Chapt 11. Syefa's Decision

2425 Words
… Ruangan Desain.,             Beberapa pekerja lain melihat aneh ke arah Syefa. Apalagi dua orang itu membantunya membereskan semua barang-barang dan dimasukan ke dalam kardus khusus.             Tidak ada satupun yang berniat untuk bertanya, sebab mereka memiliki tugas dan kesibukan masing-masing. Namun, sebagian dari mereka berpikir jika pekerja yang mereka kenal itu mungkin hendak berpindah tugas. Begitulah yang ada di benak mereka.             Syefa masih terdiam disana, pandangan matanya lurus ke depan. Dia lupa kalau dua teman kerjanya masih berada disana.             Yah, Jihan dan Keysha masih membantu Syefa menyusun semua barang-barang Syefa ke dalam kerdus khusus bertulisakan Althafiance disana. Pihak perusahaan menyediakan fasilitas kerdus khusus bagi seorang pekerja yang akan berpindah tempat atau keluar dari perusahaan ini.             Jihan dan Keysha berulang kali menyadarkan Syefa dari lamunan. Namun, sepertinya Syefa masih asyik dengan apa yang ia lamunkan hingga tidak mendengar suara mereka sedikitpun. “Syefa? Kita bisa mencari pekerjaan lain selain ini nanti. Bersabarlah,” ujar Jihan mendekati Syefa, mengusap lembut lengan kanannya.             Usapan lembut itu sontak membuat Syefa terkejut. Tiba-tiba saja buliran bening jatuh secepat kilat dari sudut mata kanannya. “Eh, iya? Maaf … apa? Kalian bilang apa tadi?” ujar Syefa menatap dua teman kerjanya dengan senyuman manis palsu.             Jihan dan Keysha saling melirik satu sama lain. Entah kenapa mereka merasa iba melihat keadaan Syefa yang seperti ini.             Jujur saja, mereka berdua sangat syok mendengar kabar kehamilan Syefa. Bahkan mereka lebih syok lagi saat mendengar ternyata Syefa sudah menikah sejak 3 tahun lalu, walau kini hubungan pernikahannya telah kandas.             Pantas saja, selama ini Syefa selalu bungkam dan tidak mau berbicara lebih jauh mengenai hubungan pribadi antara dia dan kekasihnya. Sebab ternyata mereka sudah menikah.             Keysha mendorong kursi kerja Syefa masuk ke bawah meja, menyusun rapi. Dia menutup kardus tanpa berniat untuk memberi selotip disana. “Syefa, kami akan selalu ada untukmu. Setelah ini, kau beristirahat saja di apartemenmu. Jangan kemana-mana. Nanti sore kami akan ke apartemenmu,” ujaer Keysha melirik Jihan sebagai isyarat bahwa dia akan pergi bersamanya.             Jihan langsung mengangguk paham. Dia terus mengusap lengan kanan Syefa. Mereka mengerti bagaimana perasaan Syefa saat ini, walaupun mereka tidak bisa merasakan sepenuhnya.             Keysha mendekati Syefa, menatap lekat wanita yang sangat jarang sekali mengeluarkan air mata ketika mereka bertiga tengah saling mencurahkan isi hati satu sama lain. “Jangan bersedih. Ini demi kandunganmu. Kau harus tetap sehat dan tidak boleh patah semangat,” ujarnya sambil memeluk Syefa.             Jihan hanya bisa diam melihat Syefa tidak bereaksi saat Keysha memeluknya. “Ingat calon bayimu, Syefa. Ada nyawa yang harus kau jaga. Kami akan selalu ada disaat kau butuh. Percayalah pada kami,” ujar Jihan kembali meyakinkan Syefa agar teman kerja mereka itu bisa sedikit bersemangat.             Mereka berdua juga sudah tahu kalau ternyata Syefa pernah mengalami keguguran beberapa tahun lalu karena disebabkan oleh stress. Lalu sekarang dia sedang hamil. Tentu saja mereka tidak mau kalau kehamilannya kali ini kembali keguguran karena surat pemecatan dari perusahaan.             Keysha melepas pelukan mereka, dan menyeka air mata yang jatuh membasahi wajahnya. “Jangn menangis lagi. Kami tidak akan membiarkanmu seorang diri. Tuhan pasti memiliki rencana dibalik ini semua, Syefa. Percayalah,” sambung Keysha.             Syefa sedikit menarik kedua sudut bibirnya sambil mengangguk kecil. “Terima kasih. Kalian selalu ada untukku. Aku tidak apa-apa,” gumamnya sambil menyeka sekali lagi air mata yang jatuh di sudut mata kanannya.             Jihan langsung memeluk Syefa. “Kumohon, jangan menangis. Kami akan membantumu mencari pekerjaan lain. Kami berjanji tidak akan meninggalkanmu dalam keadaan sulit, Syefa.”             Akhirnya semua air mata Syefa tumpah dalam pelukan Jihan. Entah kenapa, rasanya pundak ini terlalu berat sekali.             Dia memikul beban yang sangat berat, hingga rasanya kaki ini sulit untuk berdiri tegak. Syefa tidak tahu bagaimana kehidupannya setelah ini.             Ketika Keysha hendak membuka suara, seseorang mengetuk pembatas ruangan berbahan kayu di sekitar mereka. Tokk… Tokk… Tokk… “Bu? Ah, maaf. Apa Anda sudah lama disana?” tanya Keysha hanya sekedar berbasa-basi. Dia sedikit berjalan mundur.             Jihan dan Syefa melepas pelukan mereka. “Maaf, Bu. Saya sedikit lama,” ujar Syefa menyambar tissue yang tersedia disana, dia segera menyapu air mata yang pasti sudah merusak make up di wajahnya.             Jihan dan Keysha saling melirik satu sama lain. Mereka tahu ini adalah waktu bekerja, tidak seharusnya mereka melalaikan tugas mereka hanya untuk membantu Syefa.             Tapi mereka tahu kalau atasan mereka ini pasti paham mengenai alasan utamanya. Tidak mungkin bagi Jihan dan Keysha membiarkan Syefa menyusun semua barang-barangnya seorang diri di hari terakhir ia bekerja. “Baiklah, tidak apa-apa. Ikut aku ke ruangan sekarang, Syefa.” Wanita itu menyuruhnya.             Syefa mengangguk kecil. “Baik, Bu.”             Wanita itu melirik Jihan dak Keysha dengan ekspresi datar. Dia berbalik badan dan melangkahkan kaki menuju ruangannya yang terletak di sebelah sana.             Setelah kepergian atasan mereka, Jihan kembali membuka suara. “Pergilah. Biar kami yang merapikan ini semua.”             Keysha juga mengangguk kecil. “Iya. Urus urusan terakhirmu. Kami akan menunggu disini,” ujarnya.             Syefa tersenyum tipis. Dia memeluk Jihan dan Keysha lagi, entah untuk yang ke berapa kalinya. “Terima kasih sekali lagi, Jihan, Keysha. Aku ke ruangan dulu,” ujarnya lalu segera diangguki iya oleh Jihan dan Keysha.             Syefa sudah berjalan jauh dan mulai masuk ke dalam ruangan atasan mereka. Kini, Jihan dan Keysha saling melirik satu sama lain. “Aku tidak tahu harus berkata apa, Jihan. Aku juga belum memikirkan pekerjaan yang cocok untuk Syefa nanti.”             Jihan diam sambil menutup rapat kardus yang berisi barang-barang, Syefa. Dia sendiri juga belum memikirkan apapun. Sebab mereka pikir perusahaan akan memberikan keringanan hukuman untuk Syefa.             Tadinya, mereka pikir prestasi Syefa akan membuat perusahaan luluh. Atau paling tidak masih mempekerjakan Syefa secara online demi menghindari kabar kehamilannya.             Namun, ternyata semua dugaan mereka salah. Perusahaan benar-benar memberikan surat pemecatan tanpa kompensasi untuk Syefa.             Satu keberuntungan Syefa, berita ini ditutup rapat oleh semua pihak. Hanya beberapa pihak yang bersangkutan saja, yang mengetahui kebenaran ini. “Kita akan ke apartemen Syefa nanti sore, bukan? Kita akan membahasnya disana. Biarlah dia menyendiri setelah ini,” ujar Jihan dengan perasaan sedih.             Keysha mengangguk kecil. “Ya sudah,” gumamnya sambil menutup rapat beberapa kardus yang masih terbuka disana. … Ruangan Kepala Divisi Desain.,             Syefa masuk ke dalam sambil menghela panjang napasnya. Pagi ini adalah hari terakhir ia bekerja sebab Pimpinan Tertinggi mereka sudah mulai masuk kantor hari ini. “Silahkan duduk, Syefa.”             Wanita itu mempersilahkan Syefa untuk duduk di kursi tepat berseberangan meja dengannya. Ia sendiri sangat berat untuk melepas Syefa, sebab ia tahu wanita ini memiliki kemampuan menguntungkan untuk perusahaan, terutama di bagian desain. “Terima kasih, Bu.” Syefa duduk disana, menatap sebuah amplop putih berukuran besar dengan logo Althafiance yang sudah disodorkan ke arahnya. “Maaf, Syefa. Meski aku sangat berat mengatakan ini. Tapi ini surat pemecatanmu. Maaf aku tidak bisa banyak membantumu,” ujarnya menatap lekat Syefa yang sudah tersenyum tipis.             Syefa menarik surat itu tanpa berniat untuk membukanya. “Kau bisa membaca isinya jika kau ingin,” ujarnya lagi.             Dia menggeleng kecil sambil menarik panjang napas. “Tidak, Bu. Aku sudah bisa menerimanya. Ini memang kesalahanku,” ujar Syefa.             Wanita itu menjatuhkan pandangannya ke arah surat yang masih tergeletak diatas meja kerjanya. “Pengumuman ini hanya disampaikan oleh beberapa kepala Divisi saja dan tidak dibocorkan kepada bagian bawah. Jadi kau tenang saja. Aku juga sudah meminta sekretaris kantor agar bisa menjaga rahasia ini dengan sangat ketat,” ujarnya memberitahu.             Yah, sebab ia tahu bahwa ini adalah aib perusahaan. Terutama aib dari Divisi Desain di lantai ini. Dan dia tidak mau jika aib dari wanita yang sudah sah menjadi mantan pekerjanya, justru terdengar oleh yang lain. Karena itu bisa mengguncang posisinya sebagai seorang atasan. “Terima kasih, Bu. Setidaknya itu bisa membantu untuk menutupi kesalahanku selama ini. Terima kasih karena kau sudah menjadi atasanku selama aku bekerja.” Syefa tersenyum dan menarik surat itu, memegangnya.             Wanita itu mengambil sesuatu dari dalam laci kerjanya, menyodorkan amplop putih kecil ke arah Syefa. “Tolong jangan menolak ini. Aku sudah menganggap semua bawahanku sebagai keluargaku sendiri. Terima ini,” ujarnya sambil tersenyum tulus. Glek!             Syefa tertegun melihat amplop putih kecil itu. Dia belum berniat untuk mengambilnya. Kenapa rasanya sangat miris bila semua orang menatap kasihan padanya.             Hidupnya memang tengah terombang-ambing bahkan sampai detik ini. Tidak salah jika banyak orang yang akan iba padanya bila tahu perjalanan hidupnya sejak berpisah dari keluarga.             Dia tidak pernah meminta pada Tuhan untuk hukuman seberat ini. Selama beberapa hari terakhir, dia tidak bisa tidur dengan nyenyak.             Segala rencana setelah ia dipecat atau beberapa hal yang harus ia lakukan agar tetap mendapatkan upah setiap bulan demi membiayai hidupnya di Negara ini. Semua sudah ia pikirkan, tapi nyatanya semua itu hanya rencana belaka. Dia sendiri belum bisa memutuskan apapun selain menghadapi kenyataan pagi ini, bahwa ia sudah resmi dipecat. “Syefa??” sapa wanita itu membuyarkan lamunan Syefa hingga mantan pekerjanya ini terkesiap. “Ah … iya, Bu?? Maaf,” ujarnya lalu menyeka air mata yang hendak menetes kembali di pipinya.             Wanita itu tersenyum tipis, dan semakin mendekatkan amplop darinya ke arah Syefa. “Ini mungkin tidak seberapa. Tapi anggap saja ini rezeki calon bayimu. Percayalah kau tidak sendirian, Syefa. Tuhan selalu bersamamu dan calon bayimu,” ujarnya memberi semangat kepada Syefa, walau ia tahu ucapannya sangat mustahil membuat kesedihan Syefa mereda.             Syefa tersenyum kecut. Gerakan tangan kanannya sangat ragu menjangkau amplop itu. Dia merasa seperti seorang pengemis. Mungkin lebih tepatnya, ia sudah cocok menyandang status sebagai tunakarya mulai hari ini. “Terima kasih, Bu. Saya … tidak akan melupakan kebaikan, Ibu.” Syefa tersenyum tipis dan mengambil amplop itu. ..**..             Dia berusaha tegar saat keluar dari ruangan Kepala Divisi. Sejujurnya ia sangat malu bila dilirik oleh beberapa pekerja lain yang juga berada di satu ruangan yang sama dengannya.             Syefa merasa jika mereka mengetahui kebohongan dan alasan ia dipecat hari ini. Tapi, ia juga mengerti kalau atasan serta perusahaan tidak mungkin berbohong mengenai alasan ia dipecat sebagai rahasia pribadi perusahaan.             Sudahlah, Syefa sudah ikhlas dengan apa yang terjadi hari ini. Ia tahu bahwa ini semua adalah kesalahannya.             Sekali lagi, Syefa telah melakukan kesalahan besar yang pada akhirnya merugikan dirinya sendiri. Dia tidak tahu kenapa di usianya yang sudah matang, dia selalu salah membuat keputusan.             Entah sudah yang ke berapa kalinya ia selalu salah membuat keputusan. Syefa merasa jika dirinya selalu dihantui oleh aura buruk hingga ia selalu terjatuh di lubang yang sama, ia gagal dan selalu gagal. …             Jihan dan Keysha membantu Syefa untuk mengangkut semua barang-barangnya di taksi yang sudah mereka pesan. Sebelumnya, mereka berdua sudah meminta izin kepada atasan mereka untuk membantu Syefa terakhir kali.             Beberapa petugas kebersihan turut membantu mereka membawa barang dengan troli khusus. Mereka turun ke lantai paling dasar memalui lift khusus pengangkut barang.             Selama di dalam liftm Jihan dan Keysha melihat Syefa terus saja berdiam diri. Hingga mereka enggan untuk mengajaknya berbicara.             Sesampainya di lobi, lalu petugas kebersihan itu mengangkut semua barang Syefa di taksi khusus. Sebagai ucapan terima kasih karena telah membantu, Syefa memeluk Jihan dan Keysha untuk terakhir kali.             Syefa sadar kalau pagi ini adalah pagi terakhir ia menginjak lantai perusahaan raksasa yang selama ini mengizinkan ia mencari nafkah. Besok, ia tidak mungkin lagi datang kesini karena tidak memiliki kepentingan apapun. *** Dalam perjalanan.,             Syefa duduk di bangku tepat bersebelahan dengan supir. Dia menyandarkan nyaman kepalanya disana, mengusap perutnya berulang kali. ‘Mama masih punya tabungan kok, Sayang. Kita bisa gunakan untuk 3 bulan ke depan. Mama janji nanti Mama bakal ngelamar kerja di tempat lain. Tuhan selalu melindungi kita, Sayang.’             Dia terus mengajak bicara bayinya. Tanpa ia sadari bahwa supir sudah meliriknya sejak tadi, melihatnya heran.             Mungkin baru sekitar 10 menit dia berlalu dari kantor Althafiance. Tiba-tiba saja ia mengingat sesuatu.             Sekarang, ia sudah memiliki citra buruk di mata sebagian orang, terutama atasannya sendiri. Sudah pasti Pemimpin Tertinggi Althafiance juga sudah mengetahui itu.             Walau ia belum mengenal dekat, tapi apakah tidak masalah jika ia meminta kesempatan satu kali lagi kepadanya. Dia tahu itu mungkin sangat mustahil. Tapi sepertinya dia sendiri memang sudah tidak memiliki tempat lagi di Althafiance.             Jika saja dia bertindak lancang, itu sama saja bukan? Dia juga tidak bisa bekerja lagi di perusahaan yang memiliki kerja sama dengan Althafiance atau perusahaan lain yang mungkin tidak akan menerima pekerja yang dipecat dari perusahaan raksasa itu. ‘Apa aku memohon langsung saja padanya?’ bathin Syefa bergumam sendiri.             Jalanan masih sangat macat dan Syefa terus berpikir cepat, menimbang apa yang tengah ia pikirkan. Sungguh, Syefa tidak mau lagi salah mengambil keputusan.             Sekarang, dia harus memikirkan itu sekali lagi. Jangan sampai sikapnya untuk menemui Pemimpin Tertinggi Althafiance justru berhujung pada sesuatu yang lebih buruk lagi. ‘Kalau aku tetap nekat, mungkin saja aku akan langsung diusir dari ruangan. Citraku akan semakin buruk,’ bathinnya sambil menghela panjang napas.             Yah … lalu saat ini dia sudah dipecat. Kalau saja ia melamar pekerjaan di tempat lain, itu akan sama saja. Sebab dia juga tidak bisa membohongi perusahaan lain jika sebenarnya dia adalah mantan pekerja Althafiance. ‘Tapi kalau aku melamar di perusahaan lain, mereka pasti akan menolakku karena aku dipecat atas kesalahanku sendiri.’             Syefa memejamkan erat kedua matanya dan terus menyandarkan kepalanya disana sambil melihat deretan mobil yang ikut mengantri panjang. ‘Apa yang harus aku lakukan, Tuhan? Kenapa jalan hidupku serumit ini? Tidak bisakah kau mengubah jalan hidupku dalam hitungan detik?’             Dia semakin erat memejamkan mata dan berusaha menahan air mata yang sudah penuh di pelupuk matanya. ‘Apakah Kau benar-benar bersama denganku, Tuhan? Bisakah Kau membantuku jika aku bertemu dengan Tuan Abraham? Bisakah Kau membantuku meluluhkan hatinya?’             Syefa kembali menarik panjang napasnya. Seiring dengan matanya terbuka perlahan, dia kembali bergumam dalam hati. ‘Tapi aku pikir itu mustahil. Tidak mungkin Kau bisa membantuku meluluhkan hatinya. Karena aku tidak pantas.’ Hanya berselang sepersekian detik ia menggumamkan kalimat itu, tiba-tiba saja terdengar suara petir hingga membuat Syefanya dan supir terkejut bukan main. “Oh, Tuhan …” Syefa memegang dadanya. “Ya Tuhan. Sepertinya mau hujan, Nyonya.” Supir itu memperhatikan langit yang ternyata sangat cerah.             Syefa memperhatikan keadaan awan. “Tapi langit sangat cerah, Pak. Kenapa tiba-tiba ada petir?” gumamnya.             Dan entah kenapa, keyakinan Syefa menjadi kuat. Dia merasa yakin kalau dirinya bisa berbicara baik-baik dengan Pemimpin Tertinggi Althafiance dan memohon padanya agar membantunya untuk mencari pekerjaan lain.             Selama hampir 5 menit ia memikirkan itu, akhirnya dia mengatakan kepada supir agar kembali ke kantor Althafiance saat itu juga. Ia beralasan bahwa ada barang-barangnya yang tertinggal.             Taksi yang ia tumpangi sudah berjalan kembali menuju Althafiance. Jantungnya berdegup kencang. Syefa hanya berharap pada kasih sayang Tuhan agar selalu melindungi sikap dan lisannya ketika berhadapan dengan Pemimpin Tertinggi Althafiance yang bernama Gaza Abisatria Althaf. Dia berharap, Tuhan akan selalu mendampinginya. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD