Ada bercak merah di lehernya. Oh ... Delisha malu sendiri melihat dirinya di cermin. Untungnya pria itu tidak menyentuhnya lebih dari area wajah dan leher, dia yakin itu. Tenggorokannya terasa kering sangat mengingat kejadian malam tadi.
Ketika dia terbangun hari sudah terang. Jendela kamarnya terbuka lebar dan kamar sudah tertata rapi. Dia duduk di depan meja rias dengan wajah kusam dan rambut acak-acakan karena baru bangun tidur. Delisha membuka layar ponselnya, jam 12:30 dan membaca dengan enggan beberapa pesan teks dari nomor Imdad Hussain.
[Tak usah ke kantor. Istirahat yang cukup dulu hari ini, Asistenku]
Delisha tersenyum simpul, rasa hangat menjalar di wajahnya. Asistenku. Lebih tepatnya pria itu yang mengurusnya sekarang.
[Ada baju yang bisa kau gunakan sebelum Vijay mengantar barang-barangmu. Percayalah, baju itu bersih]
Dia melirik di atas nakas ada dua lembar t-shirt dan dua lembar celana piama. Dan wajahnya makin merah melihat sebuah benda lagi. Sekotak cela.na da.lam wa.nita, isi 3 pcs, warna merah muda dengan renda sutra, ukuran M.
[Aku tidak tahu apa itu barang yang tepat, tetapi kurasa ukurannya pas untukmu]
Ada sebuah kotak lagi, berisi bra, 2 pcs, warna merah muda setipe dengan celana dalamnya, ukurannya 36/80 cup B. Wajah Delisha merah padam. Oh, memalukan! Dia baru kenal dan pria ini sudah menyediakan pakaian dalam untuknya. Jika dia mengenakannya, maka pria itu tahu warna pakaian dalamnya. Memalukan! Memalukan!
Delisha merutuk diri sambil mengacak-acak rambut dan wajahnya. Ugh! Pria itu pasti sudah berpengalaman dengan wanita. Kurang ajar! Iihh!
Rasa kecewa tiba-tiba memenuhi pikirannya. Aduh, kenapa lagi aku ini? Kami tidak ada hubungan spesial, kenapa aku harus merasa kecewa? Delisha menggeleng-gelengkan kepala untuk mengenyahkan pikiran tololnya.
"Raaj tumhara nahin hai!" Raj tidak akan menjadi milikmu! bentak seorang anak kecil dari ambang pintu.
Delisha menoleh ke arah suara itu. Seorang gadis kecil dengan setelan gamis lengkap dengan selendang di pundak. Rambutnya dianyam dan titik merah di antara kedua alisnya. Gadis itu dikelilingi aura seperti kelinci putih. Gadis kecil berusia 7 tahunan itu memasang tampang merengut menunjukkan permusuhan pada Delisha. "Aapaka kya matalab hai, ladakee?" apa maksudmu, gadis kecil?
"Raj mera hai!" Raj milikku, "main kisee ko bhee usase door nahin jaane doonga!" Aku tidak akan membiarkan seorang pun mengambilnya dariku!
"Raaj kaun hai?" Raj itu siapa?
"Moorkh, moorkh mat kaary karo!" Jangan berlagak bodoh, Bodoh! maki gadis kecil. Dia melihat pagi-pagi Imdad sudah ke kamar wanita ini, membuka jendela kamar dan menyiapkan baju untuknya serta memerintahkan para pelayan melayani wanita ini sebaik-baiknya. Wanita ini bakalan jadi saingan beratnya.
Mata Delisha terbelalak mendengar gadis kecil itu memaki. Tidak punya sopan santun sama sekali. Gadis itu memekik kesal padanya. "Imadaad mera hai!" Imdad milikku! Lalu berlari menjauh.
Delisha terperangah. Matanya mengerjap-ngerjap tak percaya. Apa pria itu saking playboy-nya, sampai-sampai anak kecil posesif padanya? Sampai berani mengancam dan memakinya? Oh, ya ampun! Delisha siap membalik seisi rumah Imdad Hussain. Dia bergegas ke luar kamar hendak mengejar gadis itu. Namun seorang wanita tua berpapasan dengannya.
"Shubh dopahar, Marianne-ji!" Selamat pagi, Nona Marianne, sapa wanita tua itu sambil menyentuhkan tangannya ke dahi, memberi hormat. Dia mengenakan sari putih dan kerudung menutupi rambutnya yang abu-abu. Wanita itu tampak anggun dan memancarkan aura putih menenangkan. Usianya mungkin 60 tahunan lebih. Delisha bisa melihat sumbu umurnya tidak panjang lagi. Dalam beberapa bulan wanita ini akan mati.
"Shubh dopahar, Mahodaya!" Selamat pagi, Nyonya! Sahut Delisha sambil membalas hormatnya.
"Apa Rani mengganggu Anda, Nona?" tanya wanita tua itu.
Delisha menggeleng kecil. Wanita tua itu tertawa renyah. "Rani memang agak nakal, tetapi dia anak yang baik. Raj sangat memanjakannya, karena itu dia sangat sayang pada Raj."
“Raj?"
"Haan," Ya, sahut wanita tua itu, "kami memanggil Tuan Imdad di rumah dengan sebutan Raj."
Delisha mengangguk-angguk. "Apa Rani itu anaknya Imdad?" Dia penasaran.
"Nahin, nahin hai" Tidak, tidak, jawab wanita tua itu cepat. "Raj mengangkatnya dari panti asuhan, Rani sudah seperti adiknya sendiri," ujar wanita itu sambil tersenyum riang. Dia melirik pada tanda merah di leher wanita muda yang menjadi tamu Raj. Sudah pasti, wanita itu sangat spesial bagi Raj.
"Bahut sundar ho tum, Marianne-ji!" Kamu sangat cantik, Nona Marianne, ujarnya lagi sambil membelai sekeliling wajah Delisha seakan memujanya dan kepala digoyang-goyangkan. "Baru kali ini Raj membawa teman wanita ke rumah, aku senang sekali jadinya. Kau bisa memanggilku Bibi. Aku mengurus segalanya di rumah ini. Mari, Nak, ikut aku!" ujarnya tanpa memberi kesempatan Delisha berucap. Dia menarik Delisha kembali ke kamar dan menyuruhnya segera mandi.
Ketika selesai mandi, Bibi sudah menyiapkan satu set pakaian sari berwarna merah muda bersulam benang mengkilap warna perak untuknya
"Ini ... rasanya terlalu berlebihan ...," gumam Delisha ketika Bibi mengikat tali c**i di pundaknya. Perutnya terbuka sedangkan pinggang dan kakinya terbungkus kain sari. Dia seperti boneka yang sedang didandani. Perhiasan dipasang di belahan rambut, anting besar di telinga dan puluhan gelang aneka warna bergemerincing di kedua lengan. Berat badannya mungkin bertambah 3 kg hanya dari perhiasan yang dikenakannya saja.
"Ah, ini tidak berlebihan!" sahut Bibi. "Seperti inilah wanita seharusnya berpakaian."
"Iya, tetapi aku tidak bisa berjalan jadinya."
Selain dipakaikan sari India, Delisha juga disuguhi hidangan khas India. Berupa karih, nasi dan roti parata, serta beberapa manisan. Masakan Bibi, memang sangat enak. Bibi sangat memanjakannya dan tak berniat melepaskannya. Dia diajak berkeliling rumah, melihat taman yang terdapat berbagai jenis tanaman, menceritakan masa kecil dan masa muda Raj sambil menunjukkan album sekolah Raj mulai tingkat SD sampai laki-laki itu lulus kuliah IT dan dua tahun yang lalu diangkat menjadi CEO Xin India. Tampaknya perjalanan hidup Imdad Hussain mulus-mulus saja walaupun ia anak yatim piatu. Sedangkan Rani, gadis kecil itu, sejak bayi sakit-sakitan, Imdad membawanya dari panti asuhan untuk tinggal di rumahnya, mendapat perawatan intensif hingga sembuh dan jadilah gadis itu seperti sekarang, adik kecilnya Imdad Hussain.
Dengan beralasan ada yang harus dikerjakannya di kamar, Bibi baru bersedia meninggalkannya sendirian. Delisha berdiri dekat jendela memandang halaman belakang rumah dan membuka ponselnya untuk menghubungi Vijay. Sudah hampir sore, tetapi barang-barangnya belum diantar dan beberapa kali dihubungi, pria itu tidak menjawab teleponnya. Untuk menahan kesalnya, dia menyalakan rokok dan menyesapnya.
Dari jendela itu, dia melihat ada pintu gerbang kecil di halaman belakang. Dia memperhatikan Rani berlari ke pintu gerbang itu. Ada seorang wanita di luar pagar. Wanita India yang cukup cantik, mengenakan sari mewah, segaris warna di belahan rambutnya menandakan wanita itu sudah menikah. Wanita itu diselubungi aura gelap dan penampakan dirinya seperti ular phyton bersisik gelap di mata Delisha.
Wanita itu berbicara dengan Rani dan gadis kecil itu tampak menggoyang-goyangkan kepala tanda persetujuan. Wanita itu menyerahkan sesuatu, setelahnya Rani berlari lagi ke dalam halaman dan wanita itu beranjak pergi.
Delisha menyesap dalam rokoknya lalu mengembuskan kuat. Dia mangut-mangut dan bibir kecut. Kali ini dia harus menyelidiki apa yang dilakukan gadis kecil itu.
Sari yang dikenakannya membuat langkah kecil. Dia mencari Rani di halaman belakang dan menemukan anak itu dekat pembakaran sampah. Dia mendekat perlahan-lahan dan mengawasi apa yang dilakukannya. Rani membuang kertas yang sepertinya sebuah surat ke api yang membara, lalu tersenyum riang sambil membuka sekantong permen yang diserahkan wanita di gerbang belakang tadi.
"Oh, lihat, siapa ini yang tertangkap basah berbuat curang," ejek Delisha dan melihat gadis itu terperanjat serta menjadi gugup membuatnya yakin Rani melakukan sesuatu yang salah.
"B-bukan urusanmu!" jawab Rani tergagap.
"Hoh, ya ..., kita lihat apa kata Raj, kalau dia tahu perbuatanmu ...," ujar Delisha dengan seringai jahat. Dia mengangkat ponselnya seolah hendak menghubungi Raj, pujaan hati gadis kecil itu.
"Ah, jangan! Jangan!" Rani mengatupkan tangan dan menyembah-nyembah di kaki Delisha. "Kumohon, jangan beritahu Raj! Ini! Ini! Ambil saja permennya, semuanya untukmu."
"Entahlah ... kurasa itu belum cukup karena telah memakiku bodoh ...." Delisha mengingatkan kekurangajarannya.
Rani menarik-narik sari Delisha. "Maafkan aku! Maafkan aku!" rengeknya. "Kumohon, jangan beritahu Raj. Kita ada di pihak yang sama. Jangan sampai Raj tahu hal ini. Ini demi kebaikan Raj."
Kening Delisha mengernyit. Anak kecil, tetapi bicaranya seperti orang dewasa. "Kalau begitu beritahu aku semuanya, baru kuputuskan apakah aku harus memberitahu Raj atau tidak," kata Delisha penuh kemenangan. Gadis kecil itu tidak bisa macam-macam lagi dengannya.
Dengan enggan Rani menceritakan. "Anjali sering memintaku menyampaikan surat untuk Raj dan memberiku permen sebagai imbalan, tetapi aku tak mau melakukannya."
"Kenapa?"
Sambil terisak kesal Rani menjawab, "Karena Anjali itu mantan pacar Raj. Anjali meninggalkan Raj untuk menikah dengan orang lain karena Raj miskin. Sekarang Raj sudah kaya raya, jalang itu ingin kembali lagi pada Raj dan aku tidak rela itu terjadi ... huaaaa."
Wajah Delisha mengerucut masam mendengar tangis gadis itu. Dia menyebut wanita itu jalang? Masih kecil, tetapi sudah tahu kata-kata kasar. Delisha geleng-geleng dibuatnya. Namun kemudian dia mangut-mangut dengan seringai jahat lagi. Akhirnya dia mengetahui sisi kelam pria bernama Imdad Hussain itu. A broken-hearted Playboy!
***
Bersambung ....