Aku Diblokir

1105 Words
Hai, Geno, aku ingin bertanya kepadamu jika memang benar kau membaca semua tulisan yang aku tujukan padamu. Aku penasaran, apakah sekarang kau sudah berubah? Jika sudah, apa yang kau pikirkan dulu ketika marah padaku? Apakah kau hanya mementingkan egomu sendiri? Atau memang sebenarnya kau adalah orang dengan gangguan mental? Jika kau belum berubah dan masih sama seperti dulu, pertanyaan akan kuganti. Apakah kau tidak memikirkan perasaan pasanganmu ketika kau meluapkan emosi dengan cara yang tidak rasional seperti itu? Baik, mungkin kau bingung dengan pertanyaanku. Mungkin juga kau sudah lupa dengan apa yang terjadi di antara kita. Di sini, tepat di lembar ini, aku akan menceritakan hal itu kepadamu lagi. Aku rasa ini adalah kali pertama kita bertengkar sejak memutuskan untuk berjalan bersama sebagai sepasang kekasih. Hari itu, selama terhubung lewat sambungan telepon setelah aku pulang dari tempat kostmu, kau marah padaku. Kau sangat marah, hanya karena urusan sepele, yaitu aku tidak segera menghubungimu ketika tiba di rumah, tanpa tahu dan peduli tentang apa yang terjadi denganku setibanya aku di rumah. Setelah kau puas memarahiku, kau menutup sambungan telepon secara sepihak. Saat itu, aku yang sudah sedih dan tertekan karena perlakuan Ayahku yang kuanggap egois, semakin merasa gundah karena kau menambah beban berat yang sudah ada di pundakku. Aku menangis sejadi-jadinya di atas tempat tidur sambil memeluk boneka beruang berwarna coklat yang selalu menemani hari-hariku di dalam kamar hingga boneka itu basah dengan air mata. Bahkan hingga waktu sudah mulai larut, aku masih menangis. Bodohnya aku saat itu, setelah pulang dari tempatmu aku tidak mengonsumsi apapun. Ini memang kebiasaan buruk yang selalu aku lakukan ketika stres, yaitu lupa makan. Bahkan aku tidak merasa lapar ketika isi otakku benar-benar penuh. Karena aku sudah terlanjur sakit hati malam itu, aku sampai melupakan kewajibanku menulis dan tidak mengunggah episode terbaru dari n****+ yang sedang aku kerjakan dan membuat pembaca setia ceritaku marah. Kau pasti tidak tahu apa yang terjadi denganku di belakangmu bukan? Bukan hanya tidak tahu, mungkin kau memang tidak ingin tahu dan tidak peduli, karena di dalam otak dangkalmu itu hanya ada kamu, kamu, kamu, kamu, dan kamu. Setelah puas menangis, tanpa sadar mataku tiba-tiba menutup dan kesadaranku perlahan menghilang. Saat aku sadar, suara-suara tempat ibadah yang biasanya aku dengar sebelum matahari terbit sudah berbunyi, sebentar lagi saatnya aku harus bersiap-siap pergi bekerja, karena hari itu aku masih harus jaga pagi di apotek. Aku bangkit dari tempat tidur, lalu melihat kondisi wajahku di kaca yang terpasang pada meja di samping kasur. Betapa terkejutnya aku saat melihat wajah yang membengkak dan mata yang sembab karena menangis semalaman. Perutku juga mulai berbunyi. Wajar saja, sejak pulang kerja, aku belum mengisinya dengan makanan. Aku kembali teringat dengan kejadian yang menimpaku satu malam sebelumnya, di mana terjadi drama hebat di dalam hidupku. Drama yang sebelumnya belum pernah terjadi, karena itu adalah kali pertama aku dekat dengan seorang lelaki. Saat itu aku merasa sangat malas apabila harus beranjak keluar dari kamar, karena ingat dengan Ayahku yang mungkin masih marah padaku hingga pagi ini. Aku mengecek ponsel yang tergeletak di atas tempat tidur, rupanya tidak ada pemberitahuan apapun yang masuk, kecuali dari grup ghibah yang dibuat oleh rekan-rekan kerjaku di apotek. Aku sedikit merasa lega, karena kau tidak menghantuiku setelah marah-marah tidak jelas satu malam sebelumnya. Sebelum keluar dari kamar, aku memeriksa pesan yang masuk ke dalam grup, karena ingin tahu tentang topik yang menjadi perbincangan di sana. Grup ghibah yang berisi para kru apotek tempatku bekerja selalu saja menemukan topik menyenangkan untuk diperbincangkan. Entah itu bos yang cerewet, karyawan dari apotek lain yang menyebalkan, supervisor yang tidak bersahabat, atau topik-topik lain yang selalu berhasil membuatku tertawa karena bahasa mereka yang mengundang gelak tawa. Setelah mengecek pesan-pesan tersebut, aku menekan tombol "kembali" sehingga layar ponsel menampilkan deretan nama yang bertukar pesan denganku. Di antara nama-nama itu, ada satu nama yang menjadi sorotan untukku, yaitu namamu. Kau yang biasanya menggunakan foto profil, tiba-tiba hanya memasang gambar kosong di sana. Aku masih mencoba untuk berpikir positif, aku pikir aku masih marah karena pertengkaran kita semalam sebelumnya. Aku berniat memberikan waktu untukmu meredam amarah, sehingga aku sedikit mengabaikanmu dan membiarkanmu sendiri. Aku pikir, kau akan sama seperti sebelumnya yang akan mencariku jika membutuhkan teman untuk berkeluh kesah. Dengan berat hati dan sedikit rasa egois yang masih tertinggal di dalam benakku karena masalah satu malam sebelumnya, aku segera berjalan cepat ke kamar mandi dan bersiap-siap. Bahkan pagi itu aku masih enggan bersantap pagi bersama Ayah dan Ibu karena berlagak merajuk meski perutku sudah keroncongan. Setelah bersiap-siap dan memoleskan riasan tipis, aku segera meluncur ke apotek setelah sebelumnya membeli nasi kuning di pasar yang tidak jauh dari rumah. Pagi yang sibuk membuatku tidak bisa memeriksa ponsel selama bekerja. Hingga waktu sudah menunjukkan waktu pergantian karyawan, barulah aku bisa mengecek ponsel. Aku bingung, apa yang terjadi kepadamu? Kenapa kau sama sekali tidak memberikan kabar kepadaku? Apakah kau masih marah? Atau ada sesuatu yang terjadi kepadamu? Aku merasa gelisah, khawatir terhadap kesehatanmu. Aku berharap, kau sudah merasa lebih baik. Tapi ini aneh, kenapa kau sama sekali tidak memberikan kabar kepadaku? Padahal biasanya kau sudah mencariku. Aku berinisiatif mengirimkan pesan singkat kepadamu. Namun aneh, pesan yang aku kirimkan tidak sampai kepadamu. Karena penasaran, aku meminjam ponsel rekan kerjaku dan memasukkan nomormu ke dalam ponselnya. Aku semakin bingung ketika melihat profilmu yang tampak di ponsel rekan kerjaku, karena foto profilmu terpampang nyata di sana sementara tidak ada foto profil yang terpampang di ponselku. Saat itu aku berpikir jika kau benar-benar marah hingga memblokir nomorku. Tidak ada hal lain lagi yang bisa aku lakukan selain menunggu. Malam harinya, kau mengirimkan pesan melalui media sosial dengan nada kasar, mengancam, dan membentak kepadaku. Kau berkata jika aku tidak lagi menyayangimu, semua rasa cintaku kepadamu palsu. Aku bingung, apa yang terjadi kepadamu sebenarnya? Kenapa kau tiba-tiba mengatakan itu kepadaku? Tidak ada angin, tidak ada hujan, kau tiba-tiba menyerang secara membabi buta. Aku yang masih benar-benar bingung, bertanya kepadamu, apa sebenarnya yang terjadi saat kau menghilang. Kau berkata jika aku tidak memiliki inisiatif. Seharusnya, jika kau marah, aku harus mencarimu bagaimanapun caranya. Aku harus berusaha agar terhubung kembali denganmu. Saat kau mengatakan semua hal tidak jelas itu, aku menjawab kepadamu jika kau telah memblokir akses untuk aku mengirim pesan kepadamu. Sayangnya, kalimatku kembali kau gunakan sebagai senjata untuk melawanku. Kau berkata bahwa seharusnya aku tahu jika media sosialmu masih aktif dan aku seharusnya bisa mengirimkan pesan dari sana. Membaca pesan seperti itu membuatku sedikit naik pitam, aku tidak ingin selalu kau salahkan. Aku berkata kepadamu bahwa jika kau memblokir aksesku, berarti kau tidak ingin aku menghubungimu. Jawaban dariku yang terkesan mendebat, membuatmu membalas pesanku dengan huruf kapital disertai beberapa tanda seru yang berarti kau benar-benar marah kepadaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD