Tamu Tidak Diundang

1660 Words
Hai, Geno, aku sekarang ingin bertanya kepadamu. Apa yang kau pikirkan sebenarnya? Bagaimana bisa setelah hubungan kita berakhir, kau masih tetap bersikap seakan memiliki hak atas diriku? Seakan-akan kau masih berhak mengatur kehidupanku. Geno, setelah hubungan kita berakhir, aku memang tidak memblokir balik nomormu, karena aku berpikir jika cukup kau saja yang memutuskan hubungan, aku masih berusaha bersikap baik dengan membuka tangan lebar-lebar jika kau masih ingin berteman denganku. Mungkin, dengan hubungan kita yang sudah tidak sedekat dulu, kita bisa menjadi teman baik dan kau bisa berubah menjadi lebih baik. Hari demi hari kujalani seperti biasa. Bekerja di apotek, menyelesaikan tulisan yang tiap hari mulai ditagih oleh pembaca, memberi makan dan bermain kucing kesayanganku yang tidak pernah aku ekspos ke dalam catatan ini sebelumnya, hingga mengelilingi kota bersama dengan Mawar yang sekarang tahu jika aku dan kau sudah berakhir. Jujur saja, Mawar penasaran dengan alasan kita mengakhiri hubungan, karena menurutnya kau adalah pria yang baik, yang pasti akan menjadi pasangan yang setia. Aku hanya diam menanggapi pertanyaan dari Mawar, lalu memberikan senyum tipis menandakan tidak ingin membahas lebih lanjut. Beruntung, Mawar mengerti kode yang kuberikan dan ia memilih untuk mengalihkan pembicaraan menuju topik yang lain. Awalnya aku merasa tenang, tidak ada lagi lelaki busuk yang menghantui hari-hariku. Bukan hanya tenang, aku juga senang karena tidak ada orang yang mengatur hidupku secara keterlaluan, dan tidak mengharuskanku melaporkan setiap aktivitas yang aku lakukan. Namun tiba-tiba setelah beberapa hari kau menghilang, aku menerima pesan berantai lagi darimu. Pesan pertama berisi cacian dan hujatan, sama seperti biasanya. Kau menganggapku tidak tahu diri, padahal aku sudah berjanji bahwa aku akan mencarimu jika kau mengajakku putus. Namun maaf saja, kali ini aku lebih perhatian kepada kesehatanku sendiri, sehingga aku memilih untuk mengabaikan pesan darimu. Pesan berantai selanjutnya berisi tentang ancaman dan berita jika kau mengalami kecelakaan. Kali ini, aku tidak akan jatuh ke dalam jebakanmu lagi. Aku tahu berita itu hanya sebuah kebohongan agar aku datang kepadamu. Selanjutnya, kau mencoba untuk meneleponku karena tidak ada respon lebih lanjut atas pesan yang kau kirimkan. Lagi-lagi, aku hanya mengabaikan dan memandang ponsel yang bergetar dengan namamu yang terpampang jelas di dalam layar. Berkali-kali kau mencoba menghubungiku, namun aku tetap tidak bergeming. Bahkan aku tetap bisa dengan santai bekerja di apotek, seakan tidak terganggu dengan semua notifikasi yang berasal darimu. Aku mengira, saat aku mengabaikanmu, maka semua permasalahan ini akan berakhir begitu saja. Tapi sayangnya, apa yang terjadi selanjutnya tidak sesederhana itu. Setelah tidak mendapatkan respon dariku, kau mulai menyebar teror ke orang-orang di sekelilingku menggunakan pesan pribadi di media sosial. Mulai dari rekan kerjaku di apotek, hingga Mawar pun mendapatkan pesan ancaman darimu. Kau mengatakan bahwa orang-orang itu menculikku, tidak mengizinkan aku menghubungimu lagi. Padahal, mereka semua tidak tahu menahu tentang permasalahan kita. Akhirnya, mereka semua mulai membenciku, mengatakan jika kau keterlaluan. Sialnya, semua tuduhan itu tertuju langsung padaku. Bahkan Mawar yang biasanya selalu mendukungku, kini juga ikut menghujat karena sikap keterlaluan dan bahasa kasar yang kau gunakan. Beberapa dari mereka berusaha membalas pesanmu dengan bahasa yang lembut, namun kau kembali membalas pesan mereka dengan kalimat pedas yang menyakitkan hati orang yang membacanya. Geno, berkat kau, aku sekarang dijauhi oleh orang-orang di sekitarku. Berkat kau, kini aku tidak lagi memiliki teman. Berkat kau juga, kini aku tidak nyaman saat bekerja, karena sejak kau mengirimkan pesan itu, tidak ada satu orang pun yang mengajakku berbicara. Aku berusaha menguatkan diriku bahwa semua akan baik-baik saja, pesan-pesan mengerikan yang kau kirimkan hanya berlangsung sementara. Namun sayangnya, kau bukan tipe orang yang mudah menyerah jika sudah berkeinginan. Kau terus menerus meneror mereka. Saat aku berkata untuk mengabaikan pesanmu dan memblokir akun media sosialmu, kau selalu saja menggunakan akun lain untuk mengirimkan pesan ancaman kepada mereka. Mau tidak mau, mereka semua akhirnya menegurku dengan keras, memintaku untuk muncul agar kau tidak lagi meneror mereka. Secara baik-baik aku bilang kepada mereka semua satu persatu jika aku sudah lelah denganmu. Aku tidak ingin lagi berurusan denganmu dan tidak ingin bertanggung jawab atas apa yang kau lakukan, karena kau bukan lagi kekasihku. Aku tahu, apa yang aku lakukan kepada mereka memang keras, tapi aku takut jika harus muncul lagi di hadapanmu. Aku trauma, tidak ingin hari-hariku kembali hancur karena mengurus buaya busuk seperti dirimu. Sayangnya, tidak ada satupun dari mereka yang mau mendengar apapun perkataanku, baik itu rekan kerja maupun Mawar sekalipun. Mereka tetap saja menekanku, memintaku untuk segera muncul kepadamu, karena kau sama sekali tidak bisa dikendalikan. Mereka benar-benar terganggu dengan kehadiranmu. Aku hanya bisa menahan diri dan berdoa, karena tidak mau kau hadir lagi di dalam hidupku. Aku tidak sanggup! Semakin hari, tekanan yang aku dapatkan dari rekan kerja semakin berat. Mereka tidak hanya mendiamkanku, tetapi juga sesekali menyenggolku tanpa meminta maaf. Firasatku mengatakan bahwa mereka ingin aku pergi dari apotek, karena tidak betah dengan tekanan yang kau berikan. Setelah satu bulan aku bertahan dengan segala ketidaknyamanan yang ada di sana, akhirnya aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari apotek. Orang tuaku bertanya kepadaku tentang alasan yang mendasari keputusanku untuk keluar, namun aku tidak dapat mengatakan kepada Ayah dan Ibu karena khawatir akan menyakiti perasaan mereka. Aku Hanya diam dan menggeleng pelan ketika satu hari setelah hari terakhirku di apotek, aku tidak lagi berangkat bekerja. Padahal saat itu bukan hari liburku. Namun beruntung, Ayah dan Ibu cukup pengertian sehingga aku tidak mendapat banyak pertanyaan dari mereka. Ayah dan Ibu hanya memintaku untuk mencari pekerjaan di tempat lain, agar dapat tetap membantu ekonomi keluarga yang sederhana ini. Apakah tekanan darimu selesai sampai di sana? Sayangnya tidak. Beberapa hari setelah aku mengundurkan diri, salah satu rekan kerjaku mengirimkan pesan di media sosial, mengatakan bahwa kau masih tetap meneror mereka, padahal mereka sudah mengatakan kepadamu jika aku mengundurkan diri. Tidak lama setelah itu, aku mengalami sesuatu yang lebih dan lebih menyakitkan lagi dari sebelumnya. Dua hari setelah aku mendapatkan kabar terakhir dari rekan kerjaku, atau mungkin bisa dibilang mantan rekan kerja, tiba-tiba ada seseorang yang datang ke rumah. Hari itu cuaca sedang mendung, aku sibuk menyelesaikan tulisanku di kamar. Ketukan pintu depan membuat Ibuku yang sedang berada di dapur berteriak, memintaku membuka pintu. Namun ketika aku mendengar suara seorang lelaki mengucapkan salam sebelum aku membuka pintu, tiba-tiba kakiku bergetar hebat. Aku tahu, orang yang ada di balik pintu adalah seorang lelaki yang paling tidak ingin aku temui di dunia ini. Ketika aku hanya berjarak beberapa langkah lagi dari pintu depan, aku memutar langkah kembali ke dapur. Ibuku bertanya tentang siapa tamu yang datang berkunjung, lagi-lagi aku hanya menggeleng pelan dalam diam. Ibuku mengira jika orang yang datang hanya peminta sumbangan atau sejenisnya, namun tatapan Ibu berubah kesal ketika suara ketukan pintu kembali terdengar di telinganya. Ibuku melirik kesal kepadaku, lalu berkata jika aku tidak jelas. Dengan kesal, Ibu berjalan cepat ke depan hendak membuka pintu. Aku sebenarnya sangat ingin mencegahnya, namun aku tidak memiliki kuasa, aku hanya bisa pasrah. Beberapa detik kemudian, aku mendengar teriakan Ibu dari depan. Aku tahu, lelaki yang datang ke rumah telah berhasil masuk sekarang, bahkan berhasil membuatku keluar. Dengan langkah gemetar, aku berjalan pelan ke ruang tamu. Wajahku berubah pucat, aku tidak ingin bertemu dengan lelaki itu. Senyum di wajahmu tampak mengerikan ketika mata kita saling tatap di ruang tamu. Seringai dalam diam yang terukir tipis di bibirmu terlihat seperti seekor predator yang bertemu dengan mangsanya. Ya, aku yakin kau pasti ingat, jika orang yang datang ke rumahku hari itu adalah dirimu, Geno. Ibuku mempersilakanmu masuk, bahkan Beliau menunjukkan sikap tidak suka saat aku mengabaikanmu dan memilih untuk bersembunyi di belakangnya dengan mata bergetar karena takut akan sosokmu. Ibu tidak tahu apa yang sudah terjadi di antara kita. Beliau berpikir jika kau hanyalah teman lelakiku yang ingin datang berkunjung. Beliau bahkan sempat mengejekku, berkata kepadamu jika aku malu bertemu denganmu karena aku tidak terbiasa berinteraksi dengan lawan jenis. Aku tertunduk, tapi bukan tertunduk malu. Aku tertunduk menahan takut, jantungku berdebar tak menentu. Sesaat kemudian, Ibu memintaku untuk membuatkan minuman untukmu, sedangkan Ibu menemanimu mengobrol di ruang tamu. Aku takut kau mengatakan hal yang tidak-tidak kepada Ibu selama aku tidak ada, mengingat betapa licik dan amnipilatifnya sifatmu. Tapi aku harus percaya kepada Ibu, karena aku yakin beliau dapat mengambil sikap yang baik untuk anaknya. Sayangnya, kepercayaanku ternyata tidak terbalas. Saat aku mengantar minuman ke ruang tamu, suasana sudah berubah. Ibu sudah tidak seramah ketika kau pertama kali datang, kau pun hanya tertunduk tanpa sepatah kata keluar dari mulutmu. Aku merasa aneh, namun sudah menduga jika ada sesuatu yang aneh yang sedang terjadi. Aku ikut duduk di samping Ibu, melirik ke arahmu dan Ibu, mengamati apa yang sedang terjadi. Tidak lama kemudian, Ayahku pulang dalam raut wajah panik dan tatapan terkejut seakan tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Aku semakin tidak paham, apa sebenarnya yang kalian bicarakan? Kenapa Ayah pulang ke rumah dalam keadaan panik? Ayah ikut bergabung dengan kita semua yang duduk di ruang tamu, lalu Beliau ikut menatap ke setiap orang yang ada di sini, terutama kepadaku dan kau. Satu pertanyaan dari Ayah yang hingga saat ini masih kuingat. "Kapan semua itu terjadi?" Kapan apa? Apanya yang kapan? Aku tidak mengerti. Aku masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi di sini, lalu mendapatkan pertanyaan yang tidak bisa kumengerti. "Bulan lalu, Pak." Itu adalah kalimat yang terucap dari mulutmu. Tetap, aku tidak dapat mencerna apapun yang sedang terjadi. Apa yang bulan lalu? Ada kejadian apa bulan lalu? Ayahku menghela nafas panjang mendengar jawaban darimu. Setelahnya, Beliau bertanya kepadamu tentang rencana kita selanjutnya. Jujur, pertanyaan dari Ayah membuatku semakin bingung. Kau tahu, Geno? Kata "kita" di sini merajuk kepada kau dan aku. Pertanyaan dari Ayah pun kau jawab dengan singkat, "secepatnya," begitu kira-kira jawaban yang kau berikan, membuatku semakin bertanya-tanya. Apanya yang secepatnya? Semua orang di ruang tamu ini terdiam beberapa saat sambil tertunduk. Kemudian Ayah berkata, jika apa yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Lalu Ayah mempersilakanmu pulang dan kau pun hanya mengangguk lalu beranjak dari rumahku. Jujur, Geno, apa yang sebenarnya terjadi saat itu? Tidak cukupkah kau merusak pekerjaanku? Apakah masih kurang? Haruskah Ayah dan Ibuku juga ikut kau seret ke dalam permainanmu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD