Menandai Betinanya

1081 Words
Mobil sedan mahal yang mengantarkan sang tuan muda dan istri barunya ke sebuah rumah bak istana Bogor itu berhenti di depan teras. Dengan sigap pengawal Harvey membukakan pintu mobil dan menunggu pria muda tampan itu turun dan mengulurkan tangan kanannya ke wanita yang ikut pulang bersamanya. Jantung Isyana berdebar kencang karena dia tak yakin menginginkan kekacauan yang telah disepakatinya tadi. Tanda tangannya di surat perjanjian nikah kontrak bersama Harvey Adi Dharmawan itu tak bisa dibatalkan begitu saja. Ditambah kenyataan nyawa seseorang dipertaruhkan bila dia mundur dari kesepakatan yang saling menguntungkan ini. "Rumah kamu gede, bagus!" puji Isyana dengan tegang. Dia merasa tubuhnya kaku di tempat ketika Harvey menggamit tangannya. "Ini akan jadi tempat tinggalmu selama menjadi istriku, Manis!" Harvey tersenyum tipis melirik ke wajah Isyana yang tersipu malu. Dia menyadari wanita di sampingnya sulit berjalan lalu bertanya, "kau ini kenapa? Apa kakimu kram, Isyana?" Tanpa menunggu jawaban maka Harvey segera meraup bagian belakang tubuh Isyana ke gendongannya. "Aarrh!" pekik Isyana terkejut saat dia tak lagi memijak bumi. Kedua lengannya reflek memeluk badan berotot suami barunya itu. Kemudian dia bertanya dengan suara mencicit panik, "apa yang akan kau lakukan?!" Harvey gemas sekali dengan wanita yang tak sengaja ditemukan pengawalnya malam ini. Kalau diperhatikan justru pengantin penggantinya lebih cantik dibanding Rania Devina, calon istri kabur yang dikenalnya dari situs dating online. "Memakanmu sebagai hidangan pencuci mulutku!" jawab Harvey mencandai Isyana yang tengah meronta-ronta dalam gendongannya. "Jangan bercanda. Katamu tadi kau hanya mencari istri bukan mangsa untuk dijadikan santapan makan malam!" tantang Isyana dengan segenap keberaniannya. Harvey pun tertawa renyah dan memberi kode asisten pribadinya untuk membukakan pintu kamar utama. "Ohh ya, istriku cerdas dan seorang pengingat yang baik rupanya!" pujinya puas. Standarnya untuk mencari pendamping hidup selama ini terlalu tinggi sehingga tak kunjung menikah. "Kenapa kau tidak bisa menjawab pertanyaanku dengan singkat, padat, jelas? Dasar pria menyebalkan!" gerutu Isyana yang detik berikutnya menjerit karena dilemparkan oleh Harvey ke tengah ranjang king size miliknya dan segera ditindih dengan badan besarnya. "Memangnya kenapa? Apa kau menyesal menjadi istriku? Sayangnya sudah terlambat. Bahkan, bila aku tak mengizinkanmu keluar dari kamar ini selamanya maka itu yang akan terjadi!" ujar Harvey santai sembari membelai pipi mulus Isyana. "Dasar tukang paksa!" tukas Isyana seraya mendengkus kesal. Harvey tak menghiraukan protes wanita keras kepala itu dan mulai menurunkan tali tipis gaun merah cantik yang ada di bahu putih mulus istri barunya. Kecupan-kecupan bibirnya menjalar dari leher jenjang Isyana menuju ke bahu dan turun lagi ke bulatan kembar yang menyembul dari tepian bagian d**a gaun terbuka itu. Tubuh Isyana yang tak pernah mendapat perlakuan intim seperti itu mulai bergetar. Dia tak sengaja melenguh, "Oohh ... mmh!" Diam-diam Harvey tersenyum merasa menang kali ini. Dia yakin wanita di bawah kungkungan tubuh kekarnya itu masih perawan. Sensitif sekali dengan sentuhan bibirnya. Telapak tangan Harvey menyingkap ujung bawah gaun merah Isyana lalu membelai kulit mulus paha wanita itu. "Apa kau suka dibeginikan?" tanya Harvey dengan suara Bass yang maskulin. Sesaat kemudian tangan kanan Isyana terangkat ingin menampar Harvey. Namun, reflek pria itu terlalu bagus, dia menepisnya dengan mudah. "Jangan main kasar kepadaku, Sayang. Istri harus patuh pada kehendak suami. Dan jangan lupa, Oma Widya menginginkan cucunya segera dilahirkan ke dunia. Kau mengiyakan pesannya tadi!" tegur Harvey dengan nada malas. "Kau menjebakku!" tuduh Isyana meradang. Dia tak menyangka malam yang kacau karena pesta midodareni yang diserobot adik tirinya harus berakhir dalam situasi berantakan seperti ini. Bukannya membalas perkataan Isyana, bibir Harvey justru asyik melumat bibir kenyal beraroma cherry itu. Dia merasa hasratnya tak tertahan lagi padahal mereka baru berkenalan beberapa jam lalu. Segala penolakan Isyana membuatnya gemas, malu-malu sekalipun mau. Isyana pun terhanyut sekali lagi di bawah kendali suami dadakannya yang teramat dominan. Kedua tangannya ditahan Harvey di atas kepala dan pahanya direnggangkan oleh lutut kokoh Harvey. Satu hal yang masih menyelamatkannya ... pakaian mereka berdua masih utuh menempel di tubuh masing-masing. "Istriku, apa aku boleh menikmati malam pertama bersamamu?" tanya Harvey coba-coba. Dia bertaruh jawaban Isyana dalam hatinya. Kepala berambut panjang hitam legam itu menggeleng kuat-kuat. "Lepaskan—" "Bandel sekali!" potong Harvey gemas. Reaksi tubuh wanita itu tak ada penolakan, tetapi mulutnya terus saja berkata sebaliknya. Akhirnya, Harvey memagut leher Isyana kuat-kuat dan meninggalkan bukti kepemilikan jelas berwarna merah di sana. "Aku menandai betinaku!" ucapnya lalu bangkit dari ranjang. Dia melenggang menuju ke kamar mandi untuk meredakan hawa panas yang membuatnya kegerahan. "Dasar wanita sialan!" gumamnya lalu memutar keran shower air dingin. Air mengguyur deras dari atas kepalanya dan membuat uap mengepul meninggalkan tubuh dengan gugusan otot padat nan kekar itu. Sementara di atas ranjang luas yang sepreinya kusut, Isyana duduk memeluk kakinya yang bertungkai ramping sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Ukhh ... sepertinya suami dadakanku seorang milyarder. Tak seharusnya tadi aku kasar menolaknya. Dia menawariku satu milyar sebulan jika mau menjadi istrinya!" ucap lirih Isyana dengan menyesal. Suara gemericik air yang terdengar dari arah kamar mandi berhenti dan Isyana kembali waspada. Dia bertanya-tanya apakah benar malam ini dia harus menyerahkan keperawanannya kepada Harvey yang baru saja dikenalnya? "Ceklek!" Pintu kamar mandi berayun terbuka dan sosok yang hanya berbalut handuk putih di pinggulnya itu melangkah dengan gagah mendekati Isyana di atas tempat tidur. Mulut Isyana menganga tidak anggun, dia seakan-akan sanggup mendengar bunyi detak jantungnya sendiri saking kencangnya. Wanita itu menelan ludah dan berdehem. "A—aku ... tidak—" "Jangan kegeeran ya. Aku hanya ingin menawarimu untuk mandi. Kau tadi berkeringat di jalan, bukan?" potong Harvey lalu membalik lagi badannya. Dia berjalan beberapa langkah dan berkata lagi, "sayangnya kau belum melihat bagian terbaik dari tubuhku yang sempurna ini!" Lalu dia pun tertawa nyaring meninggalkan Isyana ke kamar sebelah yang memiliki pintu paralel dengan kamar yang ditempati Isyana. Isyana cemberut memandangi pintu yang baru saja menutup rapat itu dan membeo perkataan sosok yang telah pergi tadi, "Dasar narsis! Sayangnya kau belum melihat bagian terbaik dari tubuhku yang sempurna ini!" Jam dinding di kamar menunjukkan pukul 23.45 WIB. Isyana merasa terlalu dingin baginya untuk mandi maka dia mengabaikan tawaran Harvey untuk mandi. "Lebih baik tubuhku kecut dari pada aku mandi hingga wangi lalu dia jadi tambah napsu. BIG NO!" putus Isyana dengan keras kepala lalu dia menarik selimut menutupi dirinya rapat-rapat karena AC pendingin ruangan mulai bekerja. Dengan mudah Isyana jatuh tertidur karena terlalu lelah. Beberapa menit berselang Harvey kembali lagi masuk ke kamar sebelah untuk memeriksa Isyana. Dia tak menyangka wanita itu menolak untuk mandi. 'Hmm ... keras kepala seperti keledai betina. Aku harus mendidiknya agar patuh dan bersikap manis seperti kucing!' batin Harvey, tak ingin membuat Isyana terbangun dari tidur lelapnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD