04: Tidak Berani

1295 Words
PART 04: TIDAK BERANI Setelah mengangkat semua pakaian yang dijemurnya tadi pagi di rooftop villa, Muezha bergegas menuju ke arah ruang setrika. Ia berencana untuk langsung menyetrika beberapa kemeja kerjanya Aksa, karena pria itu sudah mulai bekerja sejak seminggu belakangan. Saat awal-awal Muezha mengerjakan pekerjaan rumah tangga, kelima pelayan wanita yang ada di villa tampak terheran-heran dan selalu ingin membantunya, tetapi ia selalu menolak. Karena Aksa sudah memberinya peringatan. "Aksa? Kau sudah pulang?" tegur Muezha yang benar-benar terkejut begitu melihat Aksa mendatanginya di ruang setrika secara tiba-tiba. Biasanya pria itu baru pulang bekerja sekitar pukul enam sore, atau bisa lebih malam lagi. Bukan pukul lima sore seperti saat ini. "Itu adalah pertanyaan bodoh yang pernah kudengar." Muezha hanya diam saja, dan kembali melanjutkan pekerjaannya. "Jika kau sudah selesai menyetrika pakaian, cepatlah mandi dan bersiap." Muezha mengernyit, dan segera berbalik. "Bersiap? Untuk apa? Bukankah aku harus menyiapkan makan malam?" Aksa yang sudah berjalan ke arah pintu, langsung menolehkan kepala, dan menatap Muezha dengan wajah kesal yang sangat kentara. "Tidak usah banyak bertanya, dan turuti saja apa yang kuperintahkan." Muezha hanya menghela napas pelan, dan segera menyelesaikan pekerjaannya. Lalu Summi memberitahunya kalau gaun yang harus ia pakai sudah disiapkan di atas ranjang, karena Aksa akan membawanya untuk menghadiri sebuah acara. Ia hanya menganggukkan kepala, dan mengucapkan terima kasih pada Summi. Setelah mandi, Muezha langsung mengenakan A-Line Dress selutut yang memamerkan bahunya. Gaun itu berwarna putih gading, dan berbahan heavy silk yang terasa lembut di kulit. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai begitu saja. Kemudian ia segera memoles wajahnya dengan make up tipis, memakai Kitten Heels, dan menenteng tas kecil. Begitu ia menutup pintu kamarnya, ia melihat Aksa yang baru saja keluar dari kamar sebelah. Mereka sempat bertukar tatap untuk beberapa saat ke depan, sampai akhirnya Aksa melangkah menuju ke arah tangga dan memimpin jalan, Muezha hanya mengekor dari arah belakang. Sebenarnya meereka tidak pernah pisah kamar, tapi di beberapa kesempatan, Aksa memang sering menghabiskan waktu di kamar sebelah. Meski begitu, ia selalu tidur di kamar utama, bersama Muezha. Muezha segera menyusul Aksa yang sudah masuk ke dalam Lexus-nya. Mereka berdua duduk bersebelahan di kursi bekakang dengan Pak Tanto yang mulai menjalankan mobil ke tempat tujuan. Selama di perjalanan, tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Aksa tampak sibuk dengan ponselnya. Sedangkan Muezha tidak melakukan apa-apa, karena ponselnya telah disita. Begitu mobil berhenti di sebuah lobi hotel, Aksa langsung keluar begitu saja tanpa membukakan pintu untuk Muezha, dan Muezha juga merasa tidak perlu dibukakan pintu karena ia memang tidak terbiasa dengan hal itu. Lalu, mereka pun memasuki lift yang sudah terisi. Begitu lift tertutup, Aksa langsung menarik Muezha agar berdiri tepat di depannya. Karena ia menyadari tatapan lapar dari kedua pria di sampingnya saat mereka melihat ke arah Muezha. Muezha langsung menoleh dengan raut wajah bingungnya. Sebelum ia sempat melontarkan pertanyaan, pria itu sudah lebih dulu bersuara. "Tetap berdiri di sini, dan jangan bertanya apa-apa," desis Aksa dengan tajam. Muezha langsung memalingkan wajahnya ke depan dengan bibir yang terkatup rapat. Kedua pria itu keluar di lantai 9, sedangkan Aksa dan Muezha baru keluar di lantai teratas. Aksa kembali memimpin jalan, dan Muezha hanya mengekor dari arah belakang. Mereka berdua memasuki sebuah hall yang telah dipadati oleh banyak orang dengan musik yang berdentum keras setelah Aksa menyodorkan sebuah kartu undangan. Muezha yang merasa sedikit ketakutan karena banyaknya orang yang memadati ruangan, langsung memegang ujung jasnya Aksa. Hingga membuat pria itu menoleh ke arahnya, tapi tidak mengatakan apa-apa. Aksa terus berjalan, dan ia baru berhenti untuk menghampiri seorang wanita yang memakai gaun berwarna merah menyala, dan tampak berkilauan saat diterpa cahaya. Muezha mulai melepaskan pegangan tangannya. "Happy birthday, Kelly. Hadiahmu menyusul nanti." Aksa dan wanita itu langsung cipika-cipiki. "Kupikir kau tidak akan datang malam ini." Lalu Kelly menoleh ke arah Muezha, mengamatinya dari atas ke bawah secara terang-terangan, dan bersiual pelan saat ia sudah kembali menatap ke arah Aksa. Kali ini dengan tatapan menggoda. "Jadi, ini adiknya Viona? Ternyata boleh juga." Aksa hanya mengibaskan tangannya. "Dimana Aldrin?" Kelly mengendik ke arah meja bar, di sana terdapat perkumpulan pria, dan wanita yang sedang tertawa bersama. Aksa langsung merangkul bahu Kelly, dan membawa wanita itu bersamanya menuju ke arah sana. Tanpa memedulikan keberadaan Muezha. Muezha yang merasa ragu untuk mengikuti Aksa, hanya kebingungan di tempat. Ia jadi bertanya-tanya, untuk apa Aksa mengajaknya kalau keberadaannya tidak dipedulikan? Sehingga ia memutuskan untuk segera kembali ke villa saja. Karena asap rokok dan bau alkohol di tempat ini benar-benar membuatnya risi. Muezha langsung bernapas lega begitu berhasil keluar dari sana. Tetapi begitu ia sampai di lobi, seorang satpam malah mencegat langkah kakinya. "Salah saya apa, Pak?" tanya Muezha dengan nada heran yang tidak dapat disembunyikan. "Maaf. Anda memang tidak bersalah, tapi Tuan Aksa memerintahkan saya untuk segera mencegat Anda." Muezha langsung mengerang pelan. Sebenarnya apa maunya Aksa? Kenapa dia melakukan ini semua? Karena tidak diizinkan keluar dari sana, jadi Muezha memutuskan untuk menunggu Aksa di lobi saja. *** "Kau benar-benar keterlaluan, Dude!" komentar Aldrin begitu Aksa menutup teleponnya. "Itu belum seberapa ketimbang sakit hati yang kurasakan," balas Aksa dengan nada santai. Kelly mengeleng-gelengkan kepalanya. "Kalau aku jadi dia, aku akan memberontak, karena aku tidak melakukan kesalahan." "Ya, kau benar, Sayang. Kau memang tidak pernah bersalah." Aldrin tertawa pelan, dan langsung membawa Kelly ke dalam dekapannya. Aksa langsung memutar bola matanya begitu melihat kelakuan sepasang sejoli di hadapannya. "Aku yakin pasti dia yang sudah membantu Viona untuk kabur di hari pernikahan." "Kalau ternyata tuduhanmu itu salah, bagaimana?" Aksa terdiam begitu mendengar pertanyaan Aldrin barusan. "Lebih baik kalian berdua kembali masuk ke dalam," usirnya kemudian. "Tapi, Aksa. Kau benar-benar tidak akan melompat dari atas balkon lantai teratas hotel ini, 'kan?" Kelly memasang wajah cemas yang dibuat-buat. Aldrin mengangguk pelan. "Kami sengaja membuntutimu ke sini karena kami merasa khawatir." Aksa hanya mendelik tajam ke arah mereka berdua, yang membuat kedua orang itu tertawa bersama, lalu pamit untuk kembali ke dalam pesta. Tak lupa, kedua sejoli itu juga berpesan agar dirinya segera menyusul mereka ke dalam sana. Sekitar dua jam kemudian, Aksa baru muncul di lobi hotel, dan melihat Muezha yang duduk di salah satu sofa. Sehingga ia langsung berjalan menuju ke arah sana. Tanpa diminta, Muezha langsung berdiri begitu menyadari kehadiran Aksa di dekatnya. Ia nyaris mati kebosanan karena menunggu pria itu selama berjam-jam dengan perut keroncongan. Ia bisa saja makan di restoran yang ada di lobi hotel ini, tapi uang yang tersisa di dompetnya tidak cukup untuk memesan makanan. Sehingga ia hanya memesan teh hangat di sana. Ia tidak berani meminta uang kepada Aksa, sehingga dua hari yang lalu ia telah mengosongkan saldo terakhir di ATM-nya yang tersisa tidak seberapa untuk membeli keperluan pribadi, seperti sampo, lotion, parfum, dan keperluan wanita lainnya. Semenjak menikah dengan Aksa, ia sudah tidak lagi mengurus Orion Cafe & Bakery milik neneknya sehingga ia tidak memiliki pemasukan. Ingin meminta uang kepada ayahnya juga tidak mungkin, karena hal itu bisa membuat ayahnya khawatir. Begitu sampai di villa sekitar jam sepuluh malam, Muezha bergegas pergi ke dapur. Ia memutuskan untuk membuat telur dadar saja, karena lebih praktis dan sederhana. Saat sedang membalik telurnya di atas teflon, tiba-tiba saja Summi datang dan menyapanya. "Nyonya, Anda sedang apa?" Muezha tersenyum sekilas. "Aku sedang memasak, Bi. Bibi belum tidur?" "Belum." Summi tersenyum tipis. "Anda bisa membangunkan saya kalau memang membutuhkan sesuatu di tengah malam." "Tidak perlu, Bik. Lebih baik Bibi masuk saja ke kamar, saya bisa melakukannya sendirian." Diam-diam Summi memberikan tatapan kasihan kepada Nyonya mudanya. Bukan hanya sekali ini saja ia menawarkan bantuan, tapi bukan sekali ini juga Muezha menolak bantuan darinya. Bahkan ia dan beberapa pelayan lainnya benar-benar tidak menyangka saat pertama kali memergoki Aksa membentak Muezha di depan mereka semua. Ia bisa saja menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi di villa ini kepada Tiara, tapi ia ragu untuk melakukannya. Karena ia tidak berani mencampuri urusan majikan. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD