*
Life is changing once in every minute
Sometimes life is a shadow
and sometimes its sunny
every minute here live to the fullest,
whatever's today may or may not
stay the same
~Har Ghadi Badal Raha Hai-- Kal Ho Na Ho~
*
"Terima kasih, Tuan Aftab, atas pengertian Anda! Saya kerap lepas kendali jika kelelahan dan mengalami jet lag. Barang-barang sering menjadi sasaran pelampiasan saya," ujar Delisha beralasan. Dia berjabat tangan lagi dengan Manajer Aftab.
"Tidak apa-apa, Nona, niat Anda untuk mempertanggungjawabkan perbuatan Anda sangat kami hargai. Barang-barang tersebut bisa diganti. Namun gangguan terhadap kenyamanan Anda di hotel kami adalah suatu hal yang sangat kami sesali. Ke depannya ini akan jadi bahan perhatian kami, bahwa pe.lang.gan memiliki kebutuhan tertentu dan kewajiban kami memenuhi kebutuhan itu," kata Aftab dengan ramah.
"Semoga Anda menikmati suasana di India, Nona. Have a nice day! " ujar Aftab lagi sembari melepas kepergian Delisha.
Delisha bergegas keluar dari ruang pertemuannya dengan Manajer Aftab setelah menyelesaikan biaya ganti rugi dan menerima sepatunya yang ketinggalan. Sepatunya adalah kets favoritnya yang sangat nyaman dipakai. Dia tidak akan menemukan barang yang sama di toko mana pun, karenanya dia gigih mendapatkan sepatu itu lagi.
Vijay tidak heran lagi melihat tingkah aneh nona muda itu yang berlari kecil keluar hotel mendahulinya lalu melonjak-lonjak seperti menginjak batu kerikil di telapak kaki. Mobil mereka tiba di teras depan hotel dan Delisha buru-buru masuk.
"Hiiii, hii...!" Delisha mengusap-usap tubuhnya sendiri karena merasa jijik terhadap laba-laba raksasa yang berbincang-bincang dengannya selama kurang lebih setengah jam di ruang pertemuan hotel tadi.
Mobil mereka memasuki jalan raya. "Selanjutnya kita ke mana, Nona?" tanya Vijay. Ia melirik pada Delisha melalui cermin depan mobil.
Delisha mengenakan kacamatanya lalu bersandar sok elegan. "Ke kantor Xin India. Aku belum ke sana sejak aku tiba. Aku perlu menggunakan jaringan untuk mencari beberapa informasi," katanya.
"Achchha, achchha!" sahut Vijay sambil menggoyang kepala.
Mereka tiba di sebuah gedung bertingkat tiga. Gedung berwarna putih, Pelat bertuliskan Xin India terpampang di atasnya. Xin Corp cabang India masih berupa perusahaan kecil secara bangunan, namun sepak terjangnya sudah bergaung kuat dalam perekonomian India karena membawa nama besar Xin.
Xin India menangani proyek pembangunan perumahan, sarana pendidikan dan kesehatan non profit yang diutamakan melayani pengungsi serta anak-anak terlantar. Selain itu, proyek terbesar mereka adalah pabrik farmasi yang memproduksi vaksin untuk distribusi di wilayah Asia.
Delisha mendapat ruang kerja sendiri. Dia mulai menggunakan komputernya untuk mencari informasi orang hilang maupun kasus kematian yang berhubungan dengan Star Tailes seperti yang dikatakan hantu Penari Perut itu, Maya. Terlalu banyak kasus yang terjadi dalam kurun waktu setahun saja. Apalagi jika ditelusuri hingga 20 tahun ke belakang, jumlahnya jutaan kasus dan hanya ratusan yang mendapat penyelesaian. Kasus yang tak terpecahkan sebanyak itu, belum tentu semuanya dilakukan oleh Devdas Star Tailes, ‘kan? Dia berusaha mempersempit penyelidikannya. Bagaimana kalau dimulai dengan Maya?
Sebentar saja Delisha mendapatkan seluruh informasi mengenai Maya. Wanita itu rupanya penyanyi dan penari yang cukup terkenal di dunia hiburan India. Lahir dari keluarga seniman, merintis karir sejak usia 8 tahun, hingga saat ini berusia 30 tahun. Maya cukup kaya raya dari penghasilannya sebagai artis. Maya bernaung di bawah agensi yang sama selama karirnya, agensi sekaligus sebuah sanggar seni, tempat yang menyajikan musik, tarian makanan dan minuman untuk tamu-tamu khusus saja. Sebuah tempat bernama Mohabbatein Art Centre.
Sepertinya dia harus mengunjungi tempat tersebut di waktu luangnya nanti.
Saat ini dia punya pekerjaan lain, yaitu menginspeksi pekerjaan Xin India selama ini. Dia memerlukan berkas-berkas kegiatan yang dilakukan Xin India selama dua tahun belakangan. Dia keluar dari ruangannya untuk menuju ruang berkas.
Seorang sekretaris bernama Pooja menunjukkan padanya ruang berkas dan menjelaskan sebentar mengenai urutan penomoran dan penyusunan berkas. Delisha lalu menyuruh meninggalkannya sendirian karena dia lebih konsentrasi jika bekerja seorang diri.
Dalam ruangan itu terdapat rak-rak tinggi yang dipenuhi berbagai map dan kotak-kotak kardus. Sebuah meja tulis dan komputer serta tangga beroda untuk mengambil berkas yang berada di rak atas. Satu jam lebih dia berkutat dengan kertas-kertas dan turun-naik tangga.
Dia sedang berdiri di atas tangga dan membaca sebuah berkas ketika tanpa disadarinya seseorang masuk ke dalam ruang berkas. Delisha mungkin sering dikejutkan oleh kemunculan hantu yang tiba-tiba. Namun kali ini dia dibuat terkejut oleh seorang manusia.
Matanya menangkap sosok itu dan membuat pendiriannya goyah. "Aaah...!!" Tubuhnya terjerembab jatuh dari tangga.
Sepasang tangan besar merengkuhnya ke da.da bidang seorang pria yang maskulin dalam setelan kemeja berompi abu-abu. Mereka berdua jatuh ke lantai. Tubuh pria itu menjadi matras yang harus meredam efek gaya gravitasi dan beban di atasnya.
Delisha menyadari ini juga bagian dari fantasi terliarnya. Jatuh dalam dekapan seorang pria tampan. Namun yang membuatnya tak percaya adalah pria tersebut adalah orang yang dikenalnya. Pria berpendar keemasan yang ramah sekaligus pasangan ciuman pertamanya. Imdad Hussain.
"Sepertinya kita terus menerus dipertemukan dalam situasi yang menyenangkan, Nona," kata Imdad dengan tangan melingkar di pinggul Delisha.
Delisha bergeming karena terlalu takjub.
"Jadi, kamu yang bernama Marianne Webster? " ujar Imdad lagi. Lututnya berada di antara paha Delisha atau yang diketahuinya bernama Marianne. "Aku CEO Xin India. Jadi, kamu orang yang ditugaskan Xin Corp Pusat untuk jadi asisten pribadiku? Menyenangkan sekali!"
Mulut Delisha terbuka lebar mendengarnya. Asisten Pribadi?? No way!!
***
Bersambung ....