda itu, Mona tahu solusinya," ujar Alex yang tahu jika sang istri masih khawatir akan tanda-tanda di tubuhnya. Bianca kembali menunduk malu karena Alex malah kembali membahas tanda merah itu. "Ssstt, udah sana pergi! Jangan bahas itu lagi." Alex dan Christina tertawa renyah melihat sikap Bianca. Mereka pun pamit karena Christina juga akan ke kantor Royal Company cabang yang akan dikelola oleh Brian. Bianca mengantar Alex ke depan teras rumahnya. "Kak, hati-hati, ya." Alex pun mengacup kening Bianca dengan dalam. "Kamu juga hati-hati di rumah. Ingat! Tidak boleh ke mana-mana, okey!" Bianca memutar bola matanya. "Memangnya aku mau ke mana? Palingan juga cuma sama Mona bahas tanda merah ini," ujar Bianca, yang langsung ditertawakan oleh Christina. "He he, kamu ini selalu berhasil membuat perut Oma sakit tertawa terus, Bi, he he. Ya sudah, Oma berangkat, ya. Pesan Oma, jangan terlalu capek-capek dan harus banyak istirahat agar kecebong Alex cepat jadi, okey!" Bianca menautkan kedua alisnya. "Kecebong? Kecebong apa, Oma?" Cup! Alex mengecup bibir Bianca dan menyuruh sang istri untuk segera masuk. Alex yakin jika Bianca tahu, dia akan tambah malu. Jadi, sebelum Bianca uring-uringan karena malu, Alex menyuruh sang istri untuk masuk terlebih dahulu. Christina masih tertawa begitu enak karena Bianca. "Ya ampun, kenapa kamu baru menemukan wanita seunik dia sih, Alex? Coba dari dulu kamu menemukan wanita sepertinya, mungkin Oma akan awet muda." Christina kembali tertawa, sedang Alex sendiri hanya senyum-senyum sendiri mengingat polosnya Bianca. "Selain unik, kamu juga ngangenin, Bi. Pokoknya kamu berbeda dari wanita lain," ujar Alex dalam hatinya, lalu menutup kaca mobilnya setelah Bianca pun sudah tidak terlihat. "Mon." "Iya, Nyonya. Apa Anda menginginkan sesuatu?" Mona begitu siaga. "Apa kamu tahu arti kecebong?" Mona sedikit terbelalak. "Hah? Kecebong, Nyonya?" "Heem, tadi Oma bilang aku tidak boleh kecapean agar kecebongnya Kak Alex cepat jadi. Serius, Mon, aku nggak ngerti apa maksud Oma, sih?" Bianca masih berpikir keras apa arti ucapan Christina tadi. "Apa Kak Alex lagi bikin kecebong?" Mona menggaruk pipinya yang tak gatal. "Hhmm ... itu, Nyonya." Mona bingung karena takut salah bicara. "Mungkin Nyonya bisa tanyakan nanti sama Tuan Alex. Biar lebih detail, gitu. He he." Bianca memelankan jalannya lalu terdiam sejenak. "Iya juga, ya. Ya sudahlah, sekarang kamu bantu aku hilangin tanda ini ya." "Siap, Nyonya." Mona pun lega karena akhirnya Bianca tidak bertanya panjang lebar tentang apa itu kecebong yang dimaksud sang nyonya besar. "Aduuh, apa iya Nyonya ku sepolos ini? Enak banget dong Tuan Alex dapetin yang masih original, sedangkan dirinya sudah pasti banyak celup sana celup sini," gerutu Mona dalam hati seolah tidak rela nyonyanya tidak mendapatkan yang original juga. Tiba di kamarnya, Bianca duduk di depan cermin seperti yang diperintahkan oleh Mona. "Kamu bener ya bisa ngilangin ini tanda, Mon? Karena sebenarnya aku juga gerah, he he." Mona tersenyum lebar mendengar ucapan sang Nyonya yang selalu saja apa adanya. "Untuk menghilangkan secara permanen, saya tidak bisa, Nyonya. Tapi saya akan bantu Nyonya untuk menyembunyikan tanda-tanda ini dengan menggunakan ini." Mona pun mencoba mengoleskan 1 cream yang bertuliskan foundation. "Nah, coba Nyonya lihat sekarang. Enggak kelihatan, kan?" Bianca menatap takjub pada hasil kerja Mona. "Wah, kamu memang hebat, Mon." Sejenak Mona terdiam. Mona berpikir tentang bagaimana sebenarnya kehidupan Bianca sebelum memasuki kehidupan Alex. Sebab, di era dan di zaman yang serba ada seperti sekarang, sangat sulit dimengerti seorang perempuan tidak tahu cara menyembunyikan suatu noda di wajah ataupun di tubuhnya. Padahal cream semacam itu sangat banyak dan mudah dijumpai. "Nyonya, apa yang Nyonya pakai untuk perawatan wajah?" tanya Mona dengan kembali mengoleskan cream tadi ke bagian yang lain. Bianca tidak langsung menyahuti pertanyaan Mona. Sejenak Bianca teringat pada kehidupannya bersama Melinda juga kedua orang tuanya. Dimana Bianca tidak pernah memikirkan bagaimana dirinya mempercantik diri. Sebab, hidup Bianca begitu sibuk dengan kehidupan Kakak juga kedua orang tuanya. "Aku tidak pakai apa-apa, Mon. Aku hanya sabun cuci muka dan bedak murah saja yang terpenting kulitku tidak terlalu terlihat kusam," ujar Bianca sedikit sendu. Mona kembali terdiam karena sudah bisa menebak jawaban Bianca. "Hhmm ... kenapa harus yang murah, Nyonya? Bukankah perawatan wajah itu begitu penting? Bahkan banyak wanita yang menghalalkan segala cara untuk mempercantik penampilan, terutama wajahnya." Terdengar helaan napas panjang dari Bianca. "Mau bagaimana lagi, Mon? Aku bukan orang kaya, mana bisa aku lebih memperhatikan penampilanku daripada perutku." Mona kembali menghentikan pekerjaannya pada tanda merah milik Bianca. "Tapi, Nyonya. Maaf, saya rasa Nyonya Melinda begitu memperhatikan penampilannya. Bukankah kalian ini hidup dalam satu keluarga?" Bianca menunduk. "Itu lah sebabnya, Mon. Uangku selalu habis diminta olehnya. Untuk ini lah, untuk itulah, belum lagi keperluan Mamah. Eh, kok aku jadi curhat sih, Mon?" Mona tersenyum lebar mendengar ucapan Bianca. "Tidak apa-apa, Nyonya. Tenang saja saya tidak ember kok, Nyonya bisa cerita apa saja pada saya. Rahasia Anda, aman." Bianca menatap Mona dengan alis yang ditautkan. "Ck, enggak ah. Aku takut kamu bocor. Lagipula aku takut kalau aku curhat sama kamu malah ganggu waktu kamu, Mon. soalnya, ya ... terlalu banyak hal yang perlu aku curhatkan, ha ha." Mona ikut tertawa renyah mendengar sang nyonya yang lepas. "Mana ada Anda mengganggu waktu saya, Nyonya. Sudah saya bilang Tuan Alex menggaji saya hanya untuk melayani Anda. Jadi tidak ada waktu saya yang terganggu oleh Nyonya jika Nyonya memang membutuhkannya apalagi hanya untuk curhat." Bianca kembali menatap Mona. "Mon, apa ini seriusan? Masa Kak Alex gaji kamu hanya untuk melayani aku sih?" Mona memperlihatkan leher Bianca yang sudah terlihat bersih dari tanda-tanda kepemilikan Alex. "Sudah selesai, Nyonya." Mona pun menatap wajah Bianca di cermin. "Coba Nyonya pikir tanda-tanda merah yang ada di tubuh Nyonya. Memangnya apa arti semua itu jika bukan karena Tuan Alex mencintaimu, Nyonya. Tuan Alex ini orang kaya raya, apalah arti uang untuk seorang Alex jika dipakai untuk membahagiakan orang yang dicintainya." Bianca menatap wajahnya di cermin itu. sungguh Bianca masih tidak percaya jika Alex benar-benar mencintainya. Padahal awal pertemuan mereka sangatlah kurang baik. "Jujur, aku masih tidak percaya, Mon." Tok! Tok! Tok! Mona dan Bianca menoleh pada arah suara. "Bentar saya buka dulu, Nyonya." "Maaf, Nyonya, di bawah ada Nyonya Renata. Katanya beliau ibu dari Nyonya Bianca dan ingin bertemu dengan Nyonya. Apa Nyonya bersedia?" "Apa? Mamah di bawah?" Bianca baru ingat jika kedua orang tuanya pasti sudah kembali karena Melinda pun sudah kembali. "Nyonya, jika Anda tidak ingin menemuinya, kami bisa menyuruhnya pergi," ujar Mona yang sudah tahu bagaimana perlakuan orang tua Bianca. "Jangan, Mon. Aku akan temui dia, walau bagaimanapun dia Mamahku." Mona sedikit kesal karena Bianca masih saja peduli pada orang tuanya yang jahat. "Baiklah. Suruh dia tunggu di bawah, Sus. Nyonya Bianca sebentar lagi turun." "Baik, Nyonya." Bianca menarik nafasnya lalu menghembuskannya perlahan. "Semoga dia tidak bikin ulah di sini." Bianca pun turun ditemani Mona. Raut wajah Renata terlihat tidak bersahabat ketika Bianca datang. Mungkin wanita itu tidak suka karena Bianca menjadi Nyonya sungguhan di rumah itu. Wanita itu menghampiri Bianca. Plak!! "Nyonya!!" Mona terkejut. Renata menampar pipi Bianca. "Dasar anak tidak tahu diri! Kembalikan Alex pada Melinda!" Bianca meraba pipinya yang terasa perih. Entah kesalahan apa yang diperbuat Bianca sehingga sang ibu selalu memperlakukannya tidak baik. Bahkan, saat dirinya tidak melakukan kesalahan pun, tetap saja Bianca yang selalu disalahkan.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD