Kau Kembali

1068 Words
Waktu berjalan cepat ketika aku tidak lagi bersamamu. Aku menghabiskan waktu sendiri di sini, menyibukkan diri, berusaha melupakan semua rasa sakit yang aku dapatkan darimu. Bahagia? Hmmm… bisa jadi, aku lebih bisa menghargai waktu dan diriku sendiri tanpa hadirmu di sini. Aku tahu, sebenarnya sebelum kehadiranmu sekalipun, aku sudah memiliki waktu untukku sendiri dan menikmati kesendirianku. Tapi setelah akhirnya kau hadir dan menghilang, aku membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan lamaku. Hai, Geno, bagaimana kabarmu? Sudah setahun kita tidak berbincang setelah aku kecewa dengan sikapmu yang tiba-tiba mengunggah foto bersama dengan seorang perempuan sesaat setelah menyatakan perasaan padaku. Satu tahun bukan waktu yang cepat, namun bukan juha waktu yang lama. Banyak hal yang terjadi, tapi juga banyak hal yang tidak berubah. Dalam satu tahun ini, aku masih menjadi orang yang egois, naif, dan tidak terlalu peduli dengan kesehatan pikiranku sendiri. Aku cenderung keras kepala, tidak suka diatur, dan bergerak sesuai kemauanku sendiri. Kau sendiri bagaimana? Apakah kau masih sama seperti yang dulu? Masih tetap egois, pemarah, dan tidak mengenal maaf seperti dahulu? Sebenarnya ada rasa penasaran yang timbul di pikiranku, penasaran dan sedikit rasa rindu akan sosokmu yang pernah hadir dalam hidupku. Kira-kira, apa yang kau lakukan di sana setahun ke belakang? Apakah kau suka berbuat baik? Apakah kau sudah berubah? Geno, setahun berlalu, aku sekarang sudah bekerja di salah satu apotek kecil di kotaku. Gaji yang aku terima tidak seberapa memang, tapi aku bersyukur memiliki kegiatan di luar rumah. Sebenarnya penghasilanku tidak kurang dari menulis, namun ada beberapa omongan dari orang tuaku tidak bisa kuterima. Mereka berkata jika aku terlalu banyak berada di kamar, kurang bersosialisasi, dan juga selalu menjadi omongan tetangga karena jarang keluar rumah. Sehingga meski tidak kekurangan uang, aku memutuskan untuk melamar kerja di salah satu apotek yang berjarak hanya kurang dari sepuluh menit dari rumah. Pekerjaanku di tempat itu terasa menyenangkan, aku bertemu teman-teman baru yang bisa membuatku berkembang. Mereka sangat baik, bisa memaklumi dan bahkan ikut berbaur dengan sifat aneh dan tidak jelas yang aku miliki. Tidak jarang juga mereka menertawakan tingkah konyolku, tapi aku pun tidak merasa bermasalah ketika mereka tertawa. Bagiku, melihat orang lain tersenyum mampu menjadi kebahagiaan tersendiri. Geno, aku sempat mengira kau tidak akan muncul lagi di kehidupanku. Namun jika kau benar-benar menghilang, surat ini tidak akan memiliki kelanjutan. Setelah satu tahun tidak menerima kabar darimu, tiba-tiba kau kembali datang, menghubungiku di saat semuanya sedang berjalan baik-baik saja. Berawal dari pesan masuk di media sosial karena nomor telepon yang aku gunakan sudah berubah, aku kembali menyapaku. Awalnya aku sempat tidak mengenalimu, karena akun media sosialmu yang lama sudah kublokir agar tidak mendapat gangguan darimu lagi. Kau menggunakan akun lain untuk menyapaku. Awalnya, aku mengira kau adalah orang lain sehingga aku membalas pesanmu dengan ramah. Namun semakin kita mengobrol, aku semakin kenal dengan gaya tulisan yang kau gunakan dan akhirnya aku pun bisa mengenalimu. Tanganku kembali gemetar ketika menerima kabar darimu. Jantungku berdebar kencang, telapak tanganku mendadak basah. Meskipun sudah berlangsung lama, tapi aku merasa tidak siap jika kau kembali hadir di dalam hidupku. Kau tahu, Geno? Kala itu aku sedang berada di apotek ketika menyadari jika akun tidak dikenal yang menghubungiku lewat media sosial adalah dirimu. Beruntung saat itu kondisi apotek sedang lengang, sehingga kabar mendadak yang aku terima darimu tidak mengganggu waktu kerjaku. Aku berusaha sekuat tenaga menenangkan diri, mengatur kembali irama nafas dan detak jantung yang terasa seperti sedang menaiki wahana pemacu adrenalin. Beruntung rekan kerjaku mau mengerti dan bahkan membantuku menenangkan diri. Jika tidak, mungkin aku sudah terkena serangan panik. Berhari-hari aku menyiapkan diri lagi untuk menghadapimu. Rasa sakit hati, emosi, serta rasa kecewa yang dulu pernah singgah, kembali menampakkan diri kepadaku. Sejujurnya aku takut, aku takut semua kenangan buruk yang aku terima darimu kembali terulang hari ini. Aku takut, rasa marah yang kau limpahkan padaku setiap kali sedang berada di dalam masalah, kembali kau lakukan padaku. Aku sadar, salahku yang mengizinkanmu meluapkan semua perasaan negatif yang ada di hatimu saat aku tidak benar-benar siap untuk menerimanya. Aku kira dulu tidak seekstrim itu, ternyata perlakuanmu memberikan rasa trauma yang membekas hingga hari ini. Beberapa hari setelah kau mulai kembali mengabari, baru aku berani memberikan respon yang lebih bersahabat. Sebelumnya, hanya balasan-balasan singkat yang aku berikan kepadamu, karena masih takut tiba-tiba kau kembali meluapkan emosi yang mungkin sudah kau pendam selama setahun terakhir. Rupanya tidak, kau kembali menyapaku dengan ramah, bahkan kau tampak jauh lebih lembut dibandingkan sebelumnya. Tapi tunggu dulu, ketika mengingat kembali hal itu, aku merasa sangat geram kepadamu dan kepada diriku sendiri. Seharusnya saat itu aku tahu, sikap lembut yang kau tunjukkan padaku hanyalah jebakan agar aku kembali masuk ke dalam perangkap yang kau buat. Karena aslinya, kau tidak seperti itu. Sayangnya, saat aku mengalami hal itu dulu, aku bisa tertipu dan terjebak dengan sikap yang kau tunjukkan. Meski memang aku tidak serta merta percaya dengan ucapanmu, namun sikap lembut yang kau tunjukkan itu perlahan mampu meluluhkan dinding es yang sudah aku susun di dalam hatiku. Dinding tebal yang aku kira tidak bisa ditembus oleh siapapun terutama dirimu karena sudah tertulis di sana jika area tersebut merupakan area terlarang untuk seorang lelaki bernama Geno, namun berhasil diruntuhkan olehmu, Geno. Bagaimana aku tidak terjatuh ke dalam lubang yang sama? Jika apa yang kau sodorkan kepadaku adalah kebahagiaan yang selama ini aku impikan saat bersama denganmu. Bagaimana aku tidak menanggapi lagi perbincangan denganmu? Jika semua obrolan yang terjadi di antara kita benar-benar bisa membuatku bahagia. Namun jika aku berpikir lagi, apa yang kau lakukan saat itu benar-benar licik dan busuk. Kau sudah tahu bagaimana meluluhkan hatiku. Kau juga tahu bagaimana meruntuhkan dinding es yang tersusun tebal di dalam pikiranku. Kau juga tahu, Geno, bagaimana cara mengambil perhatianku. Karena kau adalah kau, orang yang sangat mengenal diriku. Kau adalah orang yang bisa membuatku bertekuk lutut. Hanya butuh satu bulan berbincang, kita sudah kembali ke dalam kebiasaan kita yang lama. Setiap hari kau memberikan kabar kepadaku, setiap hari kau juga bertanya bagaimana hari-hariku, setiap hari juga kau bercerita tentang hal-hal yang kau hadapi di sana. Ada satu hal yang membuatku terkejut. Setelah satu bulan berbincang, kau berkata kepadaku jika saat ini kau sedang berada di kotamadya yang sangat dekat dengan tempat tinggalku. Hanya butuh sekitar setengah jam mengendarai motor, aku sudah bisa tiba di kota tempatmu tinggal saat ini. Kau berkata kepadaku jika saat ini kau mendapat pekerjaan bagus di kota tersebut, sehingga kau rela meninggalkan kota besar dengan segala godaan gemerlap yang ada di dalamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD