Bab 2

885 Words
Penasaran, aku turun dari tempat tidur lalu mendekati kamar adikku. Terdengar suara desahan saling bersahut-sahutan di dalam sana. Aku semakin penasaran dan ingin mencari tahu siapa yang bersama Dewi sekarang. "Wi, Dewi!" teriakku sambil mengetuk pintu. Suara aneh itu tiba-tiba berhenti. Aku mengetuk kamar Dewi berkali-kali, tetapi gadis berkulit putih itu tidak kunjung membukakan pintu. "Ada apa, Fit?" tanya Mas Akmal yang baru saja datang entah dari mana. "Kamu dari mana saja, Mas. Sudah jam dua belas malam baru pulang?" cecarku, menatap lelakiku curiga. "Tadi ketiduran di toko, Fit!" jawabnya seraya mengusap rambut. "Mas, tadi aku denger suara aneh di kamar Dewi. Tolong kamu dobrak kamar dia, Mas!" titahku. Belum sempat Mas Akmal mendobrak pintu kamarnya, Dewi keluar menggunakan piama sambil menggaruk kepala. Aku lihat kamar Dewi begitu berantakan, persis seperti hari kemarin. Aku menyelonong masuk dan memeriksa kamar adikku. Tidak ada siapa-siapa. Segera kusibak hordeng kamarnya dan ternyata jendelanya setengah terbuka. "Kemana laki-laki yang bersamamu tadi, Wi?!" tanyaku masih mencoba mengontrol emosi. "Laki-laki, maksud kakak apa, sih?" jawab Dewi pura-pura tidak tahu. Aku terus mencari-cari di lantai serta tempat tidur Dewi. Pasti mereka meninggalkan jejak di sini. Aku harus menemukannya dan mendesak Dewi supaya mengatakan siapa laki-laki yang masuk ke dalam kamarnya tadi. "Kamu nyari apa, Fita?" tanya Mas Akmal seraya menutkan alisnya. "Kemarin aku nemu alat kontrasepsi di kamar ini, Mas. Aku juga nemu ko***m bekas pakai di kamar mandi Dewi!" terangku, sudah tidak bisa lagi menyimpan rahasia dari Mas Akmal. "Sudah, mungkin kamu salah liat, Fit. Dewi tidak mungkin berbuat seperti itu!" bela Mas Akmal. "Emangnya aku anak kecil, Mas. Biarpun kita nggak pernah make begituan, tapi aku bisa baca, Mas!" aku menaikkan nada bicaraku satu oktaf. Mas Akmal merangkul pundakku dan membimbingku keluar dari kamar Dewi. Aku merasa heran, kenapa dia terlihat santai menanggapi masalah ini, padahal aku sudah takut setengah mati kalau dia akan marah-marah dan langsung mengusir Dewi. "Mas, kok kamu bisa salah ngancing baju begini?" ucapku seraya memperhatikan kancing bajunya yang dipasang tidak pada tempatnya. "Iya, tadi buru-buru pas mandi di tempat kerjaan!" jawabnya sembari membuka kemeja dan meletakkan baju itu di keranjang. Aku hanya ber 'oh' ria karena jujur, aku merasa aneh saja dengan sikap Mas Akmal akhir-akhir ini. "Aku mandi dulu ya, Fit. Badan aku gerah banget!" "Mandi? ini sudah tengah malam loh, Mas!" aku mengernyitkan dahi, heran. "Iya, nggak apa-apa kan, kalau aku mandi jam segini. Soalnya gerah banget!" "Ya sudah, aku mau tidur lagi. Kamu habis mandi langsung tidur ya, Mas!" "Iya." Bergegas diri ini naik ke atas kasur dan merebahkan bobotku karena sudah terasa lelah. Lagi-lagi bayangan adikku sedang bersama seorang laki-laki menari-nari dalam benakku. Aku mengacak rambut, frustasi. "Mas, mandinya sudah apa belum?" teriakku sembari mengetuk pintu. Hening. "Mas!" teriakku lagi. Tidak ada jawaban. Aku memutar gagang pintu dan ternyata Mas Akmal sudah tidak ada di dalam kamar mandi. Cepat-cepat aku keluar dari kamar dan berjalan menuju kamar Dewi. Aku menempelkan telingaku di daun pintu, dan kembali mendengar suara menjijikkan itu. Karena rasa penasaran yang begitu besar aku segera mengambil linggis yang ada di gudang dan mencongkel kamar Dewi. Entah mendapat kekuatan dari mana hingga aku mampu membongkar paksa pintu kamar adikku. Lagi dan lagi, tidak ada yang aku temukan di kamar Dewi. Bahkan kali ini, aku lihat Dewi sedang tertidur pulas. Aku mengusap wajah kasar sambil beristighfar. Ketika aku menoleh ke arah jendela, aku melihat sekelebat bayang di balik tirai. Segera diri ini membuka jendela dan melongok siapa yang baru saja berdiri di balik jendela adikku. Dan, tidak ada seorangpun diluar sana. Ya Allah, aku benar-benar frustasi dibuatnya. Lama-lama bisa gila kalau terus-terusan seperti ini. Aku keluar dari kamar Dewi dan menutup pintunya kembali lalu segera ke kamar pribadiku. Aku lihat Mas Akmal sedang duduk di atas ranjang. Dia terlihat sangat kelelahan, tubuhnya di penuhi peluh. Jangan-jangan? 'Tidak-tidak, aku nggak boleh suudzon sama Mas Akmal. Dia tidak mungkin melakukan hal sekotor itu' "Kenapa, Fit?" tanya Mas Akmal terlihat heran. "Kamu darimana, Mas?" aku balik bertanya. "Aku dari tadi di sini, emangnya kemana?" "Aku tadi nyariin kamu di kamar mandi, Mas. Tapi kamu nggak ada!" "Oh, tadi aku ke dapur sebentar. Aku laper, mau masak mie instan tapi nggak jadi." Laki-laki bertubuh tinggi besar itu kemudian membungkus tubuhnya dengan selimut. Aku lekas naik ke atas pembaringan kemudian tidur di sebelah suamiku. *** Esok harinya, setelah Mas Akmal dan Dewi pergi, aku segera meriksa jendela dan memakunya dari luar. Aku benar-benar penasaran, sebenarnya siapa laki-laki yang bersama adikku semalam. Karena aku yakin, semalam aku tidak bermimpi ataupun berhalusinasi. Semua yang aku dengar begitu jelas serta menjijikkan. Setelah selesai memaku jendela, bergegas diri ini memanggil tukang untuk membetulkan pintu kamar Dewi. Sambil menunggu tukang datang, aku masuk ke dalam kamar Dewi lalu mengecek isi lemarinya. Tidak ada yang mencurigakan. Hanya ada baju-baju serta tasnya, juga beberapa selimut yang ia letakkan di dalam lemari tersebut. Aku kemudian membuka laci meja riasnya, namun, belum sempat aku melihat isi laci Dewi, mataku justru terfokus pada dalaman berwarna coklat yang ada di kolong meja. Cepat-cepat aku mengambil sarung tangan dan memungut CD itu. Dadaku bergemuruh, jantungku berdegup tidak karuan. Kenapa benda ini mirip punya Mas Akmal, warna dan sizenya juga sama. Ya Tuhan, apa jangan-jangan dugaanku selama ini benar. Kalau memang iya Mas Akmal menghinatiku, aku tidak akan tinggal diam. Aku juga tidak sudi berbagi suami dengan adikku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD