Jantungku berdetak hebat bukan karena terpesona oleh ketampanannya. Namun, sedikit takut melihat ekspresi tak bersahabat yang tergambar di wajahnya.
Pakaiannya sih, pakaian dokter. Snelli lengan panjang dengan stetoskop yang menggantung di leher menegaskan kalau dirinya memang seorang dokter tapi, kok, ya … pecicilan begini gayanya?
Dokter macam apa dia? Kenapa tampangnya bisa sebengis itu? Kuliah kedokteran di mana dia sebelum ini?
"Kamu nggak tahu saya lagi buru-buru?" ketusnya seraya mengambil berkas di tangannya yang tercecer di lobi rumah sakit karena tak sengaja tertabrak olehku.
"I-iya, Dok, maaf," ucapku terbata-bata seraya membungkukkan badan berniat membantunya mengambilkan berkas-berkasnya yang terjatuh.
Sang dokter menggeleng dan menatapku sinis. Kuakui wajahnya memang tampan, tapi sikapnya jauh dari kata ramah. Sangat berbeda dengan kebanyakan dokter di luar sana.
"Lain kali, kalau mau jalan, mata tuh dipasang dulu!" ketusnya lagi. Ya ampun, judesnya orang ini.
Saat menatap name tag pada saku snelli, terbaca olehku, nama dr. Afzan Faizal R. SpS tertera di sana. Kurasa namanya tak terlalu buruk, cenderung islami malah, tapi kenapa dia bisa angkuh dan kasar begini?
"Ya Allah, Dok, jadi dokter tuh jangan galak-galak, dong. Ntar pasiennya pada lari loh," ucapku santai meski rasanya ingin memaki. Lebih tepatnya inginku berkata kasar padanya.
"Dasar anak kecil! Gak usah sok ngatur-ngatur gue, lu!" seringai dokter Spesialis Saraf yang aku tak tahu sarafnya terganggu atau tidak. Lagian bisa-bisanya dokter bergaya bahasa lu-gue.
Dia dokter apa preman?
***
Sore ini, aku yang tengah menikmati espresso chill di sebuah kafe, dibuat terbatuk saat Nindi menggoyang bahuku cukup kencang.
"Ra, liat, deh, asli tuh cowok keren banget." Mata Nindi tertuju pada lelaki berbadan tinggi tegap yang baru saja memasuki kafe yang kami datangi.
"Huum lumayan," sahutku sekenanya. Beberapa saat kemudian, mataku terbelalak saat menyadari siapa sosok lelaki yang sore ini membuat Nindi terpukau.
Ya ampun! Ternyata dia. Dokter preman itu. Aku mendengus kasar lantas menatap sinis pada lelaki yang baru saja mengambil tempat duduk di sudut ruangan kafe ini.
Segera kupalingkan muka saat menyadari sang dokter menangkap tatapan sinisku padanya barusan. Mati lah! Bisa dimaki-maki aku nanti. Memakai pakaian dokter saja tak menghalanginya bersikap bengis. Apa lagi dengan pakaian casual seperti sekarang? Bisa makin menjadi kebengisannya nanti.
Aku menunduk saat menyadari dokter rasa preman itu masih menatap ke arahku yang duduk tak jauh darinya.
"Ra, kok, tuh cowok ngeliatin ke sini mulu, ya?" bisik Nindi yang mungkin menyadari mata dokter tampan tapi angkuh itu terus tertuju ke arah meja kami.
"Udah diem, aja, napa, Nin. Kalem dikit lah," pintaku seraya berbisik pada sahabat baikku ini.
"Kok kamu kayak takut begitu sama tuh cowok?" Nindi tampak heran sambil menatapku lamat-lamat.
"Takut aja dia bakal nyaplok aku, dia tuh dokter paling songong yang pernah aku temui," gumamku kesal sembari menatap dokter angkuh itu sesekali.
"Ya ampun, udah keren, dokter pula. Makin kece aja," puji Nindi. "Suami idaman banget, deh," timpalnya kemudian. Ah, Nindi aku rasa kalau dirimu melihat kebengisannya, pasti kau akan menarik kata-katamu barusan.
"Dih, kalau aku mah ogah punya suami kayak dia, yang ada tambah kurus ntar aku dimarahin terus sama laki pemarah kayak dia," ketusku tanpa terasa.
"Ra, kok, kamu kayaknya emosi banget, sih? Kamu udah kenal sama cowok itu?" selidik Nindi masih memindai ekspresi wajahku yang mungkin terlihat aneh.
"Kenal, sih, engga, cuma aku pernah dimaki habis-habisan sama dokter galak itu," ungkapku masih kesal.
"Gimana rasanya dimaki sama cowok ganteng kayak gitu?" Pertanyaan Nindi yang benar-benar tak berkelas membuatku begitu muak.
Jantungku mendadak berdegup kencang saat melihat sang dokter bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arahku dan Nindi.
Mau apa dia? Apa dokter itu akan memakiku lagi? Kalau iya, fix dia dokter paling 'gaje' yang pernah aku temui.
"Selamat sore, bisa berbicara sebentar?" Si dokter tampan tapi menyebalkan bertanya pada Nindi yang kali ini terlihat sedikit gugup. Please Nindi, slow down, Baby! Jangan seperti orang jatuh cinta begitu.
"Te-tentu," jawab sahabatku agak terbata.
Sang dokter tampak mencondongkan badan saat berbicara dengan gadis berambut panjang yang duduk di sampingku. Namun, yang mengherankan mata elangnya melirik padaku. Apa maksudnya coba?
"Cuma mau tanya," ucap sang dokter tanpa mengalihkan pandangannya dariku.
"I-iya, tanya, apa, Mas?" balas Nindi sedikit kaku.
Ya ampun, Mas? Manis sekali. Aku geli sendiri mendengar Nindi memanggil si dokter galak dengan sebutan Mas.
"Apa temen kamu sehat?" ejek dokter menyebalkan itu masih sambil melirik ke arahku.
Aku membeliak mendengar pertanyaan tak masuk akal dari sang dokter. Kenapa harus bertanya seperti itu? Apa aku terlihat seperti orang sakit?
"Sehat lah, Dok," ketusku tanpa terkendali sambil menatap geram padanya. Terlihat olehku sang dokter mendengkus pelan.
"Tapi kalau sekiranya saraf kamu bermasalah bisa datang ke saya," ejeknya lantas menarik satu sudut bibirnya saat menatapku.
"Tumben nggak lu-gue lagi," cibirku kesal.
"Suka-suka gue, lah," balas sang dokter santai. Membuat Nindi membulatkan mulutnya dengan tatapan takjub. Mencengangkan.
Nindi berdeham.
"Dok, ada kartu nama gak? Kalau-kalau nanti ada saudara saya ada yang sarafnya bermasalah mungkin bisa periksa sama Mas dokter," ucap Nindi malu-malu kucing. Namun, justru memalukan. Nindi, tak bisakah kamu jaim sedikit? Kalau sikapmu seperti ini, takutnya dokter ini makin besar kepala nanti.
Dari saku celana jeans, sang dokter mengambil dompet dan menarik dua kartu nama lantas menyodorkannya padaku dan Nindi.
"Dih, aku nggak minta, ya, Dokter Afzan!" Aku menggerutu kesal sementara Nindi tampak menerima kartu nama tadi dengan wajah berbinar.
"Jiah! Ngapalin nama gue. Atau jangan-jangan … elu udah kesengsem duluan sama gue?" ejeknya terdengar menyebalkan.
"Dih, kepedean! Ogah amat kesengsem sama kamu. Dokter rasa preman." Tanpa sungkan, aku membalas ketus ucapannya yang penuh percaya diri.
"Yakin?" ledek sang dokter seraya menaikkan sebelah alisnya padaku.
Aku mencebik, menatapnya dengan tatapan tak suka.
"Sok kegantengan!" Aku berdecak sebal dengan hati gondok.
"Tiara … udah, dong, Dokter Afzan emang ganteng kok! Udah-udah ga boleh tengkar sama orang tua!" Nindi menjawil lenganku sesaat setelah memasukkan kartu nama tadi ke dalam tas selempang miliknya.
Dokter Afzan Faizal mendengkus kesal saat Nindi menyebutnya orang tua.
"s**t! Apa muka gue udah setua itu?" protes sang dokter. Aku hanya mampu menahan tawa melihat ekspresi Dokter Afzan yang amat tak menyukai sebutan tua untuknya. Padahal memang iya. Aku yakin usianya hampir 30, mungkin bedanya denganku sepuluh tahunan atau … mungkin lebih?
"Iya, Pak, emang udah tua," sambarku santai.
Lagi-lagi Pak Dokter terlihat kesal. Ya ampun, apa semua orang seperti dirinya? Menolak dianggap tua?
"Mas Afzan." Seorang wanita berpembawaan dewasa membuat Dokter Afzan yang tengah bersitegang denganku tersentak.
"Julia?" Ucapan Dokter Afzan terdengar kaku saat menoleh menatap wanita cantik yang menegurnya.
"Kamu apa kabar?" tanya wanita cantik yang agaknya bernama Julia.
"Gue … ba-baiik. Oh ya, kenalin ini pacar baru gue namanya Ti … Tiara." Dokter Afzan tampak terbata tapi lantas cengar-cengir saat memperkenalkanku sebagai pacar barunya.
Ya ampun, pacar baru? Apa-apaan ini?
Mataku membulat sempurna saat mendengar sebuah pengakuan tak beretika dari seseorang yang baru berjumpa dua kali denganku.
Wanita cantik yang berdiri di samping Dokter Afzan tampak seperti tak percaya mendengar bualan dokter rasa preman itu.
Nindi berdeham meledekku yang jengah dengan ulah sang dokter yang main sebut aku sebagai pacarnya.
"Sejak kapan kamu suka sama ABG?" selidik Julia seraya mengamatiku dengan tatapan yang tak bisa kujabarkan artinya. Membuatku tak enak hati saja.
Lagian, sembarangan sekali dokter satu ini, mengaku-ngaku sebagai pacarku.
"Mbak." Aku bangkit, berniat menjelaskan agar tidak terjadi kesalahpahaman. Namun, tanpa terduga tangan sang dokter menahan tanganku.
"Sayang, kamu mau ke toilet, ya? Jangan lama-lama, ya." Lagi, dengan seenaknya, dokter menyebalkan itu memanggilku sayang. Membuatku semakin geram dan dongkol.
Ah, aku harus mencari cara mengerjai balik dokter menyebalkan ini.
"Iya, Mas, Dede gak akan lama, kok," balasku manja sambil mengedipkan mata. Kini giliran Dokter Afzan yang tampak salah tingkah dengan sikapku yang mungkin jauh dari perkiraannya. Dia tampak terkesiap dan seperti tak siap saat aku menyebut diri sebagai dede dan memanggil dirinya dengan sebutan mas. Padahal, aku menahan mual saat mengucapkannya.
Lihat saja, Dokter! Nanti aku bakal meminta bayaran karena harus jadi kekasih palsumu. Aku mengejek dan tersenyum licik saat menatap dokter 'begajulan' yang kali ini berdiri kaku menatapku.
Jangan salah, ya, Dok! Aku yang katamu ini anak kecil, nyatanya kecil-kecil cabe rawit, bukan? Tapi bukan cabe-cabean, ya!
Tak lama kemudian si dokter berdeham.
"Sayang jangan lupa, ya, ntar bilangin sama mama papa kamu kalau aku bakal datang melamarmu minggu depan." Panjang lebar, dokter menyebalkan itu mengucap kalimat palsu yang membuatku tertegun dengan hati dan telinga yang terasa memanas.
Nindi tampak cengar-cengir mendengar bualan tak bermutu sang dokter. Sementara wanita cantik bernama Julia tersenyum getir saat menatapku. Membuatku bertanya, apakah wanita ini merupakan masa lalu Dokter Afzan?
Sudah! Cukup sudah! Aku tak mau melanjutkan drama konyol ini lagi.
"Mbak, sebenarnya saya sama Dokter Afzan--." Belum sempat kusambung ucapan, tangan sang dokter buru-buru menyambar pergelangan tanganku.
"Ayo, Sayang, aku anter kamu ke toilet, takut kamu malah ngompol di sini,ntar aku yang malu. Punya pacar masih suka ngompol sembarangan." Seketika mataku membelalak mendengar ucapan Dokter Spesialis Saraf ini.
What? Ngompol?!