"Kilaaaa!" Teriakan Ibunya begitu melengking, lalu tidak lama kemudian pintu kamarnya terbuka kasar. Membuat Akila yang sudah hampir terlelap itu kembali membuka matanya dan menghela napas melihat ibunya histeris.
"Ibu kenapa sih? Kila mau tidur, besok jadwal kuliah pagi, Bu," ucap Akila membalikan badan hendak kembali tidur.
Namun Bu Nenti menarik selimut anaknya supaya Akila kembali membuka matanya.
"Ibuuu!"
"Kamu tau gak bapak mertua kamu kayak gimana?"
"Calon," ucap Akila mendudukan dirinya, dia menelan ludahnya kasar. Kali ini pasti ibunya sudah mengetahui kalau Brian bukanlah anak kandungnya. Membuat Akila penasaran bagaimana reaksi ibunya. Apakah mereka akan tetap memberikannya izin meskipun mengetahui kalai Brian bukanlah anak kandung dari pengusaha itu. "Ibu tau?"
"Brian anak adopsi?"
Akila mengangguk, dia memegang tangan sang Ibu, mencoba meminta dengan bahasa tubuh kalau jangan merubah apapun. "Kak Brian cerita tadi siang, dia mau aku denger ceritanya dari dia sendiri. Ibu gak masalah kan? Masih akan tetep izinin kami nikah?"
"Ya, jelaslah. Ibu lihat sendiri gimana Pak Kris begitu menyayangi Brian seperti anak kandungnya. Tapi, Ibu rasa kalian harus pisah kalau sudah menikah, Pak Kris ganteng sangaaaat."
Akila berdecak, dia tahu tipe tampan ibunya. Tidak beda jauh dari sang Ayah yang sedikit buncit, kepala agak botak dan juga dengan suara tawa khas bapak bapaknya.
"Kila tau gimana gantengnya tipe Ibu, kayak Ayah kan?"
"Bukaan! Asli ganteng banget, Akila. Awas aja kalau kamu kepincut nantinya. Pokoknya dia ganteng banget, baru 37 tahun dia. Belum nikah juga."
"Ya terus?"
"Masih keliatan muda sih, kayaknya punya pacar. Baik baik ya nanti sama calon ibu mertua."
"Ck, jadi juga belum. Santai aja kali, Bu. Kila mau tidur dulu ah."
Bu Nenti menghela napasnya dalam.
"Namanya Kris," bisiknya di telinga Akila yang sudah membalikan badan dan memakai selimut lagi. "Awas kalau nanti kepincut. Jangan lupa masih punya Brian."
"Bu…. Kila kasih tau Ayah nih."
"Iya iya, kalau aja Ibu punya fotonya pasti kamu bakalan klepek klepek."
"Bu, Kila mau tidur."
"Iya, Bawel. Mau tau gak gimana hasil pertemuan tadi?" Tanya Bu Nenti diambang pintu.
"Nggak, mau tau dari Kak Brian aja. Lagian pasti bukan berita buruk, soalnya Ibu juga antusias."
Bu Nentu berdecak. "Dasar yang mau kawin cieee."
"Nikah ibu…"
"Iya iya."
Ibunya keluar dari kamar dan kembali menutup pintu. Membuat Akila kembali membuka matanya, dia menghubungi Brian dengan menelponnya. Ingin tahu bagaimana reaksi calon mertuanya, begitupun dengan Brian yang sedari tadi menghubunginya terus dan menanyakan perihal reaksi ibunya Akila.
Dan Akila juga ingin tahu hasil pertemuan kedua orangtua mereka dari Brian. Karena pacarnya itu 100% dapat dipercaya.
"Hallo, Kila?"
"Kakak, Ibu baru aja pulang."
"Papah juga, dia udah kasih izin. Katanya kita boleh mulai persiapannya."
"Tunangan dulu, Kak?"
"Nikah, Sayang."
Akila terdiam tidak percaya. "Serius?"
"Iya, kita bisa mulai besok ya pulang kuliah. Papah aku udah percayain semuanya sama aku, kita cari W.O yang bagus."
Akila mengangguk senang, dia benar benar akan menikah dengan orang yang dia cintai. Memang dirinya masih muda, tapi untuk apa menunda kebahagiaan?
"Iya, Kak. Aku gak nyangka akhirnya kita…."
"Iya, Sayang. Kakak juga sama, Kakak sayang banget sama kamu. Kakak udah mau ngelamar kamu sejak jauh jauh hari, cuma mau memantaskan diri dulu takut ditolak ayah sama ibu kamu."
Akila tertawa sambil menahan tangisan. "Sayang Kakak banget."
menelpon dengan sang kekasih sampai larut malam, menjadi kegiatan yang membahagiakan untuk Akila. sampai tidak terasa ini sudah tengah malam, Akila menutup panggilannya. kemudian dia berdiri di atas ranjang dan berteriak kencang saking bahagianya.
"Aaaaa! nikah sama Kakakkkkk!"
"Woy! ini udah malem!" teriak seseorang dari samping kamarnya.
akila langsung menutup mulutnya. "Maaf, lupa gak kedap suara!"
itu adiknya yang pasti besok akan menagih makanan karena telah membuatnya terbangun.
****
Sinta mendengar penuturan sahabatnya itu dengan seksama, matanya menatap aneh pada Akila yang terus tersenyum membayangkan kalau dirinya akan menjadi sosok istri dari Brian.
"Lu gak bercanda kan, Akila?"
"Enggak, Sin. Gue serius mau nikah sama Kak Brian."
Akila menceritakannya pada sahabatnya ini, Sinta memang baru mengenal Akila sejak masuk kuliah. Namun mereka menjadi sahabat baik dan dekat. Keduanya sama sama mengambil jurusan ekonomi manajemen, berbeda dengan Brian yang membawa jurusan Ekonomi Bisnis.
"Dengerin ya, gue ngomong ini sebagai sahabat lu. Inget kan dulu gue pernah liat cowok lu jalan bareng cewek blasteran itu?"
Akila berdecak. "Itu temennya, kan dia udah jelasin. Lu jangan manas manasin lagi kejadian itulah, nanti gue ikut nuduh yang enggak enggak. Itu sahabatnya pas kecil.."
"Bukan gitu," ucap Sinta. "Ya lu mikir lah mana ada sahabat yang deketnya kebangetan nyampe cium kening."
Akila berdecak malas, dia ingat kejadian itu dilaporkan Sinta empat bulan lalu. Dimana sahabatnya ini melihat Brian sedang jalan bersama wanita lain. Tapi Brian sudah menjelaskan dan meyakinkan Akila kalau sebenarnya mereka tidak ada apa apa.
"Kak Brian bilang pasti lu salah liat posisi aja jadi seolah nyium kening."
"Gue gak bego ya," ucap Sinta yang mulai malas. "Nikah tuh bukan main main tau gak?"
"Tau, makannya gue mau karena Kak Brian serius sama gue."
"Anjirr lah gak ngaruh. Serius, Akila. Gue serius, gue masih naruh curiga sama itu laki lu. Mau mau aja lu diajak nikah mentang mentang kaya."
"Eh, bukan itu ya alesan gue mau nikah sama dia! Gue sayang sama dia! Nyebelin ah elu mah, gue mau jajan sendiri aja."
"Woy! Tungguin!" Teriak Sinta yang menyusul Akila keluar dari kelas, ini memang jam istirahat. Ada waktu satu jam sebelum kelas kembali dimulai nanti siang. "Tungguin gue, Akila."
"Abis lu nyebelin."
Akhirnya mereka berjalan bersama menuju ke caffe untuk mengisi perut. "Tapi serius, lu gak pernah apa apa sama laki lu?"
"Apa apa apanya sih?"
"Grepe grepe, ciuman?"
"Eh enggak ya! Paling pegangan tangan doang, gue gak mau. Gue mau fresh sampai nikah, khusus suami gue."
Sinta berdehem. "Tapi yang gue liat laki lu bukan tipe yang tahan kalau gak sentuh sentuh."
"Sin, please. Jangan bahas lagi."
"Oke sorry," ungkap Sinta saat mereka memasuki caffe yang ada di depan kampus. Sampau mata Sinta menatap sosok yang tidak asing. "Nah nah, sini lu, Akila. Liat tuh cewek rambut panjang, itu cewek yang sama cowok lu waktu itu."
Mata Akila melihat ke arah wanita yang duduk di bangku sedang menyeruput kopi sambil memainkan ponselnya. Penampilannya jauh dari Akila, dia terlihat lebih dewasa dan modis.
"Kenapa diem lu? Penasaran kan? Mau disamperin?"
"Gas lah."