Bab 4

1190 Words
"Apa ini, Fit. Kenapa nunjukin onderdil aku?" tanya Mas Akmal pura-pura tidak tahu. "Aku menemukannya di kamar Dewi, kenapa barang ini ada di kamar dia?" Aku balik bertanya. Mas Akmal tertawa, menunjukkan deretan giginya yang tertata rapi. "Sepertinya kamu butuh piknik, Fit. Otaknya terkontaminasi hal-hal aneh terus. Semalam kamu dua kali ndobrak pintu Dewi. Nuduh adik kamu sendiri melakukan perbuatan tidak bermoral. Sekarang, kamu malah nunjukin kandang burung aku dan bilang nemu di kamar Dewi!" Dia kembali tertawa. Ya Tuhan, apa semua penemuanku dianggap lucu olehnya? Aku benar-benar dibuat penasaran dan hidup dipenuhi prasangka oleh mereka berdua. "Mas, apa Mas punya hubungan spesial sama Dewi?" Menatap lekat mata suamiku. "Ya Allah, Efita Adriani. Kamu itu ngomong apa sih. Jangan ngawur ah!" elaknya. "Terus, kenapa barang ini ada di kamar Dewi?" "Itu, lagi. Ya Mas mana tahu. Udah, ah, nggak usah bahas yang aneh-aneh. Kita tidur saja, sudah malam." Dia merangkul pundakku dan membimbingku untuk segera tidur. Malam ini, aku sengaja minum segelas kopi supaya tetap terjaga dan memergoki Mas Akmal saat masuk ke kamar Dewi. Jarum jam sudah menunjuk ke angka dua belas malam. Aku menoleh ke arah Mas Akmal dan dia masih terlelap di sampingku. Aku juga tidak mendengarkan suara-suara aneh seperti malam sebelumnya. Lamat-lamat terdengar suara adzan subuh berkumandang. Aku masih saja terjaga karena pengaruh kopi yang aku minum sebelum tidur. Segera kubangunkan Mas Akmal kemudian menyuruh laki-laki beralis tebal itu melaksanakan ibadah dua rakaat. Entah berapa lama dan kapan aku tertidur, tetiba saat bangun jarum jam sudah menunjuk ke angka 12:30. Aku segera turun dari tempat tidur, membasuh tubuh di kamar mandi lalu segera keluar dari kamar karena perutku sudah keroncongan. Aku membuka kitchen set kemudian mengambil sebungkus mie instan rasa ayam bawang. Setelah itu memotong cabai serta sayuran dan merebusnya secara bersamaan. Bau harum mie rebus menguar membuat perut ini bertambah lapar. Dewi melintas di depanku tanpa menyapa atau sekedar menoleh ke arahku. Dasar adik tidak ada akhlak. Sudah mulai berani rupanya dia sama kakaknya. "Mau kemana, Wi?" tanyaku seraya menggulung mie di garpu. Hening. Dewi tetap diam dan langsung menyelonong pergi entah kemana. Aku mengambil gawai yang berada di atas nakas dan menyalakannya. Ada beberapa puluh pesan dari grup alumni SMA, juga pesan dari Mas Akmal suamiku. [Fit, malam ini aku pulang telat lagi, ya. Kamu kalau mau tidur dulu nggak apa-apa. Mungkin Mas pulang jam sepuluh atau jam sebelas malam] aku menyentak nafas kasar. Karena curiga, selepas isya aku mendatangi toko elektronik milik Mas Akmal. Aku lihat mobil laki-laki berusia tiga puluh tahun itu masih berada di parkiran. Berarti dia memang tidak pergi kemana-mana. Tapi, kenapa harus pulang larut malam kalau toko sudah tutup. Apa dia tidak rindu dengan aku. Atau, posisiku di hatinya benar-benar sudah digantikan oleh Dewi? Ya Tuhan. Tiba-tiba d**a ini terasa sakit dan sesak sekali. Aku tidak akan sanggup jika ternyata Mas Akmal benar-benar main belakang dengan adik kandungku. Aku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tanganku. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan. Aku lekas memesan taksi online dan pulang ke rumah sebelum Mas Akmal sampai di kediaman kami. Saat hendak membuka kunci, aku dikejutkan oleh siluet hitam di samping rumahku. Penasaran, aku mengendap masuk dan melihat siapa yang berada di samping rumahku malam-malam seperti ini. Tidak ada orang. Aku benar-benar merasa aneh dengan apa yang sedang terjadi akhir-akhir ini. Apa jangan-jangan benar apa kata Mas Akmal, kalau aku itu hanya kurang piknik saja. Aku menghela nafas dalam-dalam sambil memijat-mijat kepalaku yang terasa sedikit pusing dan berputar. Setelah semuanya terasa rileks, aku masuk ke dalam rumah, mengambil sebotol air mineral lalu meneguknya hingga tandas. Tidak lama kemudian terdengar suara deru mesin kendaraan memasuki parkiran rumahku. Aku