Camelia memperhatikan pria yang sudah satu minggu ini menjadi pengawalnya dari jendela kamarnya. Pagi-pagi sekali dia sudah berlari mengelilingi gedung apartemen dan memang selalu mengawali harinya dengan kegiatan tersebut.
Tentu saja perempuan itu bisa melihatnya dari atas sini karena setiap hari penampilannya yang memang mencolok.
Dengan hanya mengenakan joggerpants dan bertelanjang d**a, Junno menikmati aktifitasnya sejak hari masih gelap. Entah sudah berapa putaran pria itu berlari dan tampaknya dia masih belum ingin berhenti.
Setidaknya ketika cahaya matahari sudah muncul, baru Junno akan segera kembali ke unit yang mereka tinggali.
Lalu suara bel terdengar nyaring dan mengalihkan perhatian Camelia. Dia keluar dari kamar dan menatap pintu yang tertutup rapat.
Peringatan Junno tentu saja menjadi hal pertama yang dia ingat bahwa tidak boleh membuka pintu sembarangan jika pria itu sedang tak berada di apartemen.
Camelia terdiam.
Dia mendekat, kemudian memeriksa layar monitor yang Junno pasang di dekat pintu, dan melihat seorang pria tinggi mengenakan masker yang berdiri di depan pintunya.
Dia mundur kemudian cepat-cepat meraih ponselnya di kamar, lalu segera menghubungi nomor Junno.
"Ya?" Pria itu berhenti berlari ketika ponselnya berbunyi.
"Junno!" Suara Camelia terdemgar bergetar.
"Ada apa?"
"Tolong kembali ke sini, ada seseorang di depan pintu." Perempuan itu hampir menangis.
"Ada apa?"
"Ada seseorang di depan pintu. Laki-laki, menggunakan masker dan aku ...."
Junno mematikan ponsel, lalu segera berlari sambil mengenakan hoodienya yang dia sambar dari kursi taman.
Dia melesat ke dalam gedung dan segera menuju ke lantai di mana unitnya berada. Lalu segera masuk begitu dia berhasil mencapai area tersebut.
"Di mana?" katanya yang setengah membanting pintu.
Pria itu tertegun mendapati ruangan yang kosong, namun pintu kamar Camelia terbuka lebar.
"Camelia?" panggilnya, dan dia memeriksa beberapa hal.
"Camelia, kau di sana?" katanya lagi yang menatap ruangan yang dulu merupakan kamar tidurnya, di mana dia menemukan Lingga, tengah bercinta dengan pria lain.
"Camelia?" panggilnya lagi seraya memutar tubuh.
Dan dia memindai seluruh ruang tengah ketika setelahnya melihat sesuatu di balik sofa. Junno mendekat, dan di sanalah perempuan itu yang tengah menyembunyikan dirinya.
"Hey?" katanya, dan Camelia pun mendongak.
Tatapan mereka bersirobok dan keduanya sama-sama terdiam.
"Tidak ada apa-apa," ucap Junno kemudian. "Tidak ada siapa pun di sana."
"Tidak, tadi aku lihat ada seseorang. Badannya tinggi, berpakaian hitam dan menggunakan masker." Camelia bangkit.
"Tapi tidak ada." Junno menanggapi.
"Kau periksa saja di CCTV! Aku juga melihatnya di layar monitor. Aku tidak bohong!" Perempuan itu meyakinkannya.
"Ya, mungkin dia sudah pergi." Junno mundur kemudian melakukan apa yang Camelia katakan.
Dan ya, seorang pria berperawakan tinggi memang berdiri di depan pintu dan menekan bel. Namun kemudian dia pergi setelah meletakkan sesuatu di lantai.
"Hmm ... sepertinya aku tahu siapa dia." Junno bergumam sambil membuka pintu dan memeriksa keluar. Kemudian dia memungut benda yang memang diletakan di samping pintu.
"Kau tahu? Siapa? Dia yang mengaku atau meneror ku?" Camelia memberanikan diri untuk mendekati pintu ketika pengawalnya tersebut kembali masuk.
"Tidak, bukan. Mungkin itu temanku," jawab pria itu yang membawa bungkusan ke meja makan.
"Temanmu?"
Junno segera membuka bungkusan dan mengeluarkan isinya yang adalah satu set headset beserta alat komunikasinya, dan sebuah pistol baru untuk menunjang pekerjaannya.
"Kau sudah lebih baik?" Dia kemudian menoleh kepada Camelia yang berdiri di sampingnya.
"Hah?" Dan perempuan itu sedikit terperangah.
Junno memeriksa pistol dan mengujinya untuk memastikan jika benda itu berfungsi dengan baik.
"Jika keadaanmu sudah membaik, Lina memintaku untuk membawamu keluar." Junno melanjutkan.
"Keluar ke mana?" tanya perempuan itu. "Kenapa dia tidak langsung menghubungiku?"
"Kau lupa? Sekarang kau ada di bawah pengawasan ku, jadi sebelum melakukan apa-apa, aku yang terlebih dahulu memastikan keadaanmu." Junno berbalik.
"Jadi aku akan meyakinkan, jika keadaanmu sudah membaik maka aku bisa membawamu keluar."
Camelia terdiam.
"Belum? Aku tidak yakin waktu satu minggu bisa membuatmu pulih. Tembakan di pinggang cukup serius untuk orang sepertimu." Ucap pria itu lagi.
"Apa maksudmu? Kau mau mengatakan jika aku ini lemah?" Camelia menanggapi ucapannya.
"Tidak, hanya saja orang awam tidak memiliki kemampuan untuk memulihkan tubuh mereka yang terluka secepat itu." Junno kemudian melenggang ke arah ruangannya yang terletak di ujung unit. Yang menjadi tempat untuk istirahat dan melakukan banyak hal yang berhubungan dengan pekerjaannya sebagai pengawal Camelia.
"Kau pikir aku tidak bisa begitu?" Dan perempuan itu mengikutinya sampai di depan pintu.
"Dilihat dari fisik dan kebiasaanmu, ya." Junno menghentikan langkah, lalu berbalik kembali.
"Kau menganggap remeh."
Pria itu mendengus.
"Jadi sebaiknya tidak. Tunggu satu minggu lagi, karena kesehatanmu lebih penting dari pada pekerjaan dan kegiatan diluar." Junno kemudian masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.
"Tapi aku ...." Dan Camelia hampir saja mengetuk pintu ketika terdengar teriakan dari dalam.
"Pulihkan dulu dirimu, baru setelahnya kau bisa bekerja lagi. Jangan sampai aku disalahkan karena membiarkanmu keluar sebelum keadaanmu membaik."
Camelia menggeram pelan. "Kau tidak mengerti!" katanya, dan dia dengan terpaksa kembali ke kamarnya.
***
"Ya, saya sudah bosan. Hampir dua minggu terjebak di sini, dan dia tidak mengizinkan saya keluar bahkan untuk ke salon." Ponsel menempel di telinga sementara pandangan matanya mengikuti pergerakan Junno yang harus saja kembali setelah berolah raga. Sementara dirinya mencoba bersantai di sofa ruang tengah.
Hari sudah beranjak siang dan keseharian Camelia masih tidak berubah sejak kepulangannya di rumah sakit dua minggu sebelumnya.
"Bapak masih di luar kota? Kapan pulang?" Dia sengaja mengeraskan suara agar pengawalnya itu mendengar.
"Mungkin akhir pekan nanti." Bima menjawab dari seberang sana.
"Kenapa lama sekali? Biasanya hanya beberapa hari." Camelia sedikit merajuk.
"Ya, anak dan istriku menyusul. Dan aku tidak punya alasan untuk pulang cepat karena pekerjaanku juga sudah selesai. Lagipula aku memang ada janji dengan anak-anak kan."
"Hmm ...." Camelia menggumam.
"Kenapa? Kau merindukanku?" Lalu terdengar kekehan dari seberang sana.
Camelia kembali menatap Junno yang mengeluarkan beberapa hal dari bungkusan yang dibawanya.
"Ya, sangat merindukan Bapak." katanya tanpa mencoba untuk menutupunya.
"Ah, kalau sudah begini aku jadi ingin pulang." Bima tertawa lagi.
"Ya pulang saja. Bukankah biasanya anak dan istri Bapak liburan sendiri?" Sepertinya dia mulai memiliki keberanian untuk melewati batas yang sebelumnya dijaga.
"Apa katamu?"
"Biasanya Bapak membiarkan mereka liburan sendiri, dan memilih pulang kepada saya. Lalu mengapa kali ini berbeda?"
Bima terdiam.
"Sepertinya saya mulai bosan. Tidak bisa keluar, tidak boleh melakukan apa pun yang saya inginkan. Mau makan saja dia yang pesankan dengan menu yang dia tentukan sendiri," adanya kepada pria itu.
"Maksudmu Junno?"
"Ya siapa lagi? Hanya dia yang ada di sini." Camelia dengan nada kesal.
"Tapi dia tidak berbuat macam-macam kan?"
"Tidak."
"Maka turuti saja, demi keselamatanmu."
"Ya, saya seperti tahanan saja. Padahal minggu ini seharusnya saya sudah mulai syuting."
"Memangnya kau sudah bisa?"
"Bisa. Dan dokter juga sudah mengizinkan asal tidak terlalu kelelahan."
"Maka pergi saja lah."
"Dia tidak mengizinkan!" Camelia merengek.
"Baik, berikan ponselnya kepada Junno. Biar aku yang bicara."
Lalu perempuan itu menyodorkan benda pipih tersebut, dan Junno mendekat setelahnya.
"Apa?" Pria itu menarimanya dengan perasaan heran.
"Pak Bima ingin bicara denganmu." Camelia menjawab, kemudian Junno menempelkan ponsel milik perempuan itu ke telinganya.
"Ya Pak?" Dia segera menjawab.
"Izinkanlah Camelia pergi. Dia bukan anak rumahan seperti orang lain kan?"
Junno tak menjawab.
"Dia punya kepentingan untuk keluar, dan waktu dua minggu sepertinya cukup untuk memulihkan kondisinya. Apa kau melihat jika Camelia masih tidak bisa apa-apa?"
Junno meliril kepada perempuan itu. "Tidak, Pak. Sepertinya dia sudah sehat."
"Lalu mengapa kau masih menahannya di apartemen? Dia juga perlu bekerja. Kau hanya perlu menjaganya saja. Dan ingat, pelaku penembakan masih belum ditangkap."
"Baik, Pak." Hanya jawaban itu yang Junno ucapkan sebelum akhirnya dia mengembalikan ponsel kepada pemiliknya.
Dan Camelia pun bangkit kamudian melenggang ke kamarnya untuk bersiap-siap. Sekilas salah satu sudut bibirnya tertarik membentuk seringaian.