Jadikan Saya Sugar Baby, Om!
Malam semakin larut. Jam yang menggantung di dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Seorang gadis terlelap nyaman di bawah selimut tebal yang menghangatkan tubuhnya.
Pintu kamar berwarna putih itu dibuka dari luar, seorang wanita paruh baya berjalan ke sisi ranjang lalu membangunkan anak gadisnya tersebut.
"Teteh ayo bangun," bisik Wiwin sambil menggoyangkan lengan putrinya.
Merasa terganggu akhirnya gadis berusia dua puluh dua tahun itu membuka matanya yang masih terasa berat.
"Ambu?"
"Shuuut, jangan berisik. Cepetan bangun, ini pegangan buat Teteh," ucap Wiwin seraya memberikan sebuah amplop berwarna cokelat yang terdapat lembaran uang merah di dalamnya.
"Ha? Enggak usah, Ambu. Teteh punya uang kok," tolaknya dengan wajah bingung. "Ambu kenapa sih? Panik gitu ih, Teteh jadi takut."
Wiwin menegang kedua bahu putrinya dengan tatapan serius. "Teteh dengerin Ambu. Sekarang Teteh cepet siap-siap terus pergi sejauh mungkin dari rumah."
"Lho? Kenapa? Ambu usir Teteh?"
Wiwin terpejam sejenak sambil menghela napas. "Pagi ini Abah mau nikahin Teteh sama A Galih."
"Ha? Kok gitu sih? Kan Teteh udah nolak lamarannya A Galih."
"Iya, tapi Abah kekeuh mau menikahkan Teteh sama A Galih. Semuanya sudah disiapkan sama Juragan Ahmad. Mulai dari gedung, katering, MUA, dan segala t***k bengeknya sudah beres semua."
"Kok Abah gitu sih? Jahat banget sama anak sendiri. Ambu juga kenapa baru ngasih tahu sekarang? Duh, ini jantung Teteh kayak mau copot."
"Ambu minta maaf. Tadinya Ambu setuju sama Abah buat menikahkan Teteh sama A Galih. Ambu ingin masa depan Teteh terjamin. Sampai akhirnya Ambu sadar bahwa kebahagiaan Teteh adalah yang utama," ujar Wiwin penuh penyesalan.
"Ya ampun, Ambu...."
Namanya Rembulan Ayu Pramesti. Orang-orang di kampung menjulukinya sebagai kembang desa. Bulan - panggilan dari nama Rembulan, merupakan anak pertama dari Abah Darsa dan Ambu Wiwin.
Tiga bulan yang lalu, Galih Prasetya datang dengan niatan ingin mempersunting Bulan. Dia merupakan anak tunggal dari juragan beras di Kampung Mekar. Galih sendiri berprofesi sebagai pilot. Alasan Bulan menolak lamaran tersebut karena Galih seorang yang gila perempuan. Bulan tidak mau terjebak seumur hidup bersama laki-laki yang tidak bisa cukup dengan satu wanita.
Akhirnya Bulan pergi sambil membawa koper berisi beberapa pakaian dan juga uang. Suasana malam yang sepi ditambah angin sepoi-sepoi membuat Bulan merinding
"Gini banget sih nasib si kembang desa. Sekarang aku harus pergi kemana? Ojek gak ada, terminal masih jauh," gumamnya setelah berjalan jauh dari rumah.
Ditengah pergulatan pikiran, Bulan dikejutkan dengan kedatangan dua lelaki berpenampilan preman. Bulan langsung memundurkan langkahnya, tapi ternyata masih ada satu orang lagi yang berada di belakangnya.
"Mau kemana, Neng? Malam-malam begini keluyuran di luar. Mending nongkrong sama kita di sini," ucap pria bertato.
"Permisi."
Bulan hendak menerobos pergi, namun ketiga lelaki itu semakin mendekat padanya, membuat Bulan kehilangan celah untuk bisa lari menjauh dari para preman itu.
"Duduk dulu sebentar atuh, Neng. Nanti Aa kasih yang anget-anget."
"Tolong jangan ganggu saya. Biarkan saya pergi," ucap Bulan dengan hati yang sudah geram ingin menghajar mereka, tapi sayang, ia tidak mempunyai kemampuan bela diri apa-apa. Dulu saat abahnya meminta Bulan untuk belajar silat, ia malah menolaknya.
Salah satu dari ketiga pria itu bersiul sambil menatap Bulan penuh napsu.
"Kulitnya bening bener, Neng," ucapnya seraya menyentuh pipi Bulan.
"Eh! Jangan kurang ajar ya!" sentak Bulan, menatap tajam pria berambut gondrong tersebut.
Lalu pria yang lainnya tertawa. Perlawanan dari Bulan membuat mereka senang.
"Pegang sedikit aja masa gak boleh sih, Neng?"
Saat pria berkepala botak hendak ikut-ikutan menyentuh pipi Bulan, dengan cepat gadis itu layangkan tendangan kuat ditengah-tengah selangkangannya hingga pria itu meringis kesakitan.
"Ah, anying!"
Bulan segera mengambil kesempatan dengan mendorong pria tersebut, lalu berlari secepat yang dia bisa.
"Walah kampret! Kejar dia!"
Dua pria lainnya mengejar kepergian Bulan, meninggalkan pria botak yang masih meringis kesakitan di tempat.
Bulan berdecak kesal sambil sesekali menoleh ke belakang. Kalau sampai ia tertangkap oleh kedua b*****h itu, bukan tidak mungkin ia akan kehilangan harga diri ditangan mereka. Tidak! Bulan tidak mau masa depannya hancur dengan cara menjijikan seperti itu.
"Aish! Tuhan, tolong kirimkan Spiderman untuk hambamu yang lemah ini!"
Ditengah ketakutan serta kepanikan gadis itu, tiba-tiba saja kakinya tersandung batu hingga membuatnya jatuh.
"Ah, aww!"
Bulan meringis sakit karena lututnya menghantam aspal cukup keras, dan juga lecet di telapak tangannya.
Kedua pria itu tertawa puas.
"Rasain! Makanya jangan macam-macam sama kita. Jatuh kan akhirnya, ha! Ha! Ha!"
Bulan menggembungkan kedua pipinya. Menatap murka kedua pria itu yang berdiri sombong di depannya.
"Ayo cepat, ajak si cantik ini buat senang-senang sama kita," ucap pria berambut gondrong itu pada temannya.
Bulan menggeleng panik.
"Enggak! Jangan kurang ajar kalian!"
Kedua pria itu mencekal lengan Bulan, memaksanya untuk berdiri. Bulan berusaha melawan, tapi tenaganya tak cukup kuat untuk bisa menandingi kedua pria itu.
"Ah! Enggak! Tolooooong!!!"
"Ha! Ha! Gak bakal ada yang nolongin kamu cantik! Sudahlah, nikmati saja malam ini sama kami!"
Bulan menangis. Tubuhnya ditarik paksa oleh kedua pria itu. Kemudian seseorang memukul punggung salah satu pria itu dari belakang hingga membuatnya jatuh. Sontak saja perhatian Bulan dan pria yang satunya teralihkan.
"Siapa kamu?!"
Bulan tertegun menatap sosok lelaki berwajah bule di depannya. "Oh Tuhan, apakah ini Spiderman yang Engkau kirimkan untuk hamba?"
Tidak butuh waktu lama bagi si bule untuk menghabisi kedua pria itu. Setelah membuat mereka lari kocar-kacir, lalu bule tersebut berjalan menghampiri Bulan.
"Wah, Mister, keren banget lho bisa ngalahin para b*****h itu," ucap Bulan sambil menggeleng kagum.
Begitu tersadar kalau mungkin bule dihadapannya ini tidak mengerti dengan yang diucapkannya, refleks Bulan menepuk bibirnya menggunakan telapak tangan.
"Ya ampun, bego banget sih, mana ngerti ini bule aku ngomong apa," gumamnya yang justru mendapat kekehan dari bule tersebut.
"Dih, ketawa lagi, kayak ngerti aja."
"Saya ngerti kok. Saya juga bisa bicara bahasa yang sama dengan kamu," ucap lelaki bule tersebut yang membuat Bulan meringis malu.
Lelaki bertubuh tinggi, tegap, dengan pakaian rapi yang membalut tubuhnya tersebut, menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Kamu sendirian? Tengah malam begini sedang apa diluar?" tanyanya kemudian.
"Mmm, saya...." Bulan berpikir sejenak. Masa iya harus mengatakan yang sejujurnya kalau ia kabur dari rumah karena tidak mau dinikahkan.
"Saya?"
Bulan berdeham. "Mister sendiri lagi ngapain diluar tengah malam begini? Mana rapi bener lagi," ucapnya yang justru mengalihkan pembicaraan.
"Ban mobil saya bocor," jawab lelaki bule tersebut sambil menunjuk ke arah mobilnya yang sedang diperbaiki, berada di ujung jalan.
Bulan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"What's your name?"
"Hah?"
"Nama kamu siapa?"
Bulan berdecak pelan. "Jangan anggap saya bodoh ya, Mister. Tadi bilang 'hah' itu cuma refleks. Saya ngerti kok Mister nanya apa. Saya juga bisa kali ngomong bahasa Inggris sedikit-sedikit mah."
Bule itu terkekeh pelan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Jadi, siapa nama kamu?"
"Bulan," jawabnya.
"Moon?" tanya lelaki itu seakan tidak percaya dengan nama yang disebutkan gadis di hadapannya ini.
Bulan memicingkan matanya. "Iya. Emang kenapa? Gak boleh?"
Lelaki itu mengulas senyum. "Kamu sama cantiknya seperti bulan yang bersinar di atas sana."
"Hmm?"
Bulan merasakan jantungnya berdebar kencang. "Hadaaaah! Sialan ini bule omongannya bikin hidung Neng mau terbang."
"Nama saya Alexander James Calvian. Kamu bisa memanggil saya Calvin," ucapnya sambil mengulas senyum yang membuat ekspresi Bulan nampak bodoh sekali.
"Senyummu seakan mengajak berumah tangga, Mister!"
Bulan berdeham, mengembalikan kesadarannya. "Gak sopan dong kalo manggil nama sama yang lebih tua. Saya panggil Om aja ya?"
Calvin mengangguk. Bibirnya masih menyunggingkan senyum yang membuat siapa saja akan mudah terpesona padanya. Termasuk juga Bulan.
"Kamu mau kemana? Saya bisa antar kamu. Bahaya perempuan berada diluar sendiri tengah malam begini. Seperti tadi misalnya."
"Aww, jantung gue merosot! Anjgdddss gyua lemaaaaayyss! Hatiku rasanya ingin melewdagh boombastaaaah!"
Bulan terpejam sejenak. Menjilat bibirnya yang terasa kering, lalu kembali menatap mata indah Calvin.
"Are you single, Om?"
Calvin mengangkat sebelah alisnya. Lagi-lagi Bulan mengalihkan pembicaraan.
"Yeah, I'm single. Why?"
"Tajir?"
"What is tajir?"
"Eh, maksudnya kaya. Apa Om rich?" Bulan mengumpat dalam hati, bahasa Inggrisnya mendadak kacau kalau sudah berhadapan dengan titisan dewa seperti ini.
Calvin terkekeh begitu ia paham maksud pertanyaan Bulan. "Ya, tentu."
Bulan bersiul dalam hati. Menunduk sejenak, lalu melangkah lebih dekat dengan Calvin kemudian meraih satu tangan lelaki itu sambil malu-malu kucing.
"Jadikan saya sugar baby, Om!"