Setelah kemarin beristirahat sehari penuh, pagi ini Isla kembali ke rutinitasnya.
Ia tengah bersiap, memastikan penampilannya terlihat memesona. Hari ini pilihan Isla jatuh pada sebuah kemeja putih dengan bahan katun linen yang nyaman. Kemeja itu berkerah V dan berlengan panjang dengan pemanis brukat berwarna senada di pinggir-pinggir lengannya. Atasan cantik itu kemudian Isla padankan dengan umbrella skirt berwarna abu-abu kebiruan sepanjang tepat di bawah lutut.
Merasa busana pilihannya terlihat menggemaskan, Isla beralih ke wajah dan rambutnya. Wajah cantiknya hanya ia beri polesan tipis riasan berwarna hangat, sementara rambut panjang legam nan selembut sutra itu hanya ia ikat sebagian dan membiarkan sisanya tergerai begitu saja.
Paripurna!
Isla meraih canvas bag berwarna senada dengan rok yang ia gunakan, menyampirkannya di pundak, lalu melangkah meninggalkan kamar berukuran 3 x 3 meter persegi tempatnya bernaung di kota ini.
Derap langkah kaki yang tertutupi Oxford Women flat shoes berwarna beige terdengar samar. Isla menganggukkan kepalanya sopan pada orang-orang yang menatapnya seraya tersenyum hangat.
“Wih! Anak SMA mana, dek? Lagi study tour? Kenalan dong!” goda Kane yang sedang bersandar di meja salah satu nurse station sebelum jam jaganya.
Semua perawat yang ada di sana menoleh, turut menatap hangat pada Isla.
“Mau ketemu dokter Lies, beliau praktek jam delapan kan?”
“Lho, bukannya lo nge-handle paru dan jantung?”
“Iya. Kan mau nginfo obat TB anak.”
“Oh, I see.”
“Udah sehat La?”
“Udah kok.”
“Jadi, apa gue udah bisa dapet informasi kenapa dini hari kemarin gue kedatangan pasien dengan diagnosa dispepsia dan vertigo?”
“Kepo aja lo Dok!”
Tawa Kane malah menyembur mendengar jawaban Isla.
Isla yang sedari tadi fokus memandang lurus ke depan tak menyadari jika pria lain menyimak semua kata yang keluar dari mulutnya.
“La!” panggil Kane lagi, berbisik.
Isla menaikkan kedua alis matanya.
“Ji Sung!” bisik Kane seraya mendelik ke samping, ke posisi dokter lain yang juga berada di nurse station itu.
“Itu?”
Kane mengangguk tegas.
Tepat saat dokter itu akan melangkah, Isla berbalik, bergegas mengejarnya.
“Dokter Zhen!” panggil Isla.
Zhen menghentikan langkah, sementara Isla mensejajarkan langkah dan berdiri tepat di samping pria berpostur sempurna itu.
Tak ada satu kata pun yang Zhen ucapkan, ia hanya menatap Isla lekat.
Isla tertegun saat menyadari warna iris Zhen, persis seperti warna manik mata seorang dokter yang menegurnya di pintu IGD beberapa waktu lalu. Apakah itu berarti Isla sudah pernah bertemu dengan Zhen sebelumnya?
“Anda memanggil saya hanya untuk melihat Anda melamun?”
Isla menggelengkan kepalanya, menyadarkan diri segera.
“Maaf, Dok.”
“Anda membuang waktu saya!”
“Tunggu!” sergah Isla begitu Zhen bersiap meninggalkannya.
“Terima kasih, Dok. Terima kasih sudah membantu dan merawat saya dini hari kemarin,” ulang Isla.
Zhen kembali menoleh. Tak ada suara. Hanya tatapannya yang begitu dingin dan mengintimidasi.
“BMI normal berada di kisaran 18,5-25.”
Isla mengerutkan keningnya, belum bisa menangkap maksud ucapan Zhen.
“Seorang sarjana kedokteran seharusnya paham maksud saya! Dan paham, jika dispepsia adalah gejala, bukan penyakit!”
Isla otomatis mengangkat kedua sudut bibirnya, sementara tatapan Zhen semakin sinis. Isla sangat mengerti, Zhen menyindit BMI-nya karena memang Isla terlalu kurus, dan Zhen juga menekankan jika dispepsia adalah gejala dan bukan penyakit dengan maksud agar Isla menghindari pencetus dispepsia itu sendiri.
Tak ingin membuang waktu lagi, dokter yang memang benar setampan Ji Sung itu memalingkan wajah lalu pergi meninggalkan Isla dan cengirannya.
‘Pengukir sejarah banget lo, La! Segala Ji Sung lo muntahin!’
***
Isla masih terdiam di balik salah satu pilar di basement dua gedung rumah sakit itu. Ia tak lagi menangis, tak juga merasa geram. Hanya perasaan kosong yang mengisi relung asanya.
Pertengkaran pertama dan terakhirnya dengan Oki tadi hanya melegakan sesaat saja. Begitu amarah itu mereda, hatinya berubah kelabu kembali.
‘Kenapa jadi begini?’
‘Kenapa kesederhanaanku menjadi hina di matanya?’
‘Kenapa aku bisa menghabiskan lima tahun terakhirku untuk mencintai orang yang salah?’
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benak Isla.
Zhen yang baru saja akan masuk ke dalam mobilnya justru tertegun kala mendapati Isla yang berjongkok tepat di samping pintu penumpang sedan mewahnya. Ia sudah berdehem beberapa kali namun Isla tetap tenggelam dalam dunianya sendiri.
“Isla!”
Isla masih diam.
Zhen mendengus keras. Mulai kehabisan kesabaran. Ia mengambil pulpen yang ia sangkutkan di sakunya, mencolek Isla dengan ujung belakang pulpen itu.
“Astaghfirullah,” lirih Isla. Ia menoleh, mengangkat pandangannya, beradu tatap dengan Zhen.
“Dok?”
“Saya mau masuk mobil saya. Apa Anda keberatan menyingkir?”
“Oh, maaf Dok. Saya ga tau ini mobil Anda,” ujar Isla seraya berdiri dari posisinya. Isla mengamati BMW 8 Series Gran Coupé berwarna black sapphire metallic itu, dan di saat yang sama perasaan rendah diri menyerangnya kembali.
'Apa yang Oki bilang benar? Gue ga selevel dengan mereka?'
“Nona Isla!” tegur Zhen lagi. Ia menutup kedua matanya, memijit pangkal hidungnya. Terganggu dengan sikap Isla yang bolak balik melamun.
“Ah iya. Maaf, Dok.”
Isla menyingkir dari posisinya, bergeser memberi jalan bagi Zhen. Herannya, Zhen sama sekali tak bergerak.
Sedetik.
Dua detik.
Tiga detik.
Menyerah! Zhen menggelengkan kepalanya, menambah langkah dan menggenggam handle pintu. Ia pikir ada yang ingin dibicarakan oleh Isla. Alasan apa lagi yang bisa membuat seorang medical representative jongkok di samping mobil seorang dokter jika bukan untuk membuat janji temu ataupun meminta waktu melakukan presentasi?
“Dok,” tegur Isla kembali.
“Apa Dokter ada waktu untuk saya? Ada beberapa obat baru yang ingin saya perkenalkan ke Dokter.”
Entah mengapa, suara Isla terdengar begitu menyedihkan di telinga Zhen. Tapi jika itu karena dirinya yang terus saja mangkir, rasanya Isla bukan perempuan pejuang selemah itu.
“Kapan saja. Lima belas menit pun tak apa, Dok,” ujar Isla lagi.
Padahal, saat Isla tak terlihat di rumah sakit kemarin, seorang kolega Isla berhasil mendapatkan waktunya. Zhen sudah tau obat apa yang ingin dijelaskan Isla. Hanya saja, perempuan itu bernama Susan, bukan Isla. Jadi Zhen masih menahan form kunjungan dan persetujuan pemesanan obat-obatan tersebut. Ada yang salah, kolega Isla berbuat culas, dan Zhen tau itu.
“Saya harus ke bandara sekarang. Anda punya waktu sekitar satu atau dua jam jika Anda mau,” ujar Zhen acuh.
Di tengah kesialannya hari ini, mendengar Zhen menawarkannya waktu sungguh terasa seperti angin surga.
“Mau, Dok!”
‘Ya Allah ini cewek ga ada takutnya gue ajak semobil.’
Zhen membuka pintu, meminta Isla naik terlebih dulu sebelum ia menyusul dan duduk tepat di samping Isla.
“Selamat siang, Nona Isla,” sapa Efendi, supir pribadi Zhen yang duduk di balik kemudi.
Isla mengerutkan keningnya, merasa heran mengapa sang supir bisa mengenalnya? Rasanya Isla belum pernah bertemu dengan pria itu. Ia hanya mengangguk sopan yang tertangkap dari kaca spion tengah. Lalu, Isla menoleh, menatap Zhen yang duduk seraya menyandarkan kepalanya dan menutup mata.
“Siapa yang ga kenal Jisoo?” gumam Zhen, seolah ia mengerti mengapa Isla melayangkan pandangan padanya.
Isla paham, ya siapa yang tidak kenal dengannya jika ia bersahabat dengan pria terheboh di manapun pria itu menjejakkan kaki.
“Kita berangkat sekarang Pak?” tanya Efendi pada Zhen. Zhen menganggukkan kepalanya.
“Hokben dulu, saya lapar,” pinta Zhen.
Isla hampir saja terkekeh. Merasa aneh dengan selera Zhen, yang sebenarnya juga makanan favorit Isla.
‘Hokben?’
“Kenapa? Kamu ga doyan Hokben?” tanya Zhen menanggapi tatapan Isla.
‘Kamu?’
“Doyan, Dok.”
“Hmm! Mengingat perutmu yang berulang kali bunyi saat jongkok tadi, rasanya makanan apapun yang saya tawarkan pasti kamu suka!”
Isla membelalak.
“Apa Dok? Perut saya bunyi?”
“Saya heran bisa-bisanya kamu melamun tak sadarkan diri dengan perut yang bunyinya sekencang itu.”
Isla memberengut, Efendi terkekeh, sementara Zhen tetap menjaga kesan dinginnya.
“Ga mungkin! Dok---”
Isla membelalak kedua kali. Ternyata benar apa yang Zhen katakan. Perutnya berbunyi nyaring. Memalukan sekali.
‘Astaghfirullah. Ancur bener image gue!’
“Bisa sambil saya jelaskan sekarang, Dok?” tanya Isla, bermaksud mengalihkan topik hangat dari bunyi perutnya yang menggelegar.
“Nanti saja. Saya lapar. Dan saya ga mau menanggung resiko jika pasien dispepsia memuntahkan asam lambung kembali di tubuh saya!”
Isla memberengut. Belakangan ini semesta serasa sedang mengutuknya. Ia menggeser posisinya, semakin merapat ke sisi pintu, memalingkan wajah menatap jalanan ibu kota yang cukup padat dan panas siang itu.
Isla tak paham, jika yang Zhen maksud adalah ‘makanlah dulu Isla, agar dirimu tak kembali sakit.’