segera mengganti pakaianku dengan baju kebangsaan, lalu segera keluar membukakan pintu. "Kamu kok belum tidur, Fit?" tanya Mas Akmal sembari mencium puncak kepalaku. "Belum, nungguin kamu!" jawabku jutek. Mas Akmal mencubit hidungku dengan gemas. Andai saja moodku sedang bagus, sudah barang tentu diri ini langsung melingkarkan kedua tangan di pinggang suamiku dan bermanja-manja ria. Ah, Mas, Dewi, kenapa kalian membuat diriku selalu menerka-nerka apa yang sebenarnya sedang terjadi. "Kamu kenapa, sih?" Laki-laki dengan garis wajah tegas tersebut menangkup wajahku dan mengunci mata ini dengan tatapannya. Ada rasa rindu menelusup dalam qolbu, ketika pandangan kami saling bersirobok. Aku merindukan Mas Akmal yang dulu. Senyumnya, tatapannya, pokoknya aku tidak rela jika harus berbagi suami dengan adikku. Mas Akmal harus segera memilih aku atau dia yang akan menemaninya sampai tua nanti. "Efita, tolong percaya sama aku. Aku tidak pernah menghianati kamu!" Mas Akmal menarik tubuh ini ke dalam pelukannya, seperti mengetahui isi hatiku. *** Aku terus memindai wajahku di depan cermin. Masih terlihat cantik, apalagi aku termasuk orang yang memiliki wajah baby face. Banyak yang mengira kalau aku masih berusia sembilan belas tahun karena aku imut dan juga menggemaskan. Tetapi, kenapa Mas Akmal malah berpaling dariku. Sebenarnya salah aku ini apa? Apa mungkin karena aku belum bisa memberikan keturunan? tapi, bukannya Mas Akmal sendiri yang mempunyai masalah kesuburan, dan dia tahu akan hal itu. 'Ya Allah!' aku mengacak-acak rambutku, persis seperti orang stres. Lama-lama bisa gila beneran aku ini. Aku tidak boleh terus-menerus meratapi kemalangan diri ini. Lagian, belum tentu juga Mas Akmal melakukannya. Kucoba melawan semua prasangka buruk yang selalu menggerogoti hati. Aku ingin berprasangka baik, agar nasib rumahtanggaku juga tetap baik. Lekas diri ini beranjak ke kamar mandi dan membersihkan diri dari hadas besar, karena menstruasiku sudah selesai. Setelah itu mengambil wudhu dan segera mengadukan semua masalahku kepada Sang Maha Pemurah, lagi Maha Penyayang. Air mata kembali menetes tanpa bisa aku tahan. Rasa sakit yang mendera hati semakin menyiksa diri. Berkali-kali aku beristighfar, memohon supaya hati ini selalu dibersihkan dari segala pikiran kotor. laa haula wa laa quwwata illa billah. Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Aku terus mengucap hauqalah sambil memejamkan mata yang terasa memanas. "Fit?" Aku terkejut ketika tiba-tiba tangan kekar Mas Akmal melingkar di pundakku. Pria berhidung bangir itu tersenyum lalu mengusap pipiku dengan lembut. Sejak pengantin baru hingga sekarang Mas Akmal memang selalu memanjakanku. Tapi, ah, aku mulai meragukan cintanya gara-gara benda menjijikkan yang aku temukan di kamar Dewi. "Kamu sudah sholat, Fit. Berarti kita bisa ...." Dia mengerling nakal ke arahku, menggosokkan hidung kami lalu menggendongku. Aku menatap lekat manik coklat milik Mas Akmal. Memejamkan mata berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi, dan ketika aku teejaga, semuanya ternyata baik-baik saja. Pelan-pelan aku membuka mata, mengerjap lalu mengucek mataku yang terasa masih mengantuk. Adzan subuh sudah menggema, menyerukan semua umat muslim untuk bangun dan melaksanakan ibadah wajibnya. Bergegas diri ini masuk ke dalam kamar mandi, mengambil wudhu, membaca doa mandi wajib kemudian segera membasuh badan yang terasa lengket semua. Setelah selasai menjalankan ibadah wajib dua rakaat, aku segera keluar dari kamar untuk menyiapkan teh buat Mas Akmal sepulang dari musholla. Pasti saat ini dia sedang pergi ke surau untuk menjalankan ibadah sholat subuh berjamaah. Sebab, suamiku tercinta sudah tidak ada di atas peraduan ketika aku bangun tadi. "Allahu akbar! Allahu akbar!" Baru saja menyalakan kompor dan meletakkan panci, terdengar suara teriakan di samping kamar Dewi. Sepertinya jebakanku sudah mengenai sasaran. Aku segera berlari ke samping rumah dan melihat siapa gerangan dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD