Chapter 1
"hayy Daddy"
Vania Larissa tersenyum ketika berhasil mengetikkan dua kata itu seraya menekan enter pada layar ponselnya. Akhir-akhir ini dia suka berkunjung ke situs chatting itu. Bukan apa-apa hanya saja dia disana Vania tidak pernah harus menyibukkan diri. Karena apa?mereka semua adalah orang asing yang tidak pernah Vania kenal.
Sani:Hello, little girl
Vania:Daddy
Vania:Daddy
Vania:aku sangat muak dengan hidup ini
Vania:aku ingin mati
Vania:dan aku tidak tahu dengan siapa
aku akan bercerita
Vania:tapi Daddy
Vania:aku tidak punya siapa-siapa
Vania:tidak ada yang peduli
Vania:aku benci hidupku
Sani:sayangg,apakah kamu punya Skype?
Vania:apa?
Sani:please!
Vania:vaniariss
Vania menghapus air matanya sejenak,dahinya berkerut bingung. Ada apa dengan seseorang yang sedang ia ajak ngobrol ini?
Tak terasa air matanya kembali menetes. Membasahi pipinya yang sedikit lebam. Dirabanya pipi itu dengan ringisan. Tapi tak sesakit luka dihatinya.
Vania segera melihat ponselnya ketika benda itu berdering,dan matanya membulat ketika melihat notifikasi
"Saniadhit added you"
Sani is video calling you
"what?" Tiba-tiba wajah Vania memerah. Dia menggigit bibir bawahnya tak percaya. bagaimana bisa pria tua itu mengajaknya video call?bagaimana jika pria tua itu sakit jiwa?p*****l?jelek?ompong?oh tidak,Vania bahkan tidak peduli dengan semua itu. Yang dia tahu,dia butuh seseorang untuk berbagi cerita.
Tanpa ragu-ragu Vania menekan tombol bergambar telepon,seketika muncul seorang pria berkacamata hitam dengan background kolam renang,yang DEMI TUHAN,TAMPAN SEKALI!
Vania menganga. Demi Tuhan. Vania benar-benar membuka mulutnya. Dia memang tak pernVania ah meminta foto pria itu walaupun Sani sering meminta fotonya di setiap aktivitas yang Vania lakukan. Vania bahkan tidak menyangka bahwa pria tua itu bisa setampan ini.
Sani sangat tampan. Dia bahkan tidak terlihat seperti umur berkepala 4. Wajahnya masih berbentuk dengan sempurna dengan rahang yang kokoh dengan sedikit kerutan. Apakah Sani suka perawatan?
"sayang,heyy apa yang sebenarnya terjadi?"Suaranya begitu lembut. Lembut sekali dan penuh kasih sayang. Membuat Vania mengerjap. Jika saja ayahnya selembut Sani,dia pasti akan sangat senang meskipun ibunya harus pergi entah kemana bersama pria lain.
"kamu sangat hot,Daddy" What the hell,Vania menutup mulutnya tiba-tiba. Bagaimana bisa mulut sialannya ini berkata sesuatu yang seharusnya tidak ia katakan di saat seperti ini?
Tawa Sani terdengar begitu renyah dan hangat "kau sedang berbicara tentang dirimu sendiri?"
Apakah aku mengganggumu Daddy?kau bisa melanjutkan aktivitas mu." Ucap Vania membuat Sani segera bangkit dari tempatnya,sejenak melihatkan bagian d**a Sani yang masih terlihat bidang di balik kaos hitam polos ketatnya.
"What the f**k,inginku menggigit itu Daddy" batin Vania berbicara.
Vania meneguk ludahnya,merasakan sesuatu yang menggelikan di sekujur tubuhnya. Apakah dia terangsang hanya karena melihat d**a pria itu?
"Tunggu lima menit,aku akan pergi ke kamar babygirl"
Dada Vania menghangat ketika suara Sani lagi-lagi menginterupsi pikirannya
Entah apa yang membuat Vania begitu tenang. Bukan,ini bukan perasaan cinta seorang gadis kepada prianya. Ini adalah rasa kerinduan anak terhadap ayahnya.
Vania menyadari Sani sudah sampai di sebuah ruangan tertutup,lalu terdengar suara pintu terkunci. Kemudian pria paruh baya itu terlihat meletakkan ponselnya ke atas meja,sedangkan dirinya duduk diatas kasur yang tak jauh dari meja tersebut.
Maaf bajuku terlalu basah sayang,anakku mencoba memukuliku lalu dia menyiramkan air ke tubuhku" ucap Sani membuat dahi Vania berkerut. Namun kemudian,matanya membulat ketika Sani tengah membuka kaosnya,meninggalkan keadaan Shirtless dan benar saja tubuh Sani sangat bagus. Dadanya bidang,perutnya terbentuk dengan sempurna. Ditambah tato-tato yang membuatnya semakin terlihat hot. Vania menebak pria itu pasti suka berolahraga.
"Tidakkah kamu tau Daddy,aku ini perempuan normal" Vania mendengus,membuat pria itu tertawa,namun seketika tawanya mengulang ketika mendapati warna biru di sekitar pipi Vania. Wajah pria paruh baya itu tampak menegang.
"ayah kamu lagi?" Tanyanya,membuat air mata yang sedari tadi Vania tahan mulai turun membasahi pipinya. Vania menangis.
"Dengar vania,kau benar-benar harus melaporkannya ke polisi. Apa aku perlu menghampirimu?apa aku perlu mengadopsimu?aku mengatakan ini karena aku peduli."Sani berkata dengan sungguh-sungguh membuat Vania perlahan menghapus air matanya.
"Terimakasih,Sani. Tapi kau tidak perlu berlebihan. Lagi pula,aku dan kau hanya orang asing." Balas Vania membuat Sani menghela nafas panjang. "Berhenti mengatakan kalau aku dan kau hanya orang asing Vania!kau tahu aku benci itu?dan lihat,matamu memerah. Ini pertama kalinya aku melihatmu secara langsung dan aku harus melihat matamu yang memerah?" Vania tertawa. Dia bersyukur bertemu dengan pria itu. Pria yang mampu membuatnya tertawa. Pria yang membuatnya merasakan perhatian seorang ayah,meski hanya sekedar chatting dan Videocall.