Night 28: She Has Come^

1847 Words
"Senang sekali Anda bersedia mampir lagi di hotel kami setelah kejadian tempo hari," ujar Aftab, menyinggung insiden malam pertama Delisha menginap di Hotel Golden Star. Delisha meminum air putih sambil memberi tanda pada Maya agar meninggalkan mereka. "Ah, iya!" sahutnya. "Malam itu murni karena kekhilafanku, Tuan Aftab. Aku tentu saja tidak akan melewatkan kesempatan mencicipi hidangan terbaik di India dan hotel ini menurutku adalah ... yang terbaik." "Please, yaar, panggil saja saya Aftab. Saya siap melayani Anda, Nona! Silakan nikmati santapan Anda dan Anda tidak perlu membayarnya, kali ini saya yang mentraktir sebagai permohonan maaf atas ketidaknyamanan Anda tempo hari." Pria itu lalu menyuruh pelayan menyajikan anggur merah untuk Delisha. Delisha tersanjung dengan keramahan Aftab. Jika saja pria itu tidak tampak mengerikan dalam penglihatannya, dia ingin sekali tersenyum tulus. Untuk menjaga kesopanan, Delisha melepaskan kacamatanya dan tersenyum kikuk pada Aftab, sorot matanya diturunkan untuk menghindari bertatapan dengan delapan mata bulat mengkilap itu. Dengan enggan dia mulai menyantap hidangannya. Dalam pandangan Aftab, wanita itu tampak salah tingkah dan malu-malu, justru membuatnya semakin memesona. Dia terlihat cantik dan lugu. Menurut Delisha bagian terbaik dari santapan di Hotel Golden Star hanyalah anggurnya, karena membantunya lebih santai. Dia menenggak habis segelas anggur dan minta diisi lagi lalu menandaskan isi gelas kedua. "Karena Anda sudah di sini, Nona, bagaimana kalau saya ajak berkeliling melihat fasilitas yang lainnya. Kami jarang mendapat pelang.gan seunik Anda. Masukan dan kritik dari Anda sangat kami harapkan," anjur Aftab dengan tulus. Kebetulan sekali. "Baiklah!" sahut Delisha. Aftab menggiringnya keluar dari restoran, menuju fasilitas spa yang berada di Lantai 2 juga. Mereka memasuki sebuah ruangan mewah bercahaya redup dengan aroma menenangkan dari aromaterapi green tea, disertai iringan musik gelombang gamma untuk membuka otak manusia. Dua orang wanita cantik dalam seragam kerja mereka yang berwarna hijau muda berdiri dekat ranjang perawatan dan beberapa instrumen kerja mereka. "Di sini, Nona, jika Anda ingin relaksasi sekaligus perawatan kecantikan, kami menyediakan fasilitas termodern dan tenaga ahli yang mendapat pendidikan khusus dan bersertifikat. Kami juga menjamin bahan-bahan yang kami gunakan aman dan sesuai standar kesehatan internasional. Kami sangat menghindari malpraktik dan bahan ilegal. Kecantikan sama dengan kesehatan, kita tidak boleh melakukan perawatan sembarangan karena efek sampingnya bisa berbahaya dan permanen, tak dapat disembuhkan seperti sediakala." Delisa manut saja mendengar penjelasan pria itu. Dia melirik ke sudut ruangan. Ada Maya berdiri di sana. "Aku menemukannya!" gumam Maya. "Tetapi dia tidak mau ikut denganku, dia sangat ketakutan." Delisha menoleh pada Aftab "Apa Anda ingin mencobanya, Nona?" tanya pria itu. Delisha tersenyum manis. "Tentu saja!" sahutnya. "Kau ingin melakukan perawatan? Di saat seperti ini?" Maya terperangah. Delisha berbaring di ranjang perawatan dan seorang dermatologis memeriksa kulitnya terlebih dahulu dengan alat sebelum dilakukan perawatan. Delisha memejamkan mata sesaat lalu menjadi tak sadarkan diri. Rohnya bangkit dan meninggalkan tubuhnya. Sang dermatologis dan Manajer Aftab panik. Tidak ada yang menyadari Delisha berdiri dekat mereka. "Bawa aku menemuinya!" seru Delisha pada Maya yang menatapnya takjub, karena mengetahui Delisha bisa berpindah ke dimensi lain. Tidak ingin membuang-buang waktu, Maya menggandeng tangan Delisha dan dalam sekejap mereka telah berada di lorong gelap, tergenang air, dingin dan terdengar bunyi angin seperti raungan kesakitan yang menyayat hati. "Di mana ini?" tanya Delisha. Tempatnya menyeramkan, begitu juga baunya. "Ini di gorong-gorong bawah tanah Hotel Golden Star, tempat mereka membuang jasadnya." "Itu dia!" ujar Maya sambil menunjuk ke celah dalam gorong-gorong itu. "Dia yang bernama Sharmila Matondkar. Dia mati 10 tahun yang lalu." Tampak seorang gadis dengan wajah seputih kapas, mata hitam keseluruhan dan rambut hitam pekat dikepang. Gadis itu menangis sesenggukan. Dari tinggi tubuhnya diperkirakan berusia 10 - 13 tahunan, pucat, berwarna hitam putih, dengan baju gamis bersimbah darah, terutama di bagian perutnya. "Kau harus memastikannya terlebih dahulu, bisa saja dia mengaku-ngaku agar bisa keluar dari tempat ini. Kau bakalan terkejut mengetahui banyaknya arwah yang bernasib serupa di tempat ini." Maya memperingatkan. Delisha mendekati roh Sharmila dan tubuhnya bergetar hebat menerima pancaran energi gadis itu. Dia merasakan kepedihan dan kesakitannya. Tubuh bagian perutnya terasa perih diiris iris, bahkan dia merasakan bagaimana dinginnya saat darah terkuras habis dari tubuh. Delisha merasakan gadis itu mati kehabisan darah saat liver dan ginjalnya diambil. Sekelebat bayangan saat gadis itu hidup dan diseret ayahnya untuk memasuki sebuah pintu besi besar. Gadis itu berontak, tetapi ayahnya lebih kuat dan memukulinya sehingga dia tak berani melawan lagi. Delisha terisak. Dia mengulurkan tangannya pada gadis itu. "Mari gadis kecil, aku akan membawamu pulang, Ibumu sudah menunggumu di rumah ...," ujarnya lembut tetapi agak goyah karena gemetaran. "Tidak, tidak mau!" rengek gadis itu dan makin membenamkan diri dalam kegelapan. "Ayolah, gadis kecil ...." Delisha berseru lirih. "Cepatlah!" desak Maya. "Jika kau terlalu lama di sini akan menarik makhluk-makhluk lain." Maya bisa merasakan gelombang besar energi negatif mendekat. Delisha juga merasakannya, apalagi tempat itu semacam sarang. Penghuninya akan segera tiba. "Aku akan membawamu bertemu ibumu, apa yang kau takutkan?" ujar Delisha berusaha sabar. "Ayah, aku takut ayah akan memarahi aku dan ibu," terang gadis itu. "Ayahmu tidak akan bisa menyakiti kalian lagi," ujar Delisha. Gadis itu mengangkat kepala padanya. "Kau dan ibumu berada di alam yang berbeda dengan ayahmu. Kalian berdua akan hidup aman dan damai." Maya merasa scene itu terlalu lambat, langsung mengambi langkah cepat dan menarik tangan hantu Sharmila. "Persetan dengan ayahmu!" maki Maya sambil menyeret Sharmila ke arah berlawanan dengan lorong. "Kau harusnya pulang kalau ibumu memintamu! Lakukan apa kata ibumu kalau kau ingin jadi anak berbakti!" Delisha mengiringi mereka sambil terkekeh geli. Mereka menembus dinding dan berbagai ruangan lainnya. Ketika tiba di dekat spa, Delisha terdiam membuat Maya turut berhenti dan menatapnya heran. "Dalam kondisi seperti ini, aku bisa pergi ke mana saja." Delisha menatap girang pada Maya. "Aku ingin melihat Devdas Star Tailes. Ia tidak bisa melihat kita, ‘kan?" Maya mencebik ketus. "Ia memang tidak bisa melihat kita, tetapi tidak ada dari kami yang berani berada di dekatnya. Auranya, membuat kami takut. Mungkin karena ia yang membunuh kami," ujarnya sambil melayangkan pandangan sekilas pada hantu Sharmila. Gadis itu memang tampak menyedihkan, ditambah mendengar nama Devdas Star Tailes, bahkan sebagai hantu pun gadis itu bergidik ngeri. "Kalau begitu, aku hanya akan melihatnya dari jauh. Kalian hanya perlu menunjukkan aku di mana ruangnnya." Mereka melihat di ranjang spa, tubuh Delisha masih digoyang-goyang oleh wanita dermatologis yang hendak menerapinya, sedangkan Aftab mengawasi dengan gelisah. "Baiklah, akan kubawa kau ke sana," ujar Maya akhirnya. Sekejap mereka berpindah ke lantai 49 hotel itu, ke ruang kerja Devdas Star Tailes. Laki-laki itu tengah berdiri membelakangi jendela besar, berhadapan dengan beberapa anak buah yang semuanya bersetelan jas hitam. Cahaya dari belakangnya seakan dibuat khusus untuk mendukung daya tariknya. Ia membuat orang disekitarnya kecil dan tak berdaya. Delisha masuk melalui sudut ruangan dan ketika melihat laki-laki itu, dia tidak dapat menahan diri untuk berseru takjub. "Maha Suci yang Kuasa!" ujarnya dengan bola mata membesar. Pria itu laki-laki tertampan yang pernah dilihatnya. Memang, di majalah ia terlihat tampan. Namun efek kamera malah mengurangi ketampanannnya. Aslinya, Devdas sangat memesona, lebih tampan daripada Imdad. Eh, ini soal selera, sih, yang pasti, Imdad dan Devdas adalah dua pria yang bisa dilihat Delisha wajah aslinya. Bedanya, Devdas tidak berpendar seperti Imdad. Pria itu bercahaya seperti disorot lampu pentas. Ia pusat perhatian dan dipuja setiap mata yang memandangnya. Yang membuat Delisha semakin terkesima adalah sayap hitam yang terbentang di pundaknya. Besar dan kokoh. Sayap yang terbentuk dari asap hitam.  "Makhluk apa ini?" Delisha bergumam lirih. Devdas berdiri memberikan instruksi kepada anak buahnya. Menatap tajam pada mereka satu per satu. Jika Devdas tampak bak malaikat bersayap hitam, para anak buahnya berpenampakan seperti laba-laba, dengan dua ruas tubuh dan delapan kaki serta kepala berbulu dan beberapa pasang mata yang mengkilap bak kelereng. "Marianne!" panggil Maya dari luar ruangan. "Cepatlah! Jika terlalu lama meninggalkan tubuhmu akan menimbulkan kehebohan di hotel." Delisha terkesiap lalu bergegas menghilang dari ruangan itu. Dia kembali ke tubuhnya dan membuka mata sambil menarik napas dalam dan merentangkan tangannya seolah baru bangun tidur. "Nona Marianne, Anda baik-baik saja?" tanya Aftab cemas. "Oh!" Delisha berseru pendek. "Anggur tadi rupanya membuat saya cepat tertidur. Saya sensitif terhadap anggur merah, untungnya alergi saya tidak parah. Ehm, Tuan Aftab, maaf membuat Anda cemas ...." Alergi anggur merah? Tidak parah? Ya ampun, ia telah menempatkan seorang calon pelang.gan dalam bahaya besar. Jangan-jangan wanita itu akan melayangkan tuntutan hukum padanya. Aftab menjadi salah tingkah. "Ah, Nona Marianne, syukurlah Anda tidak apa-apa ...." Delisha meraih ponsel dari dalam tas dan melirik jam. "Oh, maaf sekali sepertinya saya harus pergi sekarang. Saya ada kesibukan lain." Delisha beralasan, lalu turun dari ranjang spa. "Terima kasih atas keramahan Anda, Tuan Aftab. Akan saya ingat kebaikan Anda ini dan saya akan merekomendasikan Hotel Golden Star kepada teman-teman saya." "Oh, benarkah, Nona?" ujar Aftab girang sambil berjalan mengiringi Delisha, keluar dari spa. Mereka menuruni tangga yang melengkung dari lantai dua ke tengah lobi di Lantai 1. "Anda baik sekali, Nona Marianne. Saya berharap Anda menjadi pelang.gan setia kami." Delisha tertawa lepas mendengarnya. "Anda yakin, Tuan Aftab? Saya ini memiliki banyak kebutuhan khusus loh!" candanya. Aftab semringah. "Itu menjadi kewajiban saya untuk memenuhinya, Nona!" ujarnya. Delisha terawa lagi, menampilkan lekukan dalam di kedua pipinya yang sanggup membuat lelaki bertekuk lutut. Aftab tidak dapat melepaskan tatapannya pada wanita itu.  Siang itu, jika ada petir menyambar yang mampu membelah langit, maka itulah saatnya bagi Devdas Star Tailes. Devdas melangkah keluar dari lift di Lantai 2 diiringi 2 orang pengawalnya. Ia melihat wanita yang berjalan beriringan dengan Aftab dan wanita itu tertawa renyah. Suara tawanya menjalar sampai ke telinga Devdas. Dari jarak sekitar 20 meter, ia melihat wanita itu berada di Lantai 1 dan wajah wanita itu serta lesung pipitnya, terlihat jelas bagi Devdas. Ia merasa tidak berpijak di bumi lagi. Devdas yang biasanya berjalan tenang dan elegan, tiba-tiba berlari kecil melintasi selasar Lantai 2 dan menuruni tangga. Ia berlari secepatnya ketika melihat wanita itu melangkah keluar lobi dan masuk ke mobil. Devdas berlari seakan mengejar kereta terakhir dari perjalanannya dan ia membentak kesal ketika mobil itu melaju dengan cepat meninggalkannya. "Berengsek!" Aftab yang semringah melepas kepergian Delisha, terperanjat melihat atasannya habis berlari cepat dan mengeluarkan makian. "Hm? Ada apa, Bos?" Devdas menarik kerah setelan Aftab. "Wanita tadi, siapa dia?" bentaknya. "D-dia Nona Marianne Webster, pengguna Hotel Golden Star beberapa hari yang lalu," jawab Aftab gugup. Ia sangat takut jika bosnya naik pitam. "Dari mana asalnya? Di mana tinggalnya?" cecar Devdas sambil meninggikan kerah Aftab. "Ttt-tidak tahu, Bos!" sahut Aftab dengan leher tercekat. Devdas menyadari kekuatannya lalu melepaskan pria itu dengan kasar. Ia meremas rambutnya sendiri dan sebelah tangan berkacak pinggang. "Uhuk, uhuk! Memangnya kenapa, Bos? Apa wanita itu melakukan sesuatu?" tanya Aftab sambil membersihkan tenggorokannya. Dua pengawal Devdas datang menyusul.   Devdas menatap ke arah kepergian mobil tadi. "Cari informasi sebanyak-banyaknya tentang wanita itu, secepatnya!" ujarnya geram, lalu berbalik dan dengan cepat masuk lagi ke dalam hotel diiringi pengawalnya, meninggalkan Aftab yang keheranan. Sambil melangkah lebar, Devdas membatin. Dia telah datang. Dia. Itukah dia? Benarkah itu dia? Wanita yang sama yang menyebabkan dirinya dilempar jatuh dari langit. A female spirit from heaven has landed on Earth She has come decked with precious ornaments  She has come She has come Deewani Mastani - Bajirao Mastani *** Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD