“Anak konglomerat ini adalah seorang Kasanova modern, terlihat sering berganti-ganti wanita.”
“Daftar artis yang pernah berkencan dengan Anak konglomerat, belum ada yang diajak serius.”
“Playboy masa kini, sosok anak konglomerat keluarga Riyadi yang sedang disorot.”
Sebuah deheman terdengar membuat seorang lelaki tua melepaskan pandangannya dari layar komputer di depannya. Matanya beralih pada sosok lelaki muda yang sedang duduk dengan mengangkat sebelah kakinya dan punggung menempel malas pada sofa.
“Berita-berita itu muncul karena perempuan-perempuan terkenal itu membahasnya di media sosial. Mereka berlebihan!” ujar Arlo.
“Percaya sama Kakek, Arlo. Kalau kamu bukan anak lelaki satu-satunya di keluarga ini, kamu sudah lama Kakek buang!” ujar lelaki tua itu.
Arlo hanya bisa mengusap-usap dahinya dengan bibirnya yang bermain-main.
“Kakek bahkan masih punya banyak daftar judul berita negatif yang muncul tentang dirimu ini!” Orang nomor satu di perusahaan sekaligus keluarga konglomerat Riyadi itu menunjuk ke arah layar komputernya.
“Arlo ‘kan sudah bilang, Kek. Itu cuma berita palsu! Arlo mana pernah berkencan dan tidur dengan wanita-wanita itu. Kami cuma makan malam lalu Arlo pulang, itu saja. Kalau Kakek gak percaya, Kakek bisa tanya ke Hans,” jelas Arlo dengan membawa nama asisten pribadinya itu. Lelaki itu begitu dipercaya oleh Kakeknya, bahkan melebihi dirinya sendiri yang notabene adalah cucu kandungnya sendiri.
Riyadi hanya bisa menghembuskan nafas pasrah mendengar penjelasan cucunya itu. Dia sebelumnya sudah mendengar hal yang sama dari Hans dan dia tidak punya alasan untuk tidak percaya pada salah satu pegawai kepercayaannya itu.
“Kamu sudah berulah terlalu lama, Arlo. Tiga tahun lalu belakangan ini berita buruk tentangmu selalu saja ada minimal sekali sebulan. Kamu sadar siapa kamu ‘kan? Kamu itu bagian--”
“Dari keluarga konglomerat yang terhormat, keluarga Riyadi. Aku tahu, Kek.” Arlo memotong kalimat kakeknya.
“Jika sudah tahu, kenapa masih dilakukan?”
Arlo menghembuskan nafas panjang, perdebatan ini tidak akan berakhir.
“Kakek, aku hanya mengajak mereka makan malam lalu pergi.”
“Kamu meninggalkan mereka begitu saja, Arlo! Manusia mana yang tidak akan tersinggung? Apalagi ini seorang perempuan.” Riyadi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Salah mereka sendiri kenapa harus tersinggung. Mereka harusnya bersyukur karena sudah ku ajak makan malam.” Arlo membela dirinya.
“Apa ini karena mantan pacarmu itu? Siapa namanya? Bella?”
Raut wajah Arlo mendadak berubah begitu juga dengan suasana hatinya. Bahkan nama wanita itu saja bisa menghancurkan Arlo. Lama tidak mendengar nama itu disebut bukan berarti Arlo melupakannya.
“Jangan sebut nama itu lagi!” ucap Arlo. Kini dia memperbaiki posisi duduknya, menatap kakeknya dengan pandangan tajam.
“Kamu tidak hanya merusak dirimu saja, dasar anak bodoh! Kamu juga merusak nama baik keluargaku yang aku jaga sejak dulu.”
Arlo kini baru dapat melihat pandangan serius dari kakeknya itu. Riyadi menekan tombol panggil di teleponnya dan tidak lama kemudian seorang asistennya masuk ke dalam ruangan paling tinggi di gedung itu.
Hanya dengan pandangan mata Kakek Riyadi bisa memberitahu asistennya untuk mengambil sebuah tablet dan menyerahkannya pada Arlo.
“Hari Senin depan, kamu dan Hans harus pergi ke pulau itu!” perintah Kakek Riyadi.
Alis Arlo terangkat setengah, dia menatap layar tabletnya yang menampilkan foto sebuah pulau yang begitu hijau dengan laut biru yang mengelilinginya.
“Ini di mana?”
“Yang pasti jauh dari sini,” jawab Kakek membuat Arlo makin tidak mengerti.
“Perusahaan akan mulai untuk membangun hotel juga resor di pulau itu. Kakek mau kamu ke sana dan melakukan negosiasi dengan warga di sana. Kamu harus bisa mendapatkan delapan puluh persen tanah di sana untuk kita bangun properti kita,” jelas Kakek lagi.
Tidak ada jawaban dari Arlo, dia masih kaget dan juga bingung.
“Di sana akan dibangun bandara sehingga akan menjadi destinasi wisata yang potensial nantinya. Kita harus mendapatkannya lebih dulu. Itu sudah pola pikir pengusaha, Arlo. Belajarlah!” lanjut Kakek lagi.
Arlo menarik nafas panjang. “Kalau Arlo gak mau pergi?”
“Kamu mau artikel ini keluar?”
Arlo mengikuti arah pandangan kakeknya dan dia mulai membaca judul sebuah artikel.
“Hamil! Lea Agustina mengaku janinnya adalah hasil hubungan dengan cucu konglomerat Riyadi.”
“What?” Arlo sedikit berteriak, dia tidak percaya dengan apa yang dia baca.
“Dia punya fotonya bersama kamu yang sedang tidak pakai baju, dasar bocah nakal!” Kini suara kakeklah yang meninggi.
“Tapi aku gak pernah tidur dengannya. Waktu itu bajuku ketumpahan anggur makanya ku buka,” jelas Arlo.
“Tapi seharusnya sebelum kamu melepaskan pakaianmu itu, kamu berpikir dulu kalau ada tipe wanita ular sepertinya yang bisa memanfaatkan keadaan!”
Arlo diam, perlahan dia mulai menunduk. Menyesal dan juga kesal pada wanita yang berprofesi sebagai pemain film terkenal itu.
“Begitu artikel itu dirilis, keluarga kita akan mendapatkan banyak perhatian media. Satu kesalahan saja bisa membuat saham kita turun. Apa kamu tahu betapa kesusahannya Kakek juga Ayahmu selama ini untuk mempertahankan perusahaan?”
Ada hening di sana untuk beberapa saat.
“Kamu pergi ke pulau itu selama sebulan! Dan jika kembali tanpa hasil maka ... Kakek akan memperbaharui isi wasiat kakek. Perusahaan akan kakek serahkan pada cucu yang mana saja asalkan dia kompeten. Tidak peduli dia laki-laki atau perempuan. Dan akan kakek serahkan seratus persen sehingga yang lain tidak akan mendapatkan apa-apa!” ancam Kakek.
“Kakek gak bisa kayak gitu dong!”
“Kenapa tidak? Ini perusahaan kakek, terserah kakek mau kakek apakan!”
Rahang Arlo menegang, dia ingin kembali protes tapi akalnya kini berjalan dengan lebih baik.
“Hanya itu saja syaratnya?” tanya Arlo.
“Arlo hanya perlu membeli tanah dari para warga ‘kan?”
Kakek mengangguk dan menjawab tenang, “Hanya itu.”
“Arlo akan pergi.”
***
“Memangnya tidak bisa naik helikopter saja ke sana, Hans?” tanya Arlo ketika dia berada di ujung dermaga. Tidak ada yang memberitahunya kalau untuk sampai ke pulau itu haruslah menggunakan transportasi laut dan yang ada di depannya ini hanya sebuah perahu dengan mesin yang sepertinya tidak begitu aman.
“Tidak ada tempat untuk pendaratan helikopter di sana, Bos.” Hans menjawab sambil memberikan kopernya juga Arlo pada petugas perahu itu.
“Argh!” Arlo mendengus kesal.
“Lagi pula perjalanan kita tidak akan lama, hanya sekitar dua puluh menit saja. Apalagi di cuaca yang cerah seperti ini,” ujar Hans.
“Bahkan berada dua detik di perahu itu saja saya tidak mau, apalagi dua puluh menit!” Arlo menggeleng, tubuhnya bergidik ngeri.
“Sayangnya Anda tidak punya pilihan, Bos. Ingat?” Hans meletakkan telunjuknya di jari membuat Arlo langsung terbayang Kakeknya yang suka melakukan hal yang sama.
“Sial!” Arlo mengumpat.
Arlo dengan Hans memang sudah cukup akrab, usia mereka yang tidak terpaut jauh dan kedekatan mereka yang terjalin sejak lama menjadikan keduanya sahabat. Tapi Hans cukup tahu diri dengan tidak bertindak atau bicara terlalu jauh, bagaimanapun Arlo adalah tuannya yang harus dia hormati.
“Ayo, Bos!” ajak Hans setelah semua barang mereka berhasil dinaikkan ke atas perahu itu.
Arlo masih menatap ragu, langkahnya bahkan mundur.
“Ayolah! Setidaknya kalau kita mati tenggelam, kita mati bersama,” ujar Hans.
“Mulutmu itu! Sembarangan!” Arlo memukul-mukul Hans kecil, menghindari lelaki yang sedang berusaha menariknya kembali mendekat ke arah ujung dermaga.
“Ya salah siapa kita ada di sini sekarang?’ Hans bercecah pinggang.
“Salahmu! Kenapa kamu gak mengenalkan saya dengan wanita baik-baik? Malah kamu kenalkan pada ular betina begitu!”
“Anda yang ingin supaya berita kencan itu bisa meledak. Artis wanita itu adalah kuncinya untuk meledakkan berita,” ujar Hans membela diri.
“Ya tapi tidak sampai membuat saya diancam seperti ini. Mana ternyata sudah di DP duluan lagi, untung saya gak tidur sama dia.” Arlo bergidik ngeri.
“Jadi pergi sekarang tidak?” Hans mencoba mengabaikan semua keluhan dari Arlo.
***
“Dengar Hans, begitu semua ini selesai. Hal pertama yang harus kita bangun adalah helipad! Saya tidak mau lagi naik perahu menyiksa itu!” ujar Arlo sebelum dia kembali menunduk untuk muntah.
Hans tidak menjawab, dia hanya membantu untuk mengurut pelan tengkuk leher Arlo.
“Pak Hans ya?” Seorang lelaki muda datang menghampiri Hans juga Arlo.
“Dimas ya?” Hans mengulurkan tangannya untuk menyalami pria muda itu.
“Ombaknya lagi besar ya?” tanya Dimas sambil tersenyum matanya memandang ke arah lautan yang menurutnya begitu tenang hari ini.
“Bos saya hanya tidak terbiasa naik kapal,” jawab Hans.
“Sudah, sudah! Di mana vila kita?” Arlo berdiri tegak, dia hanya ingin segera membaringkan diri dan tidur. Perjalanannya hari ini benar-benar melelahkan.
Hans dan Dimas saling berpandangan.
“Kenapa?” tanya Arlo.
“Tidak ada vila di sini, Bos. Anda masih ingat ‘kan? Kita adalah orang pertama yang ingin membangun semua properti itu di tempat ini,” bisik Hans.
Arlo merasa bodoh tapi dia mencoba menahan harga dirinya agar tidak jatuh. Dia hanya berdeham kecil dan memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Ada satu rumah yang bisa bapak-bapak tinggali. Mari saya antar,” ujar Dimas.
“Oke, di mana mobilnya?” tanya Arlo, bersiap pergi. Dia sudah membayangkan kasur, dia butuh mandi dan tidur.
“Ehm, kita akan jalan kaki ke sana.”
“Jalan kaki?” Arlo melebarkan matanya, dia menatap Hans menuntut pertanggungjawaban.
“Berapa jaraknya?” tanya Hans, lari dari tatapan Arlo.
“Jaraknya mungkin sekitar satu sampai dua kilometer,” jawab Dimas.
“Berapa lama kita akan jalan kaki?” tanya Arlo.
“Mungkin sekitar dua puluh sampai tiga puluh menit,” jawab Dimas lagi.
“Argh!” Arlo kembali berteriak frustrasi.
“Ini sih namanya membunuh secara perlahan-lahan!” teriak Arlo.
“Kamu pasti tahu tentang ini ‘kan?” Arlo menunjuk ke arah Hans. Tapi begitu dia melihat wajah Hans yang masih bingung dia tahu kalau Hans juga tidak punya gambaran apa-apa.
“Tambahkan Hans, selain helipad, saya juga ingin mobil,” sambung Arlo.
Sementara Dimas hanya bisa menatap dua orang kota yang seperti baru saja kehilangan harapan hidup mereka. Keduanya bahkan hanya menangguk tanpa menjawab ketika Dimas mengajak mereka untuk mulai berjalan.
Perjalanan itu tentu saja tidak mudah untuk Hans apalagi Arlo, berulang kali keluhan keluarga dari mulutnya. Dimas hanya bisa menahan diri untuk tidak memukul Arlo yang dia anggap menyebalkan.
“Nah, kita sudah sampai,” ujar Dimas yang langsung membuat dua lelaki di belakangnya seperti dihidupkan kembali.
“Ini tempat kita akan menginap?” tanya Arlo.
“Hans? Kamu yakin tidak ada tempat lain?” sambung Arlo.
“Saya sudah memesankan tempat paling bagus di pulau ini, Bos!” jawab Hans.
Di depan mereka ada dua bangunan yang satu berbentuk rumah seperti biasanya walau berukuran kecil, di depannya ada teras dengan dua kursi kayu dan juga tanaman berdaun lebar yang menghiasi rumah itu. Sementara di samping rumah itu hanya ada sebuah bangunan kotak yang tidak begitu luas tapi tidak kecil juga, bangunan itu juga mempunyai teras tapi lebih kecil. Dindingnya sama-sama berwarna putih dengan keramik merah yang begitu kontras.
“Ini satu-satunya tempat paling layak di pulau ini. Pak Hans juga Pak Bos sepertinya harus berpisah karena kamar yang di sana hanya cukup untuk satu orang,” Jelas Dimas.
“Di rumah itu ada orangnya?” tanya Arlo.
“Ada. Seorang ibu dan anaknya yang berusia dua tahun,” jawab Dimas.
“Satu orang harus tinggal di rumah itu dan satu lagi di bangunan kotak itu?” tanya Arlo lagi.
Dimas mengangguk.
“Kalau begitu saya akan tinggal di bangunan kotak itu,” ujar Arlo.
“Hah?” Hans menatap Arlo tidak percaya.
“Kamu tahu sendiri saya tidak bisa bersama anak kecil. Mana pernah saya akrab dengan mereka? Apalagi nanti kalau mereka menangis, yang ada bisa gila saya!” Arlo melambaikan tangannya menolak.
Hans ingin membantah tapi tentu saja dia tidak bisa, dia hanya bisa pasrah. Dia juga sebenarnya tidak begitu akrab dengan anak kecil. Dia saja anak tunggal.
“Cyra!” Dimas tiba-tiba berteriak dan berjalan cepat ke arah rumah itu.
Pandangan Arlo mendapati seorang anak kecil yang tengah berjalan keluar dari pintu. Matanya bulat dan besar, bulu matanya begitu lentik. Hidungnya begitu kecil dan ditambah dengan bibir kecil merah membuatnya terlihat menggemaskan. Pipinya yang gembul juga rambutnya yang menggunakan poni lurus itu begitu menarik perhatian Arlo.
Ada sesuatu yang membuatnya berjalan mendekat ke arah rumah itu, rasa penasaran ingin melihat anak balita itu.
“Cyra, mama kamu ke mana? Kok kamu bisa keluar?” tanya Dimas pada anak perempuan itu.
“Mama?”
Arlo tidak tahu apa yang jelas hatinya sekarang seperti es krim di tengah cuaca panas, meleleh. Suaranya berhasil menggetarkan jiwa Arlo membuatnya menatap anak itu tanpa berkedip sedikit pun.
“Iya, Mama di mana?” tanya Dimas lagi.
“Cyra?”
Suara yang memanggil nama anak perempuan itu mengalihkan perhatian Arlo dari Cyra. Tapi sosok yang baru saja keluar dari dalam rumah itu berhasil membuat jantungnya berhenti. Sosok wanita itu juga sama terkejutnya dengan Arlo.
“Emalyn?” Arlo tidak pernah membayangkan kalau dia akan mengucapkan nama itu lagi. Nama yang sudah mengubah hidupnya hampir tiga tahun yang lalu.
Ema hanya bisa diam mematung, sampai Cyra yang berlari ke arahnya sambil memanggilnya mama pun tidak begitu dia gubris.
“Mama?” Jantung Arlo makin berdebar.