Night 19: Trouble, Trouble, Trouble°

1005 Words
Imdad merasa ia mungkin bermimpi Marianne Webster meneleponnya. Jam 1:30 dini hari lagi. Ia mengenakan jaket kulit dan sepatu bot, memasang helm dan memacu sepeda motornya menembus udara malam. Ia tiba di apartemen Vijay jam 2 dini hari dan terheran-heran melihat kekacauan di apartemen itu. Kamar Vijay yang berukuran 4x4 meter berantakan seperti telah terjadi pertarungan hebat. Beberapa perabotan rusak dan barang-barang berserakan di lantai. "Apa yang telah terjadi di sini?" Imdad bertanya dengan kening berkerut dalam. Ia tersandar di ambang pintu kamar Vijay. Vijay yang mengenakan kaos oblong dan celana pendek menggeleng-gelengkan kepala dan kedua tangan terangkat heran, tak tahu harus menjelaskan apa pada bosnya. Sementara wanita bernama Marianne duduk memeluk kedua lutut di sofa. Wajahnya tampak serius, kening bertaut dan bibir dimonyongkan. Pandangannya kosong larut dalam pikirannya sendiri. "Masukkan saja tagihannya dalam pengeluaran kantor untuk mengganti barang-barangmu yang rusak, Vijay!" kata Imdad. Vijay geleng-geleng lalu masuk ke kamarnya dan mulai membersihkan tempat kejadian perkara. Ia heran, wanita macam apa yang malam-malam mengamuk hingga menghancurkan perabotan. Tidak hanya di hotel, bahkan di apartemennya juga. Wanita itu pasti punya kelainan jiwa atau gangguan hormon yang sangat parah. Imdad mendekati Marianne. "Setidaknya bisa kau jelaskan terlebih dahulu apa yang telah terjadi sebelum aku membawamu ke rumahku. Jadi aku bisa membuat penyesuaian ...." Imdad mulai ragu akan niat baiknya sendiri. Wajah Marianne seolah mencibir dan berkata tanpa mau menatapnya. "Ada tikus. Tikus yang sangat besar. Dan juga kecoa. Aku sangat benci pada tikus dan kecoa," ketusnya. Dia tidak bisa menceritakan tentang makhluk hitam legam yang menyerangnya. Makhluk itu menghilang ketika dia berhasil membuka pintu kamar. "Baiklah ...," sahut Imdad ragu. Ia tidak berani menjamin di rumahnya sendiri bebas tikus dan kecoa. Wanita ini bakalan membuat posisinya serba salah. Namun jika benar-benar berniat menjamu tamu, ia harus melakukannya dengan sungguh-sungguh. "Bawa barang-barang yang penting saja dulu untuk malam ini," kata Imdad bersemangat. "Besok Vijay akan mengantar sisanya ke rumahku." "Maksudmu?" "Aku tidak punya mobil, jadi kita naik sepeda motor." Delisha tidak dapat menarik kembali kata-kata meminta Imdad Hussain menjemputnya. Dia menatap pria berwajah ramah dan berpendar keemasan itu dengan berat hati. Berjaket kulit dan sepatu bot, rambut disisir kasar dengan jari, rahang yang mulai ditumbuhi janggut kasar, dari ujung kaki sampai ujung kepala, pria ini berlabel 'Trouble, Trouble, Trouble!', dan dia, akan tinggal bersamanya. Delisha melapisi piama tidurnya dengan jaket, membawa rokok, permen penyegar mulut, dompet, ponsel dan emblem The Lady dalam sakunya. Dia mengenakan sepatu kets kesayangannya, lalu mengiringi Imdad menuju parkiran. Pria itu berjalan di depannya sambil bersiul riang. Imdad menyerahkan sebuah helm dan dia mengenakannya sambil meringis menahan sakit karena benjolan di kepalanya. Dia bukan wanita yang suka mengeluh, tetapi beberapa hari di India membuatnya kurang istirahat dan tak tenang, ditambah tubuhnya sakit karena terhempas beberapa kali. "Pegangan yang erat, Nona!" seru Imdad ketika mulai menghidupkan sepeda motor Harley Davidson V-Rod berwarna hitam kombinasi hijau gelap miliknya. Delisha enggan berpegangan padanya dan memilih memegang erat besi di bagian belakang jok. Namun pria itu menarik kedua tangan Delisha dan melingkarkan ke pinggangnya. "Aku tidak mau kau kenapa-napa saat di perjalanan," ujarnya menenangkan. "Jangan berpikiran macam-macam, anggap saja aku ini sansak empuk yang bisa kau jadikan sandaran." Delisha tidak berkata apa-apa. Namun tidak juga menarik diri. Dia mendekap erat pinggang pria itu dan menyandarkan kepala ke punggung bidangnya ketika motor melaju menembus kegelapan. Tubuh pria itu hangat, berlawanan dengan dinginnya udara. Pikiran Delisha sedang tertuju pada jin ganas yang menyerangnya. Mata merah dan geraman yang mengerikan itu masih jelas terbayang. Makhluk halus yang mendatanginya semakin agresif bahkan berniat membunuhnya. Kenapa? Untuk apa? Sementara Imdad yang tengah mengemudi motor tersenyum semringah sepanjang jalan. Wanita seperti apa pun, hanya perlu dipaksa sedikit, mereka akan membuka diri padanya. Tidak ada seorang pun dapat menolak pesona orang tampan. Setelah berkendara 30 menit, mereka tiba di sebuah kediaman yang cukup mewah bergaya bungalow dengan arsitektur kolonial Inggris. Pagar besi tinggi sebagai pintu gerbang kediaman yang dikelilingi dinding beton setinggi 2 meter. Rumah besar dengan pilar-pilar dan banyak jendela besar dengan bagian atas melengkung. Dindingnya bercat putih, diterangi lampu taman yang temaram. Halamannya luas dengan jalan beraspal untuk kendaraan dan hamparan rumput hijau di bagian yang lain. Tanaman tropis seperti pohon palem dan kelapa, semak-semak berbentuk bulat dan memanjang tertata rapi seperti pagar di halaman. Gerbang kediaman itu dibuka secara mekanik oleh petugas di ruang kontrol. Imdad mengemudikan motornya masuk ke dalam garasi yang cukup besar, muat 2 sampai 3 buah mobil. Ia memarkir motornya. Turun dari kuda besi itu, Imdad melepas helm. Wanita penumpangnya mengiringi. "Bungalow ini aset properti Xin Corp." Imdad mengatakan tanpa berbelit-belit. Ia tidak ingin supervisor dari Xin Pusat mengira rumah besar dan luas ini adalah miliknya. "Jika aku tidak menjabat sebagai CEO Xin India lagi, aku harus keluar dari rumah ini," lanjutnya. "Aku tahu!" sahut Delisha sambil membuka helmnya. "Aduh!" dia meringis kesakitan saat melepas helm karena ada benjolan di bagian samping kepalanya. Dia mengusap-usap bagian yang sakit dan membenahi rambutnya. "Ayo ikuti aku!" seru Imdad sambil berjalan menuju pintu samping di garasi itu. Wanita itu mengiringinya dengan patuh. Bagian dalam rumah dilapisi lantai marmer bernuansa krem pucat, dindingnya putih dan perabotan berarsitektur Inggris jaman kolonial, lekukan berukir antik dido.mina.si warna putih dan emas. Mereka menuju dapur. Rumahnya memiliki dapur yang luas, dengan pantri dari batu pualam dan lemari-lemari perkakas berwarna senada. "Duduklah!" seru Imdad lagi tanpa menoleh. Ia terus berjalan ke arah pantri sementara Delisha menarik sebuah kursi di meja makan untuk duduk. Imdad mengambil sebuah cangkir dari lemari lalu mengisinya dengan air hangat. Ia meletakkan cangkir tersebut di hadapan Delisha. "Minumlah dulu, kau tampak tegang," ujarnya. "Ah, iya, terima kasih!" sahut Delisha pelan sambil melingkarkan jemarinya ke cangkir. Tiba-tiba Imdad mengusap sisi kanan kepalanya membuatnya mengernyitkan tubuh karena kesakitan. "Apa yang kau lakukan?" Dia menepis tangan pria itu. "Kau berkelahi melawan tikus dan kecoa sampai mencederai kepalamu? Wow ... kau pasti sangat membenci mereka. Sayang sekali mereka bisa meloloskan diri dari agen handal sepertimu, Nona Marianne," sindir Imdad. "Katakan saja terus terang apa yang sebenarnya terjadi!" Ia tahu wanita itu tidak pandai berbohong. *** Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD