7. Tak Bisa Menghindar

1804 Words
Biasanya, di saat terdesak seperti ini Mili akan sangat dengan mudah menemukan jalan keluar. Tapi entah apa yang terjadi pada otak gadis itu saat ini, sehingga ia begitu buntu untuk sekedar menemukan alasan agak bisa cepat beranjak dari Pastela, cafe di mana ia masih terjebak bersama Fala juga sahabatnya. Sampai dering ponsel Fala di tepian meja menarik perhatian Mili untuk beberapa saat. “Hai Mas, udah nyampe mana? Oh udah di depan ...” suara Fala semakin membuat Mili sesak seketika. Bagaimanapun caranya ia harus keluar dari tempat ini. “Iya, nanti langsung ke lantai dua aja. Naya masih di sini kok, nungguin calon mertuanya belanja di florist sebelah. Iya, Mili juga ada, nanti kita nerdua nebeng mobil kamu aja ya, Mas.” suara manja Fala yang dibuat-buat semakin mengaduk perasaan Mili. Entah ia memang salah makan atau apa, tapi Mili merasakan ada banyak kupu-kupu yang kini berterbangan di dalam perutnya. “Oke ... aku tunggu ya, Mas. Nanti parkir di sebelah Utara aja, biar gak terlalu jauh.” “ ... “ “Bye, Mas. See you when I see you.” pungkas Fala dengan senyum cerah merekah sebelum selang sedetik setelahnya kembali meletakkan ponselnya di tengah meja. "Udah deket si Mas kesayangan lo?" kali ini Naya yang bertanya dengan nada menggoda. Membuat Fala tersenyum simpul hingga pipinya tersipu merona. "Iya, tumbenan deh dia gampang diajak ketemuan gini." gumam Fala masih mempertahankan lengkung di sudut bibirnya. "Kangen lo kali," sahut Naya lagi. "Ya, semoga aja deh. Biasanya dia selalu susah kalau diajak ketemuan pas jam makan siang gini. Ada aja alasannya buat menghindar. Tapi kali ini gampang banget, malah kayak dia yang semangat gitu." Mili masih menunduk sambil berpura-pura menekuri layar tabletnya. Namun pendengarannya menangkap semua pembicaraan di antara kedua sahabat yang sedang mengadakan reuni kecil- di depannya ini. Entah kenapa Mili merasa, sikap Dimitri yang mendadak mudah diajak bertemu kali ini karena adanya dirinya. Salahkah Mili jika merasa terlalu percaya diri seperti saat ini? Tapi bukankah memang Dimitri selalu menghujaninya dengan banyak panggilan dan pesan singkat sebelum akhirnya Mili yang memblokir nomornya. "Kak Fal, aku harus pergi duluan deh. Beneran." Akhirnya Mili bersuara setelah diam selama berpuluh-puluh menit sebelumnya. Fala yang dipanggil sontak saja menoleh dan mengernyitkan kening tak terlalu paham. "Kok mendadak? Udah dibilang kita barengan aja ke kantor, dari pada kamu riweh di jalan sendirian, ntar malah sakit perut lagi." "Mas Nala barusan chat, bentar lagi dia nyampe di stasiun Gubeng sebelum lanjut perjalanan ke Malang. Dia mau nitip sesuatu buat aku." entah dari mana datangnya ide sesat tentang kedatangan kakaknya yang penuh kebohongan itu. Tapi memang hanya itu yang terlintas di kepala Mili. Tak mudah meyakinkan seorang Fala Adisti. Karena itu Mili hanya bisa menggunakan nama kakak kandungnya agar Fala tak terlalu curiga. "Nala kakak kamu?" "Iyalah, Kak. Cuma masku aja kan yang namanya Nala." Mili memaksakan senyum saat memasukkan tabletnya ke dalam tas canvas berwarna biru tua kesayangannya. "Kok, mendadak banget sih?" "Nggak tau deh, nanti aku tanyain Mas Nala kenapa mendadak ke Surabaya tanpa kabar gini." lagi-lagi Mili hanya bisa meringis kaku dengan kalimat dusta yang begitu lancar keluar dari bibir manisnya. Mengabaikan tatapan penuh tanya dari Fala, Mili tetap sibuk merapikan barang-barang printilan pribadinya. Fala yang masih setia memandangi Mili secara sadar menangkap signal yang tidak beres dengan gadis manis yang sudah ia anggap seperti adik kandungnya ini. Namun Fala tetap memilih diam, untuk menjaga privasi sahabat sekaligus rekan kerjanya itu. "Kamu ke Gubeng naik apa Mil?" Mili kembali tersenyum tipis. "Banyak ojek online Kak, nggak usah khawatir." "Yakin perut kamu udah enakan? nggak kenapa-kenapa lagi?" Ada sejumput rasa bersalah yang mendadak bercokol dalam hati Mili. Bagaimana bisa ia tega membohongi Fala yang bahkan masih mengkhawatirkan kondisi kesehatannya seperti ini. Bukan hanya membohongi, namun juga tanpa sepengetahuan Fala, ia sudah bermain api dengan Dimitri, calon suami perempuan cantik itu. "Aku udah enakan kok, Kak," jawab Mili memaksakan senyum. "Tunggu Mas Dim deh, bentar lagi nyampe. Dia udah di depan, lagi nyari tempat parkir mob—" "No, no, no!! Nggak perlu Kak, nggak." gunting Mili tiba-tiba sambil menggerakkan kedua telapak tangannya. "Tapi Mas Dim udah di de--" "Thank you, but ... no, Kak." Mili yang semakin diserang panik langsung menyampirkan tasnya dan bangkit berdiri. Menghampiri Fala sebentar untuk mengecup pipi kanan dan kirinya. Begitu pula saat ia menghampiri Naya. "Bye semuanya, sorry." gumam Mili sungkan, kemudian gegas meninggalkan lantai dua cafe untuk segera kabur sebelum Dimitri benar-benar sampai. Begitu sampai di lantai satu, Mili menoleh panik ke berbagai sudut, terutama ke pintu utama. Tak ingin mengambil resiko berpapasan dengan Dimitri, Mili memutari tangga di mana tadi ia sempat melihat ada pintu kaca yang langsung mengarah ke teras samping cafe. Mili mengangguk mantap, rasanya ia akan aman jika memilih keluar cafe dari pintu samping. Melangkahkan kaki penuh yakin, Mili tersenyum lega saat salah seorang pegawai cafe membukakan pintu kaca untuknya. "Terima kasih atas kunjungannya Kak." pegawai berambut sebahu itu tersenyum ramah sambil menangkupkan kedua tangannya. Mili hanya membalasnya dengan senyum yang tak kalah manis sambil mengangguk sekali. Kemudian melanjutkan aksi kaburnya sambil sesekali menoleh ke belakang demi memastikan tak ada yang mengawasinya. Sayang, baru beberapa langkah, ketenangan Mili terusik saat kaki cantiknya berpapasan dengan sepatu mengkilap milik seseorang yang menghadangnya. Mili mengambil napas panjang, sebelum menengadahkan wajah. Dan ... bingo! Wajah lega Mili mendadak lesap berganti ekspresi pucat pasi. Apalagi setelah matanya menangkap sosok tinggi tegap yang tengah tersenyum miring di depannya. Dimitri. *** Di hari-hari biasa, Fala sangat jarang menghubungi Dimitri di jam kerja. Bukan karena apa, lantaran memang pria itu yang melarang Fala untuk menghubunginya saat jam-jam sibuk di kantor. Apalagi Dimitri termasuk arsitek yang baru bergabung di Architema, rasanya tak pantas saja jika ia sibuk dengan urusan pribadi saat jam kerja. Namun kali ini sedikit berbeda, sudah sejak tiga puluh menit yang lalu ponsel Dimitri selalu bergetar berkali-kali dengan nama Fala yang berkedip di layarnya. Sudah tiga kali Dimitri mengabaikan panggilan tersebut, malas untuk berbincang basa-basi dengan gadis yang berstatus sebagai tunangannya itu. Namun begitu ponselnya berdering untuk keempat atau lima kalinya, rasanya Dimitri tak bisa mengabaikan lagi. Bisa jadi karena itu panggilan darurat kan? "Iya kenapa Fal?" Akhirnya Dimitri mengangkat panggilan tersebut. "Lagi sibuk ya, Mas? Kok lama angkatnya?" suara lembut di seberang sana malah balik bertanya. "Lagi kirim hasil gambar aja di email, kenapa?" "Hmmm, kantor Mas kan gak begitu jauh dari Kapas Krampung," "Hu umm..." tanpa sadar Dimitri menganggukkan kepalanya. "Bisa minta tolong cek ke kontrakan Mili gak Mas? Dari tadi dia gak bisa dihubungi. Aku khawatir aja sama dia, jam segini belum di kantor, aku telpon juga gak diangkat." seru Fala dengan nada cemas. "Mi- Mili? Mili Frisela adik tingkatmu itu?" mendadak saja Dimitri menghentikan gerakan tangannya di atas keyboard laptop. Mulai tak fokus setelah mendengar nama Mili, gadis manis yang membuat hatinya berantakan. "I- iya, Mili yang itu. Temen deketku yang kecil mungil cantik itu." sahut Fala dengan suara serak, mungkin keheranan dengan respon Dimitri yang mendadak antusias. "Di mana rumahnya?" Dimitri memutar kursi kerjanya untuk mengambil secarik kertas dan pena. Bersiap mencatat alamat rumah Mili yang ia cari selama ini. "Aku kirim di chat aja ya, Mas." "Oke, oke. Mas tunggu." Putus Dimitri pada akhirnya. Lantas bermenit-menit setelahnya Dimitri justru merasa seperti orang linglung yang menunggu pesan dari Fala. Fala memang mengiriminya satu pesan, hanya sebatas nama perumahan di mana Mili tinggal. Untuk detail blok dan nomor rumah Mili belum juga ia terima lanjutannya. Maka, yang ia lakukan setelah menahan penasaran adalah mengirimkan pesan balasan pada Fala. Mas Dim : Fal, kamu cuma ngirim nama perumahannya. Rumah dia blok apa? Nomor rumahnya berapa? Fala : Aah, iya. Sorry, Mas hampir kelupaan. Barusan Mili sudah bisa dihubungi kok, dia lagi gak enak badan aja habis diare. Tapi nanti siang udah bisa ikut aku ketemu client. Maaf merepotkan. Dimitri mendesah lega. Namun juga ada gumpalan kecewa lantaran batal menemui Mili. Meski setidaknya ia kini punya petunjuk kecil di mana gadis itu tinggal. Gadis? Aaah bukannya Dimitri yang sudah mengambil 'kegadisan' Mili. Pria itu mengacak rambutnya kasar tatkala bayangan malam panas itu menyeruak di pelupuk matanya. Mas Dim : Oke. Dimitri hanya mengetikkan satu kata singkat padat itu untuk ia kirim lagi pada Fala. Lantas setelahnya, Dimitri kembali menekuri pekerjaannya di layar komputer meskipun pikirannya tak bisa fokus seperti sebelumnya. Otaknya selalu memerintahkan untuk memikirkan keadaan Mili yang kata Fala tadi sempat tak badan karena diare. Entah kenapa pria itu menjadi cemas akan kondisi kesehatan Mili. Tak berhenti sampai di situ saja, konsentrasi Dimitri semakin pecah berantakan saat jam makan siang yang biasanya ia habiskan dengan makan siang bersama rekan-rekan kantornya, justru batal karena pesan mendadak dari Fala. Rentetan pesan yang kali ini sama sekali tak ia abaikan karena Dimitri sengaja ingin mencari tahu tentang Mili Frisela. Fala hanya mengajukan permintaan sederhana di salah satu café di pusat kota. Dan, Dimitri tak punya alasan untuk menolek permintaan tersebut. Oleh karenanya, ia segera berpamitan pada rekannya yang lain karena akan makan siang di luar. “Hai Mas, udah nyampe mana?” suara Fala kembali terdengar. Padahal Dimitri sudah mengirimkan pesan padanya bahwa ia sedang dalam perjalanan. Apalagi sekarang posisinya sudah sangat dekat dengan Pastela Café, tempat mereka berjanji untuk bertemu. “Udah di depan ini, barusan belok di pintu masuk.” jawab Dimitri apa adanya. “Oh udah di depan ...” “Iya, nanti aku langsung samperin kalian.” sambung Dimitri lagi. “Iya, nanti langsung ke lantai dua aja. Naya masih di sini kok, nungguin calon mertuanya belanja di florist sebelah. Iya, Mili juga ada, nanti kita nerdua nebeng mobil kamu aja ya, Mas.” Jawab Fala membuat Dimitri melengkungkan senyum tanpa sadar. Bukan karena hatinya berbunga-bunga karena akan bertemu dengan sang calon istri, namun karena ia yakin akan kembali bertemu dengan Mili yang beberapa waktu terakhir malah memilih lari darinya. “Oke ... aku tunggu ya, Mas. Nanti parkir di sebelah Utara aja, biar gak terlalu jauh.” “Oke, Bye.” pungkas Dimitri sebelum mematikan ponsel. “Bye, Mas. See you when I see you.” Parkiran café penuh, jadi Dimitri hanya bisa mengikuti panduan dari tukang parkir untuk memarkirkan mobilnya di halaman selatan café. Begitu keluar dari mobil, pria itu tak memilih pintu utama untuk masuk, melainkan memilih pintu samping café yang juga bisa langsung menuju lantai dua. Berjalan dengan langkah santai, perhatian Dimitri mendadak terusik karena melihat sosok mungil yang seolah-olah sedang menghindari seseorang karena ia terus saja menoleh ke belakang beberapa kali. Bahkan sosok yang ia hapal betul itu, tak menyadari bahwa posisi mereka berdua sudah berhadapan sangat dekat. Dan … bingo again!! Dimitri tersenyum lebar tatkala gadis berperawakan mungil itu menyadari keberadaannya dan mulai mengangkat kepala. “Hai, Mili. Nggak berniat kabur lagi dari Mas kan?” sapa Dimitri dengan nada tenang. Ketenangan yang justru berbanding terbalik dengan raut wajah gadis manis di depannya yang kini menganga tak percaya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD