Ruangan yang tidak terlalu luas ini terlihat ramai. Sofa-sofa yang berada di pinggir ruangan sudah terisi, begitu juga dengan beberapa kursi di depannya yang menghadap sebuah panggung kecil. Para pelayan tampak hilir-mudik membawa nampan berisi gelas-gelas kecil dan botol minuman.
Aroma berbagai macam parfum, asap rokok dan minuman bercampur menjadi satu memenuhi ruang napas. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan semangat clubbers yang datang dengan berbagai tujuan.
Ada yang datang untuk menghilangkan stres, sekadar minum, reuni dengan kawan lama, menambah network atau melobi klien. Ada pula yang datang untuk “berjualan”.
Seperti Kirana dan ketiga sahabatnya yang sering open table di club ini. Malam ini keempat dara itu datang untuk merayakan kelulusan. Sedikit terlambat karena Kirana harus menunggu orang tuanya kembali ke Malang.
”Cheers!” seru keempat dara yang kompak mengenakan pakaian berwarna gelap sambil mengadu gelas, lalu menyesap minuman masing-masing.
Kali ini Kirana memilih minuman cantik berwarna merah muda dengan perpaduan rasa asam dan manis, Cocktail Singapore Sling.
Kirana mengedarkan pandangannya, memperhatikan beberapa orang dengan berbagai macam gaya pakaian sedang menari di bawah lampu sorot aneka warna yang menembak ke kesana kemari.
Meski tidak ikut turun ke lantai dansa, sesekali tubuh mereka bergerak mengikuti hentakan musik yang memekakkan telinga.
Sebuah tepukan halus pada pundak membuat Kirana menoleh. Meletakkan gelasnya lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Laura.
“Ki, itu bukannya Angga, ya?” tanya Laura dengan sedikit berteriak karena harus beradu dengan kerasnya suara musik, gadis itu mengangkat sedikit dagunya untuk menunjuk objek yang berada di belakang Kirana.
Kirana memutar kursi yang ia duduki. Matanya memicing untuk menajamkan penglihatan karena suasana ruangan sangat ramai dan temaram.
Gadis yang menggunakan celana jeans dan crop top lengan panjang itu tersenyum sinis, saat melihat sepasang pria dan wanita yang sedang b******u di salah satu sofa.
Kirana beranjak, berjalan perlahan menghampiri pasangan tersebut sendirian, sedangkan Laura, Febi dan Monik hanya mengawasi dari tempat duduk mereka.
Kirana yang sudah berdiri sambil bersedekap di depan pasangan itu, memutar bola mata jengah. Dia sudah menghabiskan 60 detik untuk menyaksikan adegan panas itu dari jarak satu meter.
Jika gadis itu bukan Kirana, bisa dipastikan club ini telah berubah menjadi arena pertarungan MMA. Ketenangan Kirana memang patut diberi penghargaan.
Alih-alih berhenti, aksi pasangan tersebut malah semakin panas. Mata Kirana membola dengan mulut sedikit terbuka saat tangan Angga mulai meraba paha dalam wanita itu. Ini harus segera dihentikan, kalau tidak mata sucinya akan ternoda.
“Cut!” seru Kirana bak seorang sutradara.
Suara lantang dan kilatan blitz dari ponsel gadis itu menghentikan kegiatan pasangan itu.
"Kirana.” Angga yang terkejut dengan kehadiran Kirana refleks mendorong gadis yang ada di pangkuannya. Wajah yang tadinya penuh gairah kini berubah panik.
“Iya, Ngga, Ini gue." Kirana menampilkan senyum lebar.
"Nggak usah panik gitu, ah. Kayak liat hantu aja. Liat, nih, kaki gue masih nyentuh lantai,” sarkas Kirana sambil menghentak-hentakkan kakinya di lantai.
"Heh!" hardik gadis yang bersama Angga tadi sembari mendorong bahu Kinara, membuat gadis itu sedikit terhuyung.
"Eits, kalem, Mba. Jangan main kasar," ucap Kirana santai.
"Lo siapa, sih? Kurang kerjaan lo, sampe ganggu orang kencan?"
Kirana maju sambil bersedekap, mempersempit jarak dengan wanita itu. Dia masih mempertahankan ketenangannya.
"Beberapa menit yang lalu, sih, status gue masih ceweknya dia, tapi sekarang udah jadi mantan," jawab Kirana santai sambil melirik Angga sinis.
Di meja berbeda, dua gadis tengah terkekeh melihat tingkah sahabatnya. Tak perlu khawatir karena mereka sudah paham bagaimana cara Kirana menghadapi masalah. Selama sang lawan tidak bermain kasar maka gadis pemegang sabuk hitam taekwondo itu akan menghadapinya dengan santai.
Wanita itu terkejut. "Bener apa kata cewek ini, Yud?" tanya gadis yang kini menatap horor pada Angga.
Ah, ternyata dia menggunakan nama belakang pria itu sebagai panggilan.
Angga tidak menjawab. Hanya berdiri bertolak pinggang sambil memijat pelipis. Ia tidak pernah menyangka jika akan tertangkap basah oleh Kirana setelah dua bulan mengkhianati gadis itu.
Netra Kirana memindai selingkuhan Angga dari atas ke bawah. Dress merah ketat yang panjangnya hanya beberapa senti di bawah b****g, high heels dengan warna senada dan make up yang sedikit tebal. Ah, jangan lupa lipstik merah yang sudah berantakan akibat dari aksi adu kulum bersama Anggara Yudha.
Sepertinya pria itu sudah menentukan pilihannya. Terbukti kini ia menatap penuh permohonan pada Kirana. "Ki … deng–"
Kirana meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya, menginstruksikan Angga untuk diam. Enggan mendengarkan penjelasan apapun dari pria yang selama setahun ini menjadi kekasihnya. Bagi Kirana seorang pengkhianat akan tetap jadi pengkhianat.
Kirana tersenyum remeh, sebelum mencondongkan tubuh pada wanita yang ada di depannya. “Lain kali pake lipstik warna nude atau yang waterproof, biar nggak belepotan,” cibir Kirana tepat di telinga pemeran wanita dari adegan 18+ yang baru saja ia saksikan.
"Lo!" Wanita itu berteriak sambil menunjuk Kirana. Sedangkan yang ditunjuk hanya mencebikkan bibir sambil mengedikkan bahu acuh.
Gadis itu memilih pergi saat wanita itu mulai menuntut penjelasan pada Angga.
Saat sampai di tempat duduknya, Kirana langsung menyambar sebuah gelas dan menandaskan isinya.
Melihat itu, Monik menyodorkan Mojito Cocktail miliknya. Dengan nada mengejek ia berkata, "Nih, Ki, minum lagi. Gue tau hati lo lagi panas."
“Kampret, lo." Kirana melempar Monik dengan gumpalan tisu, lalu keduanya terkekeh.
Febi menatap sendu pada gadis yang duduk di sisi kanannya, kemudian memeluk gadis itu dari samping. "Sabar, ya, Ki. Gue tau rasanya pasti sakit banget." Suaranya bergetar menahan tangis.
Kirana menghela nafas lelah. Di antara mereka Febi-lah yang paling polos, gadis asal Jogja itu mudah tersentuh lebih tepatnya cengeng. Namun, dia adalah orang pertama yang akan memeluk dan menenangkan jika salah satu dari mereka bersedih.
Seperti tadi, disaat Laura dan Monik tertawa melihat aksi Kirana, Febi malah meneteskan air mata. Kasihan, katanya.
"Febi sayang …," Kirana melepaskan lilitan tangan Febi pada pundaknya. "gue nggak papa. Gue nggak sedih dan nggak sakit hati juga."
Gadis itu memang tidak sakit hati, pasalnya ia sudah lama mendengar kabar tentang perselingkuhan Angga. Setiap kali ditanya Angga selalu mengatakan jika itu hanya gosip.
Momen ini memang sangat Kirana nantikan, agar playboy cap kecebong itu tidak bisa menyangkal lagi.
"Bener?" tanya Febi memastikan.
Kirana mengangguk.
***
Seminggu berlalu, selama itu juga Angga terus mengganggunya. Mulai dari mendatangi rumah, hingga menerornya dengan puluhan pesan berisi penjelasan dan permintaan maaf.
“Mau sampai kapan lo menghindar, Ki? Selesain dulu masalah kalian,” kata Laura pada gadis yang sedang berbaring di sebelahnya.
Sudah empat hari Kirana menginap di kos-kosan Laura demi menghindari sang mantan yang selalu menunggunya di teras rumah. Hanya mereka yang masih tinggal di Jakarta, dua sahabat mereka sedang pulang kampung. Febi pulang ke Jogja karena sang kakak akan menikah dan Monik ke Tana Toraja untuk menghadiri acara adat Rambu Solo, upacara kematian salah satu om-nya.
“Urusan gue sama dia udah selesai, Ra,” jawab Kirana, tetap fokus pada benda pipih di tangannya. Disaat orang beramai-ramai memainkan game PUBG atau ML, gadis itu masih setia dengan Tetris.
“Ya, seenggaknya lo dengerin penjelasan Angga dulu?”
“Ogah! Paling yang diomongin nggak jauh-jauh dari kata maaf, khilaf atau salah paham.” Kirana berdecak “Basi!”
Laura menghela nafas lelah. “Serah lo, deh.”
Laura kembali fokus pada laptopnya sambil menikmati suara merdu IU. Gadis itu sedang mencari lowongan pekerjaan. Ia tidak mau berlama-lama menganggur dan menjadi beban orang tua. Berbeda dengan Kirana yang sudah memiliki penghasilan sejak kelas dua belas dengan menyalurkan hobi berkhayalnya di platform menulis.
Kirana sudah menaruh ponselnya. Kini gadis itu berbaring miring menghadap Laura yang tampak serius. “Ra, lo kenapa capek-capek cari kerjaan, sih? Kenapa nggak megang salah satu swalayan nyokap lo aja?”
Kirana merasa heran dengan sahabatnya ini. Pasalnya, gadis asal Kalimantan ini bukan orang sembarangan. Ibunya memiliki swalayan yang tersebar hampir di seluruh kabupaten sedangkan sang ayah memiliki usaha di segala bidang. Mulai dari konstruksi, peternak ayam broiler dan petelur dan sarang walet. Tahu sendiri ‘kan bagaimana hebatnya warga keturunan berkulit putih dalam mengelola usaha.
“Gue mau mandiri, Ki. Lagian kalau gue ngurus usaha mereka artinya gue harus pulang. Gue belum siap jadi tumbal perkawinan bisnis,” papar gadis kalem tersebut.
Kirana mengangguk-anggukkan paham. Dua kakak Laura sudah menikah karena perjodohan. Nahas, kakak laki-lakinya bercerai setelah dua tahun menikah karena sang istri berselingkuh.
“Lo sendiri kenapa nggak balik?”
“Gue nemenin lo. Nggak tega gue ninggalin lo sendirian di sini, ntar nggak ada yang nemanin lo clubbing,” jawab Kirana yang sudah kembalo ke posisi telentang.
“Jangan ngadi-ngadi, lo. Gue ke sana juga karena ajakan lo, ya!” protesnya tak terima.
Kirana tertawa sambil melirik ekspresi kesal Laura. Selama ini gadis berambut hitam legam itu hanya mengikuti ajakannya saja. Monik dan dirinya lah sang pelopor kegiatan ajeb-ajeb mereka.
Dering ponsel, menghentikan tawa Kirana.
“Perasaan gue nggak enak, nih,” ujarnya saat melihat nama yang tertera pada layar ponsel.
Dia pun segera menggeser ikon berwarna hijau setelah duduk di pinggir kasur.
“Iy--”
Ucapan Kirana terpotong oleh kalimat suara tegas papanya. “Besok kamu harus pulang. Papa sudah pesankan tiket.”
“Ya, ampun, Pah. Tanyain dulu, kek, kabar anaknya,” ucap Kirana kesal.
“Nggak usah ditanya. Papa tau kamu baik-baik aja. Buktinya kamu masih bisa main ke diskotek.”
Kirana terperangah. Mampus, gue. Pasti bakalan dapat sanksi, nih. Lagian tau dari mana, sih, Pak Danu. Jangan-jangan dia punya mata-mata lagi. senandikanya.
Selama ini dia pergi ke klub tanpa izin dari orang tuanya, maka dari itu Kirana melarang sahabatnya untuk membuat Story Ig atau memposting foto saat sedang dugem.
“Nggak ada penolakan. Kalau besok kamu nggak pulang, Papa akan suruh Mas Bima nyeret kamu ke Malang!” ancam Danu.
Tut! Tut! Tut!
Sambungan dimatikan sepihak. Kirana melempar ponselnya ke kasur.
“Kenapa, Ki?” tanya Laura ketika melihat raut wajah sahabatnya berubah kesal.
“Disuruh pulang gue,” jawabnya. Gadis itu menghempaskan tubuhnya di kasur.
“Kenapa? Pak Danu tau kita masih sering ke club?”
Kirana hanya menjawab dengan gumaman.
Laura terkekeh lirih, “Kayaknya Pak Danu titisan cenayang, deh, Ki.”
“Oh, Tuhan … selamatkanlah umatmu ini dari hukuman Pak Danu,” pintanya dengan menangkupkan kedua tangan.
Laura yang mendengar itu terkekeh geli. Sahabatnya itu terlalu berlebihan. Padahal hukuman dari orang tuanya sama sekali tidak mengerikan, hanya berupa penyitaan fasilitas atau tidak boleh keluar rumah selama beberapa hari. Itu pun akan berakhir jika Kirana merengek manja.
Itulah Kirana, dia akan terlihat judes dan bersikap dingin pada orang asing, tapi berubah manja dan jahil jika berada diantara orang-orang terdekatnya. Maka dari itu, mereka menjuluki Kirana bunglon.
“Makanya, Ki, jadi anak baik, nurut sama orang tua.”
Kirana menabok b****g Laura, membuat gadis itu mengaduh.
“Bukannya bantuin cari alasan malah ngejek.”
“Ra, kalau nanti gue nggak balik tolong sampein permintaan maaf gue ke Monik sama Febi, ya.” pinta gadis itu sendu.
“Nggak usah ngomong macem- macem, deh, Ki. Lo cuma di suruh pulang dan ketemu Pak Danu bukan Malaikat maut.”
“Gue serius, Ra. Kayaknya bakal ada sesuatu yang terjadi, deh."
"Ntar kalau gue nggak balik, kalian sering-sering nengokin gue, ya."