6. Ancaman

1014 Words
Layaknya karyawan senior, Evan pun melakukan senioritas pada bawahan. Ia masih lebih baik jika dibandingkan dengan Reno. Almira hanya bisa menunduk tanpa berani menatap ke arah Evan. Ya, kini gadis yang baru berusia dua puluh dua tahun itu seperti kena batunya. "Kenapa hanya menunduk? Kamu tahu ini kemeja limited edition hadiah dari istri saya." Mendadak Evan teringat pada Karina yang membelikan baju ini sebagai kado ulang tahunnya ke tiga puluh dua tahun. "Sa-saya minta maaf, Pak. Bapak boleh potong gaji saya sebagai ganti baju yang kena teh saya," cicit Almira dengan rasa takut luar biasa besar saat ini. Karma? Entahlah, kenyataannya Almira kali ini membuat Evan naik pitam. Suami Karina itu benar-benar tidak nyaman dengan pakaian yang basah dan lengket. Ia lantas mengembuskan napas panjang lalu meninggalkan Karina yang masih berdiri mematung. Suara bantingan pintu ruangan Evan terdengar sangat kasar. Ada beberapa orang pegawai yang terkejut. Mereka tahu jika Evan pasti sedang sangat kesal saat ini. Banyak pegawai lain yang menatap sinis ke arah Almira. 'Ya, Allah, tolonglah hambamu ini. Saya hanya ingin bekerja dan memperbaiki nasib saja di tempat ini tanpa ada keinginan untuk membuat masalah.' Almira meradang dalam hati saat ini. Sementara itu, Damar sibuk berkutat dengan banyak pekerjaan. Tubuhnya kini sangat lelah membuat sosokt tampan itu menyandarkan punggung pada kursi kerja. Angannya berkelana tentang kenangan pahit bersama seorang gadis--Stefani. Sosok mantan kekasih yang telah menghianati Damar saat anak Luka itu kuliah di luar negeri. "Permisi, Pak." Suara itu membuat lamunan Damar buyar seketika. "Bisa kalo mau masuk ke ruangan saya ketuk pintu dulu?" Damar menatap sinis ke arah Erna yang saat ini menunduk karena takut pada tatapan tajam. "Dia sudah ketuk pintu ruangan kamu sejak tadi, Mar. Apa yang kamu pikirkan hingga tidak mendengar suara ketukan pintu itu?" Prabu--sang paman masuk ke ruangan Damar dan membuat sosok bos muda itu terkejut. Biar bagaimana pun, Prabu lebih senior dibandingkan dengan Damar. Anak kedua Luka itu baru saja mulai bekerja awal tahun ini; baru empat bulan berjalan. Akan tetapi, gebrakan barunya sungguh luar biasa. "Papa Prabu?" Damar tampak terkejut saat melihat kehadiran sosok kakak sang mama. "Ya, hanya kebetulan lewat. Apa kabar?" tanya Prabu tersenyum hangat pada keponakannya itu. Semua anak-anak Luka memanggil Prabu dengan sebutan Papa hanya ada tambahan Prabu. Untuk istri Prabu, mereka memanggilnya tante. Entahlah, bagaimana awalnya dulu mereka bisa memanggil seperti itu. Akan tetapi, baik Anggi atau Luka sama sekali tidak keberatan. "Saya baik, hanya sedikit sibuk saja akhir-akhir ini." Damar tidak berbohong saat ini. Mereka melupakan keberadaan Erna yang membutuhkan tanda tangan Damar saat ini. Berkas itu akan digunakan untuk rapat besok siang. Semua harus sudah beres dan disetujui oleh Damar. Terlalu berisiko jika hanya asal mengerjakan pekerjaan itu, Damar akan marah besar seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Erna akhirnya terpaksa keluar dari ruangan Damar. Ia tidak mau mengganggu obrolan dua orang penting di perusahaan ini. Salah-salah justru bisa kena pecat dari Damar karena dianggap tidak sopan. Erna terpaksa harus menunggu lagi. Sementara itu, Rita kali ini datang ke restoran Karina. Tujuannya tidak lain, seperti biasa akan menyakiti hati sang menantu. Ia merasa emosi saat sang menantu tampak biasa saja. Bagi Rita, Karina dianggap tidak ada usaha sama sekali. Kebetulan Vania sedang tidak ada di restoran karena sang anak sedang sakit. "Kamu nggak takut kalo Evan mendadak menikahi perempuan lain?" tanya Rita sambil duduk di salah satu sudut sofa di ruangan Karina. "Ma ... aku sadar belum bisa memberikan keturunan bagi Mas Evan. Tapi, bukan aku tidak usaha sama sekali. Aku selalu patuh ke Dokter Obgyn." Karina masih berusaha sabar saat ini menghadapi mama mertuanya. "Aku juga masih rutin minum obat yang diberikan oleh, Mama," lanjut Karina dengan nada rendah tidak mau terpancing emosi. Rita mengembuskan napas kasar. Ia kesal setiap kali Karina menjawab ucapannya itu. Marah pada Karina hanya akan membuang tenaga saja. Sang menantu juga tidak akan peduli. "Apa Mama tidak ada bahasan lain selain masalah ini?" tanya Karina sengaja menyindir sang mama mertua yang sangat kurang pekerjaan itu. "Maksud kamu? Saya sengaja cari masalah sama kamu? Wajar jika saya tanya sama kamu kapan mau punya anak?!" Rita membentak Karina dengan nada tinggi. "Saya nggak tahu, kenapa Evan begitu tergila-gila sama kamu!" bentak Rita yang sudah lama ingin rumah tangga Evan berakhir dengan perceraian. "Saya hanya bisa katakan, kami saling mencintai dan saling melengkapi." Karina beranjak dari duduknya karena harus mengecek pekerjaan semua pegawainya di dapur. "Mau ke mana kamu? Nggak sopan, ada orang bicara malah ditinggal pergi!" Rita merasa kesal saat Karina berjalan ke arah pintu. Karina tidak menjawab dan langsung menuju ke dapur restoran ini. Pesanan untuk Batara Corporation tidak boleh mengecewakan. Salah satu cara Karina untuk mempertahankan kualitas dari Karina Kitchen adalah mengerjakan segala sesuatu dengan baik. Istri Evan itu berusaha tersenyum pada semua pegawai meski hatinya sedang tidak baik-baik saja saat ini. "Untuk acara besok siang, apa semua sudah dikerjakan?" tanya Karina pada mereka yang sibuk mempersiapkan semua bahan dan sebagian sudah mulai memasak. "Kita masak lauk dulu, Bu. Besok pagi lanjut masak sayur, Insya Allah, sebelum acara sudah selesai ditata di atas," jawab Ilyas yang kini sibuk memasak daging rendang. "Baiklah. Saya juga akan ikut lembur malam ini," kata Karina sengaja tidak ingin pulang dulu ke rumah karena masalahnya dengan Evan yang belum selesai. Belum selesai, artinya akan ada penyelesaian, tetapi sepertinya masalah itu akan selalu berlarut-larut. Sadar atau tidak, masalah mereka akan jadi bom waktu setiap waktu. Masalah itu bisa meledak kapan saja tanpa bisa diduga. Karina bukan tidak menyadari, tetapi faktanya, Evan memang sulit diajak komunikasi dua arah; saling dengar dan mencari solusi bersama. "Kamu kalo nggak dimodalin sama anak laki-lakiku juga pasti akan jadi gembel," ucap Rita yang entah sejak kapan berada di dapur. "Nggak seratus persen, Ma. Mas Evan hanya menyumbang sekitar tiga puluh persen saja. Selebihnya saya yang mengeluarkan banyak dana. Ada kok catatannya di notaris tentang surat restoran ini." Karina tidak mau jatuh harga dirinya di depan banyak pegawai restoran ini. Rita tercenung saat mendengar jawaban dari sang menantu. Ia tidak tahu sama sekali tentang masalah surat restoran ini. Setahu Rita, restoran ini atas nama Evan Wijaya. Lantas apakah sudah berganti nama pemilik?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD