10. Butuh atau Tidak

1026 Words
Almira tidak mau menanggapi ucapan Reno yang saat ini sedang tersenyum penuh kepuasan. Sudah jelas, bisa saja pelakunya adalah Reno. Akan tetapi, kapan laki-laki yang kini melenggang ke ruangan Pak Rudi melakukannya? Almira hanya mengembuskan napas kasar. Almira dengan mudah mengganti laporan itu. Hanya saja, ia tidak langsung memberikannya pada Evan. Almira sengaja seolah-seolah sengaja bekerja. Ia seperti sedang merevisi laporan itu. 'Rasakan!' Reno sangat bahagia bisa membuat Almira kesulitan saat bekerja. Setidaknya dendamnya terbalas, begitulah yang ada di otak Reno saat ini. Ia sangat pendendam dan selalu membalas setiap perbuatan orang yang dianggap melukai hati. Sikap buruk itu sudah ada sejak Reno kecil. Entahlah, apa yang menyebabkan bisa sampai titik karir yang bisa dikatakan bagus. "Ada yang bisa kamu jelaskan? Aku harap bukan kamu yang mengubah laporan milik gadis itu." Ucapan dingin itu keluar dari mulut Evan saat Reno menatap ke arah meja kerja Almira. "Apa?!" Reno tidak terima dengan pertanyaan sang sahabat. "Lagian emang untungnya apa buat aku? Bisa dicek tuh rekaman cctv ruangan ini," kata Reno dengan wajah menyakitkan. "Ya, kali aja. Kamu kena SP 2 karena gadis sok pintar itu. Makanya wajar jika aku tanya kaya gitu," kata Evan membela diri lalu menatap ke arah komputer. Sebenarnya, tidak ada yang dikerjakan oleh Evan saat ini. Ia sangat kacau karena Karina mulai menjaga jarak. Apa salah sang istri? Tidak ada, bukankah selama ini Evan sendiri yang tidak memedulikan keberadaan sang istri? "Nggak gitu juga, Van. Anggap aja SP 2 dari Pak Rudi adalah gara-gara salahku. Lagian, budaya bullying emang nggak bagus. Mental pegawai lain bisa hancur dan akibatnya fatal." Sudah seperti orang paling beradab Reno saat ini. "Aku hanya mengingatkan dia agar lebih teliti saja saat bekerja. Laporan itu nantinya akan diserahkan pada atasan. Gawat jika laporan itu isinya nggak sesuai dengan keadaan lapangan," lanjut Reno penuh kemunafikan di depan Evan. Aneh, tetapi nyata, Evan justru mempercayai ucapan sang sahabat. Ia menganggap jika Reno adalah sahabat paling baik. Sejauh ini, Reno memang tidak pernah membuat masalah dengan Evan. Mereka bisa bekerja sama dengan baik. "Van, aku besok izin datang terlambat. Aku mau antar istri ke Dokter Obgyn. Perkiraan lahir emang masih tiga hari lagi, tapi sejak pagi, dia udah rasa mules." Reno tanpa wajah berdosa mengatakan hal ini pada Evan yang belum punya momongan. "Silakan." Evan menjawab dengan nada dingin dan tidak bersahabat sama sekali. Reno tidak merasa jika ucapannya menyakiti Evan. Ia hanya biasa saja. Toh, apa yang dikatakannya benar adanya. Reno pun segera meninggalkan ruangan Evan dan kembali ke meja kerjanya. Sementara itu, jam dinding menunjukkan pukul 16.30 WIB, semua pegawai Batara Corporation sudah bersiap untuk pulang. Sore ini ada hal yang tak biasa, Anggi datang ke ruangannya. Ia benar-benar membuat surat perjanjian kerja sama dengan Karina Kitchen. Hal yang sama sekali tidak pernah dipikirkan oleh Damar hingga saat ini. "Ma ... lagi ngapain? Kalo ada kerjan mendingan aku aja yang kerjakan. Mama itu harusnya istirahat saja di rumah. Aku pasti beres saat kerja kok," kata Damar yang saat ini duduk di kursi depan meja milik Anggi. "Mama hanya mengerjakan hal kecil saja. Ini tidak melelahkan sama sekali. Kamu mau pulang? Atau masih ada pekerjaan lain?" tanya Anggi sambil beranjak dari tempat duduknya dan mendekati sebuah printer yang berada tak jauh dari komputer. "Udah nggak ada kerjaan, Ma. Mama, nyetak apa sih? Kok aku malah jadi kepo." Damar mendekati sang mama yang saat tersenyum lembut. "Mama mau kantor kita ini kerja sama dengan Karina Kitchen. Jika ada acara kita nggak usah pusing untuk cari restoran. Kita bisa pakai gedung serba guna jika restoran milik Karina tidak muat." Damar terkejut dan sibuk mencerna setiap ucapan sang mama. Kerja sama? Apa itu dibutuhkan? Mengapa seenaknya saja membuat aturan seperti ini? Damar jelas tidak bisa dan akan memprotes keputusan sang mama. "Ma, apa keuntungan kerja sama dengan Karina Kitchen itu? Perusahaan kita nggak ada buka produk makanan matang gitu. Apa untungnya buat Batara, Ma?" Damar mulai memprotes sang mama yang kini hanya menggeleng pelan. "Hidup itu bukan hanya untung dan rugi. Coba kamu lihat, selama ini kita selalu memberikan banyak beasiswa untuk anak-anak pelosok, tapi apa, rezeki kita semakin bertambah. Memang, itu karena adek kamu si Wulan yang dulu setiap hari menangis karena melihat banyak anak kecil yang menangis kelaparan saat KKN dulu." Anggi mengingat ketika kembaran Damar setiap kali menghubunginya dan meminta dikirimkan bahan makanan hingga Luka datang ke tempat KKN sang anak. "Hmm ... lantas apa hubungannya dengan kerja sama dengan Karina Kitchen?" tanya Damar yang tidak suka jika sang mama mengalihkan arah pembicaraan. "Memang tidak ada hubungannya. Kerja sama ini akan memudahkan bagian konsumsi dalam mempersiapkan makanan ketika kalian semua ada pertemuan. Menurut Mama, masakan Karina tidaklah buruk. Makanan itu dibuat dengan sentuhan cinta dan kasih sayang." Anggi menatap tajam ke arah sang putra. "Ayolah, jangan menjadi orang yang arogan. Perusahaan ini dirintis dengan susah payah dengan pegawai terbaik dan loyal. Mama, nggak mau dengar lagi tentang sikap kamu yang sangat arogan. Mulai besok pagi, Mama akan kembali ke kantor dan kamu akan ditempatkan di bagian staf administrasi kantor," kata Anggi dengan tegas dan tidak mau dibantah untuk saat ini. "A-apa? Apa ini adil untukku, Ma? Ayolah, jangan karena pemilik Karina Kitchen itu lantas mencabut jabatanku!" Damar merasa tidak terima dengan keputusan sang mama. Bukan tanpa sebab, Anggi sudah berunding dengan sang kakak juga Luka tentang masalah ini. Sikap Damar sudah sangat keterlaluan dalam perusahaan; memaksa seluruh pegawai bekerja seperti mesin. Entah di mana rasa kemanusiaan Damar. Dulu, anak kedua Anggi tidak pernah seperti itu. "Adil. Ada kalanya kamu harus bekerja dari bawah dahulu. Semua orang yang sudah senior, pernah merasakan bekerja menjadi staf." Anggi tidak bisa dibantah lagi. "Besok temui Pak Drajat, beliau akan mengajarkan job desk menjadi staf administrasi," lanjut Anggi sambil mengambil beberapa lembar kertas yang berisi surat perjanjian itu. Anggi membaca kembali hasil ketikannya itu. Tidak ada yang salah dan besok pagi akan diantarkan ke Karina Kitchen. Ia sendiri yang akan mengantarkan dan menandatangani bersama dengan Karina. Anggi tidak peduli dengan Damar saat ini. "Ma, apa tidak bisa diubah keputusan itu? Aku tidak mau kerja jadi staf." Damar kali ini memohon kepada sang mama. "Aku janji tidak akan bersikap arogan lagi," kata Damar dengan wajah penuh harap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD