bc

Jerat Pesona Sang Duda Tampan

book_age18+
3.4K
FOLLOW
27.1K
READ
love after marriage
playboy
CEO
drama
sweet
bxg
campus
city
first love
husband
like
intro-logo
Blurb

Spin off naskah Pesona Calon Adik Ipar

Setelah sang istri meninggal dunia, Dava memilih untuk tetap menyendiri. Dia tak akan menggantikan Dina dengan wanita manapun.

Hingga suatu hari Dava bertemu dengan Siska, gadis muda yang membuatnya memiliki ide untuk menjadikan Siska sebagai alat untuk memenuhi permintaan kedua orang tuanya.

Siska yang awalnya hanya ingin menolong Dava dengan membiarkannya menginap di apartemennya, ternyata justru membuatnya terjerat dalam pernikahan yang sama sekali tak diinginkannya.

"Bagaimana kamu menjanjikan itu kepada kedua orang tuaku, kalau kita saja tak saling mengenal satu sama lain. Bagaimana bisa kamu berjanji akan melamarku tanpa meminta pendapat dariku dulu." ~Siska Apriyani~

"Apapun yang terjadi, aku tak akan menarik kembali kata-kataku. Aku akan tetap datang ke rumahmu untuk melamarmu. Aku sama sekali tak membutuhkan persetujuanmu, karena keputusan ada di tanganku." ~Dava Rahendra~

Pernikahan yang terjadi karena sebuah kesalahpahaman, karena kedua orang tua Siska yang melihat Dava berada di dalam kamar apartemen Siska, membuat Dava berjanji kepada kedua orang tua Siska akan melamar Siska sebagai pertanggung jawabannya.

Siska yang begitu membenci Dava karena sifat playboynya, sedangkan Dava yang membutuhkan Siska untuk membuat kedua orang tuanya bahagia dengan menikahi Siska.

Pernikahan seperti apa yang akan Dava dan Siska jalani nantinya? Akankah pernikahan mereka akan berakhir dengan perceraian nantinya?

Cover by. Kaa Media

chap-preview
Free preview
Hari yang sial
Dava Rahendra, mulai membuka kedua matanya secara perlahan. Setelah sang istri meninggal dunia, pria itu tak lagi percaya dengan yang namanya cinta. Baginya, wanita hanyalah alat untuk melampiaskan hasratnya. Meskipun kini usianya sudah menginjak 35 tahun, tapi Dava sama sekali tak peduli dan masih setia untuk tetap melajang seumur hidupnya. Kini, diatas ranjang tempat Dava merebahkan tubuhnya, terlihat sosok wanita cantik yang tak lain adalah Anita, wanita yang hanya Dava peralat untuk memuaskan dahaganya. Dimana semalam wanita itu telah menjadi kekasihnya dan menyerahkan hartanya yang paling berharga kepada sang duda tampan itu. “Jadi aku pria pertama yang sudah berhasil mendapatkanmu seutuhnya?” gumamnya dalam hati. Dava tak menyangka, keputusannya untuk menjadikan Anita miliknya seutuhnya membawanya dalam kebimbangan, karena secara langsung dirinya telah menghancurkan masa depan Anita. Dava memang terlihat serius saat melancarkan aksinya untuk menggaet hati wanita-wanita yang akan menjadi incarannya. Tapi, setelah mendapatkan apa yang diinginkannya, ia akan mengganti apa yang didapatkannya dengan uang atau barang-barang mewah kepada para wanita-wanita itu sebagai imbalan atas apa yang sudah didapatkannya. Tapi kali ini sepertinya Dava menyesali semuanya, karena biasanya wanita yang berakhir di ranjangnya adalah wanita-wanita yang sudah tak suci lagi. Tapi sekarang berbeda. Untuk Anita, Dava adalah pria pertama yang sudah ia persembahkan apa yang sudah dijaganya selama ini. Hal yang seharusnya ia persembahkan kepada pria yang akan menjadi suaminya kelak. Dava menghela nafas, ia lalu beranjak dari ranjang secara perlahan, karena ia tak ingin membangunkan Anita yang masih tampak kelelahan. “Lebih baik sekarang aku mandi. Untung hari ini hari libur, jadi aku bisa sedikit bersantai.” Dava lalu melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Ia menatap pantulan tubuhnya dari balik cermin di depan wastafel. Dimana ada beberapa tanda yang Anita tinggalkan di tubuhnya. Setelah selesai membersihkan diri, Dava melangkah keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambutnya yang basah dengan handuk kecil yang ada di tangannya. “Kamu sudah bangun?” Dava melihat Anita yang sudah bersiap untuk keluar dari kamarnya. “Lebih baik kamu bersihkan tubuh kamu dulu,” ucapnya lalu melangkah menuju changing room. Anita mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang, ia lalu mengingat kejadian di kamar itu semalam. “Astaga! apa yang sudah aku lakukan? apa aku benar-benar sudah gila!” Anita menyibak selimut dan melihat bercak merah yang tercetak jelas di sprei berwarna putih itu. “Sekarang apa yang harus aku lakukan? apa yang akan Dava pikirkan tentang aku nanti?” gumamnya dalam hati. Anita melihat Dava yang sudah keluar dari changing room dengan pakaian yang sudah rapi. Dava mengernyitkan dahinya saat melihat Anita yang belum juga membersihkan tubuhnya. Ia lalu melangkah mendekatinya. “Kenapa kamu belum membersihkan tubuh kamu? apa kamu sama sekali gak merasa risih? Semalam kan kita habis....” Dava menghentikan ucapannya saat tiba-tiba Anita membungkam mulutnya dengan telapak tangannya. “Jangan dibahas lagi.” Dava menurunkan tangan Anita dari mulutnya, punggung tangan itu dikecupnya dengan sangat lembut, hingga membuat kedua pipi Anita merona. “Kenapa? apa kamu menyesal sudah melakukan itu sama aku?” tanyanya sambil mengernyitkan dahinya. Anita menundukkan wajahnya, ia tak ingin sampai Dava melihat kedua pipinya yang sudah merona. “Itu yang pertama buat aku,” lirihnya. “Hem. Aku tau. Aku sangat berterima kasih sama kamu, karena kamu rela memberikan itu sama aku.” Anita mengangkat wajahnya, menatap kedua mata Dava yang saat ini juga tengah menatapnya. “Apa yang kamu pikirkan tentang aku sekarang?” “Gak ada. Memangnya kenapa?” “Apa kamu akan menganggap aku seperti jalang?” Dava mengernyitkan dahinya. “Kenapa kamu berpikiran seperti itu?” “Karena aku sudah memberikan hal yang paling berharga dalam hidupku kepada pria yang baru semalam menjadi kekasihku,” ucap Anita lalu kembali menundukkan wajahnya. Dava mengusap puncak kepala Anita, ia lalu mengulum senyum. “Jangan berpikir yang macam-macam. Lebih baik sekarang kamu mandi. Kamu bisa memakai pakaian yang ada di lemari.” “Apa pakaian itu....” “Itu milik mendiang istriku. Tapi kalau kamu gak mau juga gak apa. Kamu bisa pakai baju kamu lagi.” Dava lalu melangkah keluar dari kamarnya, meninggalkan Anita yang masih diam mematung. "Aku tau kalau Dava itu seorang duda. Melihat usianya juga jauh diatas aku. Tapi, kenapa dia sampai sekarang masih menyimpan pakaian istrinya?" “Lebih baik sekarang aku mandi. Aku juga merasa gak nyaman dengan tubuhku yang terasa sangat lengket.” Anita akhirnya melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Disaat Anita tengah membersihkan tubuhnya, Dava memilih untuk berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan untuk dirinya dan juga Anita. Dava memasak yang simple, ia hanya membuat nasi goreng dengan telur ceplok di atasnya. Ia melihat Anita yang tengah berjalan ke arahnya. Dava menyunggingkan senyumannya, saat melihat Anita memakai pakaian yang ada di lemari pakaian yang ada di changing room. “Padahal itu bukan pakaian Dina. Itu pakaian wanita yang dua hari lalu menginap disini. Untung gak jadi aku buang. Ada manfaatnya juga ternyata,” gumamnya dalam hati. “Aku hanya membuat nasi goreng buat sarapan. Tapi kalau kamu gak mau juga gak apa, nanti aku pesankan makanan untuk kamu,” ucap Dava lalu menarik salah satu kursi meja untuk didudukinya. Anita hanya diam sambil menatap Dava. “Dia gak minta aku untuk duduk gitu? Jadi ini sifat aslinya? Dingin dan cuek,” gumamnya dalam hati. Dava mengangkat wajahnya, menatap Anita yang masih betah berdiri di depannya. “Kenapa kamu gak duduk? Memangnya kamu gak lapar? Atau kamu takut kalau aku memasukkan sesuatu di makanan kamu?” Anita menarik kursi yang ada di depan Dava, ia lalu mengambil mengisi piring kosongnya dengan nasi goreng buatan Dava. “Selamat makan,” kesalnya lalu mulai memakan nasi goreng buatan Dava. “Dasar cewek aneh!” gumam Dava dalam hati sambil menggeleng pelan. Dava lalu melanjutkan makannya tanpa menatap ke arah Anita lagi. Setelah selesai sarapan, Dava mengajak Anita untuk jalan-jalan ke mall. Ia ingin membelikan sesuatu untuk Anita sebagai hadiah, karena semalam Anita sudah memuaskannya. “Em... untuk apa kita kesini?” Dava mengajak Anita ke sebuah toko perhiasan yang ada di dalam mall itu. “Aku mau membelikan sesuatu buat kamu.” Dava lalu melihat sebuah liontin yang sangat indah. “Tolong ambilkan yang itu,” ucapnya kepada salah satu pelayan toko sambil menunjuk ke liontin yang menarik perhatiannya. Pelayan itu mengambil liontin yang diinginkan Dava. “Ini, Tuan. Ini liontin limited edition. Hanya ada tiga liontin yang sama seperti ini dan sekarang hanya tinggal satu ini,” ucapnya dengan ramah. Dava mengambil liontin itu dari kotak beludru berbentuk hati itu. “Sekarang kamu berbalik,” pintanya pada Anita. “Tapi ini....” “Aku bilang berbalik!” Dava sama sekali tak ingin dibantah. Anita akhirnya berbalik menjadi membelakangi Dava. Dava memakainya liontin itu di leher jenjang Anita. Ia lalu membalikkan tubuh Anita untuk menghadapnya. “Cantik,” pujinya. Anita menyentuh liontin yang sekarang menggantung di lehernya. “Tapi ini terlalu bagus buat aku.” Dava mencegah Anita yang ingin melepas liontin itu. “Kalau kamu melepas liontin itu, itu berarti hubungan kita berakhir saat ini juga.” Kedua mata Anita membulat dengan sempurna. Ia tak menyangka, hanya karena sebuah liontin, Dava akan mengakhiri hubungan mereka yang belum genap sehari. Dava menatap pelayan itu. “Aku akan mengambil liontin ini,” ucapnya lalu memberikan black card kepada pelayan itu. Pelayan itu lalu mengurus semua surat-surat dan pembayarannya. “Aku harap kamu gak akan pernah melepas liontin ini.” “Tapi ini terlalu mahal buat aku.” Dava menangkup kedua pipi Anita, ditatapnya kedua mata Anita yang saat ini juga tengah menatapnya. “Ini pantas untuk kamu dapatkan. Bahkan liontin itu gak bisa menggantikan apa yang sudah kamu berikan padaku.” Setelah dari toko perhiasan, Dava mengajak Anita untuk berbelanja pakaian dan yang lainnya. Anita memberanikan diri untuk merangkul lengan Dava. Apa yang dialaminya saat ini seperti yang dirinya impikan selama ini. “Em... apa aku boleh memanggilmu, Mas? karena usia kamu lebih tua dari aku.” “Terserah kamu.” Dava tak peduli Anita mau memanggilnya apa, karena itu tak terlalu penting untuknya. Sedangkan di salah satu toko yang ada di mall itu, Siska dan kedua sahabatnya baru saja selesai berbelanja pakaian. “Sis, habis ini kita cari makan ya? aku sudah lapar banget soalnya, “ajak Dita sambil merangkul lengan Siska. “Aku juga sudah lapar banget nih. Gimana kalau kita makan di restoran yang ada di mall ini aja?” usul Gigi yang berdiri di sebelah Siska. “Ok. Tapi sebelum kita makan, kalian temani aku beli sepatu dulu ya?” Siska mengedipkan kedua matanya sambil nyengir kuda. “Ok. Kita akan temani kamu beli sepatu. Tapi, kamu yang akan bayarin makan siang kita ya,” ucap Dita sambil nyengir kuda. “Ok. Siapa takut,” ucap Siska sambil menjentikkan jarinya. Siska, Dita, dan Gigi lalu keluar dari toko pakaian itu. Mereka berjalan beriringan dengan posisi Dita yang ada di tengah. Siska dan Gigi merangkul kedua lengan Dita. Mereka berjalan sambil mengobrol tentang makanan apa yang akan mereka makan untuk menu makan siang. Hingga mereka dikejutkan dengan teriakan Siska. “Jambret!” seru Siska saat tas selempangnya dijambret oleh seseorang. “Siska. Kita kejar jambret itu sebelum jauh!” seru Dita yang langsung berlari mengejar jambret itu. Siska dan Gigi ikut mengejar jambret itu sambil berteriak meminta jambret itu untuk berhenti. Hingga tanpa Siska duga, dirinya telah menabrak seseorang. Dava yang sama-sama terkejut sama sekali tak bisa menghindar, hingga tabrakan itu terjadi, membuat tubuhnya kini berada dibawah Siska. Anita yang merasa geram dengan apa yang dilihatnya, sontak langsung menarik tangan Siska. Tanpa meminta penjelasan terlebih dahulu dengan apa yang sebenarnya terjadi, dirinya langsung menampar wajah Siska di depan umum. “Dasar! Kamu sengajakan melakukan ini untuk menarik perhatian kekasihku, hah!” teriak Anita dengan wajah merah padam. Dita yang melihat sahabatnya ditampar di depan umum, sontak langsung menghampiri Siska. “Hai, Tante! Kenapa Tante menampar sahabat saya!” geram Dita tak terima sahabatnya dipermalukan di depan umum. “Sis, kamu gak apa-apa kan?” tanya Dita sambil menyentuh pipi kiri Siska yang memerah. Siska menganggukkan kepalanya, ia lalu menatap Anita dan Dava secara bergantian. “Maaf ya Tante, Om. Saya juga tak ingin hal seperti ini terjadi. Kenapa juga Om jalan gak pakai mata? Memangnya ini jalan milik nenek moyang Om!” Dava mengernyitkan dahinya, saat gadis yang menabraknya memanggilnya dengan panggilan ‘Om’. “Apa kamu bilang tadi? Om?” “Ya. Om. Memangnya aku harus memanggil Om apa? kakak, atau Mas gitu?” Hanya mendengar ucapan Siska, membuat darah dalam tubuh Dava mendidih saat itu juga. Dava lalu membersihkan pakaiannya yang jadi kotor. “Lebih baik kita pergi dari sini. Aku gak mau berdebat dengan anak ingusan yang sudah tau dirinya salah tapi gak mau disalahkan.” “Tapi, Mas. Dia harus minta maaf sama Mas karena sudah menabrak Mas dan membuat pakaian Mas kotor,” ucap Anita yang tak ingin melepaskan Siska begitu saja. Siska tersenyum sinis. “Gara-gara Tante dan Om, jambret itu berhasil lolos. Aku yang lebih banyak mengalami kerugian disini!” kesalnya. Dava lalu mengambil kartu kredit dari dalam dompetnya, lalu mengangkatnya. “Apa ini cukup untuk mengganti rugi kerugian kamu?” tanyanya lalu menyodorkan kartu kredit itu di depan wajah Siska. Anita mengambil kartu kredit itu dari tangan Dava. Ia tak akan membiarkan Dava mengganti rugi atas kerugian yang Siska dapatkan. “Enak saja. Dia yang salah kenapa Mas yang harus ganti rugi, sih! Lebih baik kita pergi dari sini, Mas, aku jadi gak mood buat belanja,” kesalnya. Anita lalu menarik tangan Dava dan pergi dari tempat itu. “Dasar orang aneh!” teriak Dita dengan emosi yang meluap. Gigi menyentuh lengan Siska. Ia juga mencemaskan nasib sahabatnya itu. “Sis, tas kamu....” Siska menghela nafas panjang. Ia ingin sekali meluapkan amarahnya. Tapi percuma, karena sumber masalahnya sudah pergi begitu saja. “Sudahlah. Lebih baik sekarang kita ke kantor polisi untuk melapor atas hilangnya tas aku. Mana di dalam tas itu ada semua barang-barang berharga aku lagi.” “Semua ini gara-gara pasangan tua itu!” kesal Dita dengan mengepalkan kedua telapak tangannya. “Dit, mereka bukan pasangan tua kali. Cowok tadi ganteng loh, lebih ganteng dari pacar kamu,” ucap Gigi sambil nyengir kuda. “Ganteng sih ganteng. Tapi ceweknya itu loh, kayak ular betina gitu. Masa hanya karena cowoknya tak sengaja ditabrak sama Siska, itu tante tante langsung nampar Siska!” Dita masih sangat kesal. “Sudahlah, Dit. Semoga saja kita gak akan bertemu dengan mereka lagi. Anggap saja hari ini aku lagi sial. Lebih baik sekarang kita pergi dari sini.” Siska tak mau memperkeruh suasana. Apalagi suasana hatinya sedang kacau saat ini. Setelah tasnya dijambret, hari ini dirinya dipermalukan di depan umum oleh Anita. Wanita yang sama sekali tak dikenalnya tapi berani menampar wajahnya. Bahkan kedua orang tua Siska sekalipun belum pernah menamparnya seumur hidupnya. "Jangan sampai aku bertemu dengan mereka lagi. Aku jadi sial gara-gara mereka. Sungguh hari yang sial!" Sedangkan di tempat lain, Dava baru saja mengantar Anita pulang ke kontrakannya. “Mas, mau mampir gak?” Dava melihat jam di pergelangan tangannya. Ia sebenarnya masih ada waktu untuk berdua sama Anita. Tapi, entah mengapa moodnya jadi hilang gara-gara pertemuannya dengan Siska di mall tadi. “Lain kali saja. Aku ada janji sama teman aku.” Anita hanya mengangguk, karena ia juga tak mungkin memaksa Dava untuk terus bersamanya. Ia tak ingin sampai Dava berpikiran buruk tentangnya. “Terima kasih untuk hari ini ya, Mas. Mas sudah banyak memberi aku hadiah,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. “Hem.” Anita sebenarnya tak suka dengan sikap cuek Dava. Tapi ia mencoba untuk menahan diri, karena Dava adalah tambang emas untuknya. Pria yang cocok untuk menjadi pendamping hidupnya. “Kalau begitu aku keluar dulu.” Anita lalu membuka pintu dan keluar dari mobil itu sambil membawa paper bag yang berisi barang-barang belanjaannya. Anita melambaikan tangannya saat Dava mulai melajukan mobilnya pergi dari hadapannya. Ia lalu menghela nafas panjang. “Aku gak menyangka sifat dia begitu dingin dan cuek, sangat berbeda dengan saat dirinya begitu gigih mengejarnya saat itu.” "Apa setelah dia mendapatkan apa yang dia mau, sikapnya berubah jadi dingin seperti itu sama aku?" Anita menggelengkan kepalanya berkali-kali. “Kalau kamu pikir, aku akan menyerah karena sikap cuek dan dinginmu itu, kamu salah besar Dava. Apalagi setelah apa yang kamu renggut dariku.” “Aku gak akan pernah melepaskanmu. Kamu harus bertanggung jawab untuk apa yang sudah kamu lakukan padaku,” ucap Anita sambil menyunggingkan senyumannya. "Aku bukanlah wanita bodoh yang bisa kamu permainkan Dava. Aku akan mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku." Dava memutuskan untuk pergi ke rumah kedua orang tuanya. Sudah satu bulan ini dirinya tak lagi mengunjungi kedua orang tuanya. “Bi, apa Mama dan Papa ada di rumah?” tanya Dava setelah pintu rumahnya dibuka oleh asisten rumah tangga keluarganya. “Ada, Den. Tuan dan Nyonya sedang ada di ruang makan.” “Terima kasih, Bi.” Dava lalu melangkah masuk ke dalam rumahnya. Tujuannya adalah ruang makan, karena sebenarnya dirinya juga sangat lapar. “Siang Ma, Pa,” sapa Dava saat melangkah masuk menuju ruang makan. “Papa pikir kamu sudah lupa jalan pulang,” sindir Andrean sambil menatap sang putra yang saat ini sudah duduk di kursi meja makan. “Pa....” Santi menggelengkan kepalanya. Santi lalu menatap sang putra. “Mama senang kamu datang. Kamu mau makan pakai apa, Sayang?” “Aku bisa ambil sendiri, Ma.” Dava lalu mengambil makanan dan diletakkan diatas piring kosongnya. “Dava itu sudah besar, Ma. Sudah kepala tiga. Jadi Mama gak perlu memanjakan dia lagi. Seharusnya Dava yang harus melayani Mama.” Dava hanya diam. Ia sudah tau semua ini pasti akan terjadi, karena setiap dirinya pulang ke rumah, dirinya dan papanya selalu berdebat seperti ini. Tapi kali ini dirinya memilih untuk diam. “Dav, sampai kapan kamu akan tetap menyendiri? Papa dan Mama sudah semakin tua. Apa kamu sama sekali gak ingin melihat Papa dan Mama mati dengan tenang?” Santi menyentuh lengan sang suami. “Sudahlah, Pa. Biarkan Dava makan dengan tenang.” “Jonathan sudah punya anak. Semua teman-teman kamu sudah menikah. Sampai kapan kamu akan terus seperti ini? sampai kapan kamu akan terus bermain-main dengan wanita-wanita itu?” Dava menghentikan gerak tangannya. Ia lalu mengangkat wajahnya menatap kedua mata sang papa. “Pa, ini hidup aku. Terserah apa yang akan Papa katakan, aku tetap gak akan menikah!” “Sayang, usia kamu sudah semakin bertambah. Apa kamu sama sekali tak ingin memiliki keluarga kecil seperti teman-teman kamu?” “Mama bisa mengenalkanmu dengan anak teman-teman Mama.” “Ma! Aku gak akan pernah menggantikan Dina dengan wanita manapun, Ma!” “Dina sudah meninggal, Sayang. Dina juga gak mungkin bisa kembali hidup lagi kalau kamu tetap seperti ini.” Dava beranjak dari duduknya. “Sepertinya keputusan aku untuk datang kesini salah. Aku pergi Ma, Pa,” pamitnya lalu melangkah pergi. “Dava!” Andrean berteriak sangat keras untuk memanggil Dava. Tapi Dava terus melangkahkan kakinya dan tak peduli dengan panggilan sang papa. “Ma, punya anak satu kenapa begitu susah diatur! Apa kesalahan Papa di masa lalu, sampai Papa harus mempunyai anak pembangkang seperti Dava.” Disaat pikirannya sedang kacau, Dava selalu pergi ke makam Dina dan Naura untuk mencurahkan keluh kesahnya. Hanya tempat itu yang menjadi tujuan terakhirnya kalau dirinya sudah tak bisa untuk berpikir jernih. “Maafin aku ya, Din. Aku selalu datang kesini disaat aku butuh tempat untuk menyendiri. Andai kamu masih ada disini. Aku gak harus mendengar semua itu.” “Memangnya apa yang salah dengan usia 35 tahun? apa menikah begitu penting, hingga aku harus menggantikan kamu dengan wanita lain?”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
202.8K
bc

My Secret Little Wife

read
115.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
19.3K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
219.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook