Chapt 5. Best decision. The Same and Usual Commotion

2528 Words
Deg!             Dia terdiam melihat seseorang yang datang ke apartemennya malam begini. “Assalamu’alaikum …” sapa pria itu pada Syefa yang masih diam membeku.             Tidak ada sahutan dari Syefa. Dia hanya berpikir, untuk apa pria ini datang menemuinya di jam malam begini.             Bukan dirinya menolak tamu yang datang, tapi etika bertamu seharusnya dipahami oleh tamu yang datang. Dia tidak mau banyak bicara dan hendak menutup kembali pintu apartemennya. “Syefa, tunggu! Kumohon, dengarkan aku.” Pria itu menahan Syefa agar tidak menutup pintu.             Syefa enggan menatap wajahnya. Dia melihat ke arah lain, dan menahan pintu setengah terbuka. Sama sekali tidak ada niat di benaknya untuk mengizinkan pria ini masuk ke dalam apartemennya. “Kau mau apa lagi??” tanya Syefa tanpa basa basi.             Pria itu menyentuh pintu besi dengan kedua tangannya. Wajahnya mulai merendah diri. “Syefa, aku minta maaf.” Deg!             Dia langsung menatap pria itu, Farhat Saddam. Pria yang masih berstatus sebagai suaminya, pria yang berulang kali membuatnya kecewa.             Pria yang selalu tega menduakannya, yang mengabaikannya setelah pria itu bosan dengannya. Pria yang selalu ia maafkan berulang kali, tapi pria itu justru mengulang kesalahannya hingga ribuan kali.             Pria yang selalu memerasnya, yang selalu bersikap kasar padanya. Pria yang tidak pernah bersikap lembut padanya sejak mereka resmi menikah walau hanya dibatasi dengan pernikahan siri.             Pria yang selalu bermain tangan bila mereka sedang bertengkar. Lalu Syefa hanya bisa diam jika bagian tubuhnya dihajar oleh pria itu. Dia tidak bisa melawan sebab Farhat lebih kuat darinya.             Sejujurnya, cinta memang membuatnya buta. Namun, perubahan drastis pria itu justru membuat Syefa sadar bahwa cinta yang ia beri untuk pria itu bukanlah murni, melainkan hanya nafsu sesaat saja.             Sekarang, Syefa menyadari jika pria ini tidak akan pernah berubah sampai kapanpun. Sudah lebih dari 2 tahun mereka menikah, dan Farhat hanya kembali ke apartemennya apabila pria itu sudah kehabisan uang.             Pria itu hanya memerasnya dan selalu mengancam akan melaporkan kepada perusahaannya kalau mereka sudah menikah. Dan Syefa tidak mau jika Farhat nekat lalu pernikahan mereka diketahui oleh perusahaannya.             Kalau ia dipecat lalu bagaimana dengan hidupnya di Negara besar ini. Kebutuhan hidupnya hanya bergantung dari gaji pekerjaannya.             Tidak mungkin baginya kembali ke Indonesia. Sebab gaji disana juga tidak sebesar di perusahaan Internasional seperti Althafiance Corporation.             Di Indonesia pun, Syefa sudah tidak memiliki siapapun. Sama saja, sebab dia juga sebatang kara disana. Keluarganya sudah pasti menolaknya kembali.             Syefa sudah sangat lelah dengan pernikahan mereka. Dia ingin mengakhirinya saja dan mengurus surat perjanjian resmi agar Farhat tidak berani lagi datang menemuinya di kemudian hari.             Apalagi sekarang sudah ada nyawa mungil di rahimnya. Syefa tidak mau jika saja Farhat tahu mengenai kehamilannya lalu pria ini semakin memerasnya atau mungkin pria ini ingin dia menggugurkan janinnya.             Tidak, Syefa tidak mau lagi mengulang kesalahan yang sama berulang kali. “Minta maaf untuk apa?” Syefa berbalik tanya, menatapnya tanpa belas kasih.             Farhat masih menyentuh pintu besi itu. “Syefa, kumohon. Bisakah kita bicarakan ini baik-baik?? Dan aku … aku tidak memiliki tempat tinggal malam ini. Bolehkan aku menginap untuk malam ini saja?? Kumohon, Syefa??” Farhat jatuh, dan bertekuk di hadapan Syefa. Dia menangkup kedua tangan di dadanya.             Syefa membuang kasar pandangannya ke arah kiri. Dia tidak bisa melihat Farhat mengemis dan memelas padanya seperti ini.             Entahlah, dia tidak tahu apakah dirinya terlalu baik terhadap orang lain sehingga ia selalu menatap iba orang lain. “Kau tidak perlu berlutut seperti itu, Farhat. Kita sudah berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing. Jadi kau tidak perlu mengemis seperti ini,” ujarnya hendak menutup pintu apartemennya kembali. “Syefa, Syefa! Syefa, kumohon … tolong, malam ini saja. Tolong, Syefa. Tolong izinkan aku menginap malam ini saja. Besok pagi aku akan pergi. Dan aku … berniat memberi ini untukmu,” ujar Farhat tergesa-gesa mengeluarkan sejumlah uang dari jaket tebal hitam yang masih melekat di tubuhnya.             Syefa melirik datar Farhat. Keningnya berkerut melihat gerak-gerik pria ini. “Sudah lama sekali aku tidak memberimu nafkah, Syefa. Tolong, izinkan aku untuk bicara berdua denganmu, Syefa. Tolong, ambillah ini.” Farhat menyerak lembaran uang di kedua tangannya.             Dia menyeringai dan tersenyum tipis. Tidak ada yang salah bila Farhat ingin memberinya nafkah.             Tapi itu sudah tidak berlaku lagi setelah selama mereka resmi menikah hingga detik ini, Farhat tidak pernah memberinya nafkah lahiriah. Bahkan untuk memberi nafkah bathiniah saja, Farhat sangat egois dan lebih mementingkan dirinya sendiri. “Aku tidak butuh itu lagi. Kau bisa pergunakan uangmu untuk menyewa motel malam ini. Dari pada kau menghabiskan waktumu di apartemenku,” ujar Syefa lalu menutup pintu kayu itu sedikit kasar. Braakkk!!             Dia mengunci pintu apartemennya, tubuhnya lemas. Perlahan, Syefa menyusut di lantai dengan kedua kaki mulai ditekuk. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.             Kedua matanya memerah. Dia tidak tega melihat Farhat seperti itu. Tapi, dia juga tidak mau jika dia dan bayinya celaka.             Bisa saja Farhat akan bersikap kasar dan bermain tangan lagi padanya. Dia seorang diri di apartemen ini. Syefa hanya tidak mau jika terjadi sesuatu dengannya dan bayinya tanpa ada seorang pun yang tahu. ‘Kau sudah membuatku kecewa, Farhat. Aku sudah tidak memiliki perasaan apapun lagi padamu.”             Syefa menitihkan air matanya. Sekali lagi, ia mengingat pesan orang tuanya yang mengatakan kalau suatu saat nanti, ia akan menyesali keputusannya. ‘Aku yang salah telah memilihmu. Seharusnya aku mendengarkan ucapan orang tuaku.” Dia tidak berhenti menangis sambil membayangkan betapa ia rindu kepada keluarganya. Ingin rasanya ia memeluk ibunya disaat ia lemah seperti ini. …             Di sisi lain, masih di depan pintu apartemen Syefa, Farhat menggeram. Kedua tangannya tergepal, rahangnya mengeras.             Pria bertubuh 180 meter itu melangkah pergi dari sana. “Aahh! Sial!” geramnya sebab ia tidak berhasil membujuk Syefa.             Seiring dengan langkah kakinya, dia mengambil ponsel dari balik saku celana jeans hitamnya. Dia segera menghubungi seseorang.             Tidak lama dari nada dering berbunyi, seseorang yang ia tuju langsung menjawab panggilan ponselnya. “…” “Gagal! Aku akan mencobanya lain waktu. Kau tenang saja!  Aku tidak pernah melanggar janjiku pada siapapun!” “…” “Iya! Bersabarlah! Beri aku waktu satu bulan untuk melunasinya!” “…” “Baiklah-baiklah!” Tutt… Tutt… Tutt…             Farhat melihat panggilan teleponnya terputus begitu saja. “Sialan, dia!” geramnya semakin kesal.             Dia terus menggerutu hingga sampai pada pintu lift. Saat pintu lift tertutup perlahan, Farhat melihat ke ujung sana, dimana apartemen Syefa berada. ‘Berani sekali kau menolakku, Syefa! Kau benar-benar kurang ajar!’ Ting!             Pintu lift tertutup. *** Mansion Abraham Althaf, New York, USA., Dapur., Malam hari.,             Semua orang tengah menikmati hidangan makan malam mereka masing-masing. Belum lama mereka berkumpul disini, mungkin sekitar 15 menit yang lalu. “Mas Gamal, jangan cari masalah.” Anta membuka suara kala mendapati cucunya yang paling jahil itu mulai bermain mata dengan dua cucunya, Azathea dan Bening yang duduk disisi kanan dan kirinya. Karena dia tahu kalau kedua cucunya ini memang memiliki kadar anti bernama Anti Gamal.             Dyrta menatap tajam putranya hingga pria berkaus putih itu kembali menikmati hidangan makan malamnya tanpa berulah lagi. “Kenapa Mas Gaza lama sekali pulangnya, Sayang?” tanya Chandly menatap Aiyaz dan Gamal yang duduk diantara putri bungsunya, Embun.             Aiyaz dan Gamal saling melirik satu sama lain.  Embun merasa bingung dan melirik kedua abangnya ini. “Kenapa, Mas?? Mommy bertanya??” gumam Embun sambil mengunyah.             Zu menikmati makanannya sambil melirik kedua cucunya itu. “Kenapa kalian diam??” tanya Dyrga melirik dua pria dewasa itu.             Aiyaz menggelengkan kepalanya. Bagaimana mungkin sang Mommy menanyakan itu pada mereka sementara dia dan Gamal bekerja di kantor yang berbeda. “Mom, kami tidak satu kantor. Mana mungkin kami tahu alasan dia pulang terlambat,” ujar Aiyaz santai sambil mengendikan kedua bahunya.             Gamal mencoba untuk menahan tawa di bibirnya, sambil mengunyah. “Mommy lihat! Mas Gamal tertawa! Pasti dia menyembunyikan sesuatu!” ketus Bening melirik curiga ke arah sang Abang. “Iya, Mom! Sangat mencurigakan sekali!” sahutt Azathea sambil memakan steak daging favoritnya.             Gamal menghela panjang napasnya. “Astaga, Princess! Lalu aku harus bersikap bagaimana?? Aku memang tidak tahu dimana keberadaan Mas Gaza. Lalu, apa salahku??” ujarnya seraya membela dirinya sendiri. Dia menatap sang Grandma, Anta seraya meminta pembelaan.             Zu mengunyah makanan sambil mengulum senyumnya. Suasana seperti ini yang ia harapkan setiap mereka bergabung di meja makan.             Tidak masalah baginya jika cucunya saling berkicau satu sama lain. Hari tuanya terasa lebih menyenangkan.             Embun mengerutkan keningnya. Dia kembali membuka suaranya. “Sangat aneh sekali kalau Mas Gamal tidak tahu keberadaan Mas Gaza,” sahut Embun dengan polos.             Gamal melirik ke arah kiri, melirik adiknya sekilas. Sedangkan Aiyaz, dia sedikit ambigu dengan kalimat itu. “Bisa perjelas maksudmu, My Queen??” tanya Aiyaz masih bisa menahan tawanya. Entah kenapa dia yakin kalau adiknya yang satu ini akan membuat tawa mereka pecah.             Anta masih menatap sang cucu, Embun. “Aneh kenapa, Sayang??” tanya Anta.             Dyrta dan Chandly saling melirik satu sama lain. Mereka tahu kalau putri mereka yang satu itu akan melontarkan apa yang ada di pikirannya, yang mungkin tidak akan pernah bisa mereka bayangkan.             Embun menatap mereka bergantian. “Adek?? Kenapa tidak dijawab?? Memangnya Mas Gamal wajib tahu keberadaan Mas Gaza ya??” tanya Bening memperjelas. “Kalau iya, lalu apa alasannya coba??” sahut Azathea.             Embun menggelengkan kepalanya. Dia memakan potongan daging manis yang sudah dipotong menjadi dadu kecil-kecil oleh abangnya, Gamal. “Kenapa semua harus bertanya lagi?? Mas Gaza dan Mas Gamal kan saudara kembar. Sudah seharusnya mereka memiliki kemistri yang kuat,” ujar Embun santai.             Mereka semua saling melirik satu sama lain, begitu juga dengan Zu dan Anta. Azathea dan Bening sudah menahan tawa, untuk mendengar penjelasan lebih lanjut dari Embun.             Sedangkan Aiyaz, dia mulai meneguk segelas jusnya. Rasanya tenggorokannya harus bersiap-siap menahan tawa agar ia tidak tersedak.             Gamal sedikit menghadap Embun, dia memasang wajah bingung dengan pernyataan Embun barusan. “Kenapa Mas Gamal melihat Embun seperti itu??” ujar Embun dengan kening berkerut. “Tunggu dulu. Saudara kembar, bukan berarti harus tahu segala hal mengenai saudara kembar kita, Queen. Itu mustahil,” ujar Gamal dengan ekspresi serius, dia kembali mengunyah makanan yang masih tersisa di mulutnya.             Embun menyela pernyataan itu. “Tidak! Buktinya?? Embun sama Kak Bening satu hati. Benarkan, Kak??” tanya Embun melirik sang Kakak.             Bening langsung mengangguk. “Iya, benar! Kami satu hati!” ujarnya sambil menyeringai.             Aiyaz hendak menyemburkan tawanya. “Buktinya aku?? Aku dengan Mas Ara satu hati,” ujarnya menimpali.             Gamal mulai mendatarkan ekspresi wajahnya. Siall sekali, kenapa dia jadi terpojok begini.             Embun melirik sang Abang, Aiyaz. “Mas Aka tahu tidak keberadaan Mas Ara sekarang dimana??” “Tentu saja Mas tahu, Queen. Mas Ara sekarang sedang berada di Dubai. Dan kalau malam, biasanya Mas Ara akan pulang ke mansion, lalu makan malam bersama dengan Grandpa dan Grandma,” ujar Aiyaz seakan menjelaskan detail.             Embun beralih menatap sang Abang, Gamal dengan picingan mata. “Mas Gamal dengar?? Mas Aka saja satu hati dengan Mas Ara,” ujar Embun. Glek!             Sialan! Kenapa dia jadi tidak berkutik seperti ini. Sebenarnya, apa salah dirinya, pikir Gamal bertanya-tanya. “Embun juga satu hati dengan Kak Bening. Embun tahu warna kesukaan Kak Bening. Embun juga tahu model pakaian yang disukai Kak Bening,” ujar Embun membanggakan dirinya.             Azathea terus menahan tawanya. Dia menghadap ke arah Bening sambil merundukan wajahnya, hingga Bening ikut menutup mulut. “Daddy juga kembar. Apa Daddy satu hati satu sama lain??” tanya Embun melirik sang Daddy yang duduk disana.             Dyrga dan Dyrta saling melirik satu sama lain. “Tentu, Princess. Kami sudah pasti satu hati. Itu sebabnya kami memutuskan untuk memiliki anak kembar laki-laki sebagai anak yang pertama kali di kandung Mommy kalian,” ujar Dyrga mengulum senyum, menatap sang istri, Ayra. “Dan kami juga saling tahu keberadaan satu sama lain walau kami jarang berkomunikasi. Daddy di Althafa, dan Daddy Dyrga di Althafiance,” sahut Dyrta menimpali.             Ayra dan Chandly menatap Gamal yang sepertinya mulai tidak menikmati makan malamnya. Mereka hampir tidak bisa menahan geli dengan suasana seperti ini. “Mas Gamal ini bagaimana?? Saudara sendiri tidak diperhatikan! Saudara kandung macam apa Mas Gamal ini?? Sangat menyedihkan sekali. Kasihan Mas Gaza,” ujar Embun mulai bersuara rendah.             Gamal melirik ke kiri, menatap bingung Embun. Entah bagaimana dia harus merespon ucapan polos adiknya yang satu ini. Rasanya dia ingin sekali menggigit pipinya. Oh tidak, dia ingin sekali membongkar isi kepala Embun lalu melihat di dalamnya, memastikan jika isi kepala mereka terbuat dari bahan yang sama.             Saat Gamal hendak membuka suara, seseorang menyapa mereka dari arah sana. “Mas sudah terbiasa, Princess. Tapi Mas hanya bisa bersabar menghadapi Mas Gamal kalian,” ujarnya sambil membuka jas hitam pekat yang melekat di tubuhnya sejak tadi.             Semua orang melirik ke arah yang sama. “Sayang? Kenapa kau lama sekali pulang, Mas?? Kenapa tidak menghubungi kami kalau pulang terlambat??” ujar Chandly langsung membuka piring tepat di meja sisi kirinya, seraya memberi isyarat agar putranya itu duduk di samping kirinya.             Yah, pria itu adalah Gaza. Dia mendengar semua pembicaraan mereka, sebab ia sempat berhenti disana dan menerima panggilan telepon dari saudaranya, Arash yang sedang berada di Dubai.             Gaza yang paham, dia langsung berjalan ke arah mereka. Lalu menarik kursi disana, dia duduk tepat di sebelah kiri sang Mommy, Chandly. “Tadi aku singgah ke The Levent Coltar untuk mengecek berkas. Itu sebabnya aku lama pulang,” ujarnya memberitahu melirik Daddy dan Mommy mereka, Dyrga dan Ayra.             Ayra tersenyum dan mengangguk kecil. Dia bersyukur kalau keempat pria dewasa itu saling kompak dan bisa membagi pekerjaan bersama. “Apa semua baik-baik saja?” sahut Dyrga bertanya.             Gaza mengangguk kecil sambil membuka dua kancing kemeja teratasnya. “Baik-baik saja, Dad. Keuntungan naik 27%. Sangat bagus,” jawabnya.             Aiyaz memahaminya. “Tentu saja sangat bagus. Siapa dulu Direktur Utamanya,” ujar Aiyaz seraya membanggakan diri sebagai pemimpin tertinggi di The Levent Coltar, baik di New York maupun yang ada di Dubai.             Gamal menyeringai, mendengar pernyataan Aiyaz barusan. “Siapa dulu penasehatnya,” sahut Gamal sambil meneguk habis sisa jus di gelasnya.             Aiyaz melempar tissue ke arah Gamal. Lalu Gamal tidak terima dan membalasnya. “Kenapa bertengkar diantara Embun! Embun tidak bisa konsentrasi makan, Mas! Mas Aka dan Mas Gamal mau kalau sampai Embun sakit karena tidak selera makan??” ujar Embun spontan membuat tingkah kedua abangnya berhenti.             Dyrga dan Dyrta hanya diam saja melihat mereka. Berbeda dengan Zu yang menatapnya dengan senyuman tipis. “Ya sudah. Ayo, cepat makan lagi. Setelah makan malam, Grandpa mau bermain sesuatu sama kalian. Tapi kita harus menunggu Mas Gaza membersihkan diri dulu,” ujar Zu melirik cucunya yang sedikit pendiam itu.             Gaza mengangguk kecil sambil menyuap makanan di mulutnya. “Permainan apa, Grandpa??” tanya Anta seraya menyuruh sang suami untuk memperjelas permainan mereka nanti.             Zu mengulum senyumnya. “Permainan seperti biasa. Dan hadiahnya …”             Semua orang terdiam dan saling melirik satu sama lain. Berbeda dengan Anta yang sudah mengulum senyum karena permainan ini merupakan bagian dari idenya. “Hadiahnya adalah kita semua wajib liburan ke Indonesia selama 2 minggu atau 3 minggu penuh!” ujar Zu dengan nada bicara antusias.             Gaza yang sedang menikmati makan malamnya, dia melambatkan kunyahan di mulutnya. Dia melirik Aiyaz dan Gamal yang ternyata sudah meliriknya.             Mereka bertiga saling melirik satu sama lain. “Dua minggu??” “Grandpa yakin??” “Coba diperjelas lagi, Grandpa??” * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD