Semoga Dia Gay!

1052 Words
Lahirkan keturunan untuk Noah? Jihan hanya bisa tersenyum aneh ketika mendengar Noah meminta dirinya untuk memberikan keturunan. Ia sudah yakin jika kebaikan dari Noah itu tidaklah gratis. Namun ia hanya tidak menyangka jika Noah minta anak darinya. Bukankah Noah sama sekali tidak mencintainya? Hubungannya dengan Noah sudah lama berlalu, cinta itu sudah mati. Jika Noah minta keturunan meski tanpa cinta, Jihan pun berpikir bahwa Noah sedang merencanakan sesuatu. Hanya saja, ia belum tahu apa rencana Noah akan ide yang menurutnya gila ini. "Si b******k sialan itu langsung nyelonong pergi usai berkata minta keturunan dariku. Aku lihat teman-temannya datang dan menghampiri mereka... Orang aneh, minta keturunan dariku tapi meninggalkanku sendirian di sini sebelum aku menjawab keinginan gilanya itu. Suami sialan!" Gerutu Jihan. "Laki-laki sialan! Mentang-mentang teman sepermainan datang, aku disingkirkan! Edo b******k!" Elisa datang mendekat. Dengan kasar ia membanting pantatnya di sebelah Jihan. Rupanya Elisa bernasib sama dengan Jihan. 'Disingkirkan' oleh lelakinya. "Minum dulu..." Jihan menyodorkan minuman untuk Elisa. Elisa pun meminumnya. "Merasa lebih baik?" Tanya Jihan. "Iya, tapi masih kesal. Sepertinya bagi laki-laki, teman itu nomor satu daripada bersama dengan kekasihnya." Kata Elisa. "Kau yang masih pacaran saja disingkirkan, lihatlah aku, aku ini sudah jadi istrinya Noah, sama saja nasibnya dengan dirimu, di-sing-kir-kan!" "Sudahlah, aku lelah membahas mereka... Tamu-tamu sudah tak sebanyak tadi, Lea saja sudah pulang, kau tidak lelah? Mau ke kamar hotel? Aku akan mengantarmu jika kau takut sendirian." Elisa ingin ganti topik pembicaraan. "Aku tidak terlalu lelah, duduk di sini juga sudah termasuk istirahat. Tidak nyaman juga kalau ada yang tanya, aku malah tidak ada." "Astaga Jihan, ternyata kau masih punya belas kasihan untuk Noah ya? Aku merasa terharu. Aku sangat mengenalmu, kau paling alergi pada laki-laki menyebalkan seperti Noah Priatmoko." "Bukan belas kasihan, mungkin kalimat tepatnya adalah sok peduli. Lagian dia suamiku saat ini, aku harus melakukan peranku sebagai istrinya." "Cie, istri yang baik." Goda Elisa. "Tch, jangan menggodaku?" Jihan kemudian menata mahkota tiara yang ada di atas kepalanya. Rasanya sedikit miring. Sementara itu, Elisa hanya mengamati tingkah polah sahabat dekatnya itu. "Rasanya benar-benar seperti bermetamorfosis dari ulat menjadi kupu-kupu. The Real Beauty of Jihan My Bestie. Aku rasa, di kehidupanmu yang dulu, kau itu adalah putri raja. Lihatlah bagaimana dirimu saat ini? Kau super cantik!" Puji Elisa. "Jadi kau mempercayai teori reinkarnasi?" Elisa nyengir. "Bisa jadi." Jihan menghela nafas. "Hah, kau ini." "Tapi aku sedang tidak berbohong, mahkota tiara itu sangat cocok denganmu." "Ya sudah aku terima pujiannya. Terima kasih..." Mahkota tiara itu dihiasi dengan banyak permata kecil-kecil yang dipadukan dengan mutiara di ujungnya. "Gila, berapa banyak uang yang dikeluarkan oleh pria egois itu untuk membiayai pernikahanmu dengannya? Noah itu nampaknya memang terlihat cukup serius saat bilang hanya mau menikah denganmu. Sebenarnya aku cukup khawatir jika dia hanya ingin main-main dengan dirimu, tapi saat melihat pernikahan ini, rasanya terlalu berlebihan jika dianggap untuk main-main… dan lagi… Jihan, ciuman itu— ciuman antara kau dengannya di mimbar upacara pernikahan kalian tadi benar-benar sangat menjiwai. Penuh perasaan. Aku sampai melongo melihatnya." Kata Elisa panjang lebar. "..." Jihan merah padam ketika mengingat soal ciuman tadi dengan Noah. "Apa kau ingin melihatnya kembali? Aku mengabadikannya di ponselku." Elisa menunjukkan foto ciuman mesra Jihan dengan Noah. Tentulah hal ini semakin membuat Jihan merah padam. "Kenapa aku sampai memejamkan kedua mataku? Jadi seolah aku menikmati ciuman darinya, kan? Sialan! Noah pasti besar kepala soal ini." Batin Jihan ngenes. Jihan menyentuh bibir bekas ciuman Noah dengan jemarinya. Rasanya ciuman itu tidak akan dilupakannya dengan mudah. Lagipula, sepertinya ia juga harus kembali berciuman lagi di hari dimana suaminya itu minta keturunan? Loh? Kenapa otaknya membawanya berimajinasi akan hal ini? Berciuman sebelum menjalankan proyek membuat keturunan? Astaga, bahasa apa ini? Eh? Bukankah Noah sangat ahli dalam berciuman? Laki-laki tampan itu sangat pandai membuatnya puas dalam berciuman. Jihan segera menggelengkan kepalanya. Kenapa rasanya menjadi ingin kembali merasakan ciuman dari Noah itu? Ah sial! "Ada apa denganmu, wahai Jihan? Lupakan ciuman itu! Cepat lupakan! ... Uhh, me-membuat keturunan itu artinya aku dan Noah... kita.. akan.. i-itu... Oh no, please get out, dasar pikiran gila!" Batin Jihan menjadi-jadi. "Jihan..." Elisa tertawa renyah. Ia tahu apa yang Jihan pikirkan saat ini, ia menjadi ingin menggodanya. "Apakah kau sudah merencanakan malam pertamamu dengan Noah? Apa kau memiliki pakaian dalam yang seksi? Transparan? Mau aku belikan untukmu jika kau tidak memilikinya? Aku akan menyuruh karyawan butikku untuk mengantarkannya kemari." Jihan semakin tersipu malu. "Apa-apaan itu? Jangan berpikir yang tidak-tidak, dasar Elisa otak m***m! Kami tidak akan melakukan apa-apa!" Elisa menggelengkan kepalanya."Kau ini sedang bicara apa? Mana mungkin tidak akan melakukan apa-apa. Kau ini sudah sah menikah dengan Noah. Kau pikir lelaki macam apa yang tahan untuk tidak melakukan apa-apa saat malam pertama? ... Jihan, kau tahu? Tubuhmu itu sangat molek dan menggoda iman!" Meski Noah bilang minta dilahirkan keturunan, tapi tidak secepat itu, kan? "Noah tidak akan melakukannya!" Bantah Jihan yakin. "Andai kata Noah tidak melakukan apa-apa padamu malam pertama nanti, itu artinya dia gay! Tidak tertarik dengan wanita! Walau aku meragukannya." "Lebih baik dia gay saja!" Pikir Jihan. "Nah, jika dia gay, maka kau harus menggodanya, Jihan! Kau harus memakai pakaian dalam sexy saat malam pertama dengan Noah!" "Elisa berhenti menggodaku!" Jihan mulai kesal. "Hahaha, Ya Tuhan mukamu memerah seperti kepiting rebus." Elisa masih saja senang menggoda Jihan. "E-li-sa..." Geram Jihan. Ha ha ha. Canda dan tawa selalu mewarnai dua sahabat ini. Saling menggoda dan saling berbagi lara. Persahabatan mereka tidaklah serapuh pasir yang terhempas ombak di pantai. Mereka kuat dan tak mudah digoyahkan. Sepeti kokohnya batu karang yang terhempas ombak lautan. "Serius?" Kaget Elisa. "Ya." "Dia bersedia?" "Hm. Dia bersedia membantuku merebut kembali perusahaan ayah dari paman sialan itu." "Aku yakin Noah pasti bisa. By the way, harganya pasti tidak murah, kan?" "Noah minta anak dariku." "Hah?" . . . "Jihan, maafkan aku karena aku memaksamu menikah dengan Noah. Aku akui ini bagian dari keegoisanku. Hanya demi aku bersama dengan Edo, kau jadi rela menggantikanku menikah dengan Noah... Noah bukanlah orang asing bagimu. Kau sangat mengenal Noah, kalian pun pernah bersama sebelumnya. Aku yakin, kau dan Noah tidak akan banyak mengalami kesulitan adaptasi. Selain itu, bukannya aku meremehkanmu, tapi Noah adalah sosok yang pas untuk menyelamatkanmu saat ini. Dengan status dan kekayaan dari Noah, kau tak perlu lagi menderita memikirkan hidupmu dan adikmu, Maura... Sekali lagi, maafkan aku! Tolong maafkan sahabatmu ini yang tega menjualmu kepada orang kaya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD